Memaafkan

78 21 62
                                    

Aini terduduk di sebuah kasur kamar miliknya, sembari memeluk lututnya seraya mengeluarkan air mata yang sudah membendung di matanya.

Sudah satu jam lebih Aini tidak keluar dari kamar. Hal itu tentu saja membuat mamahnya khawatir.

Berkali-kali pintu kamar Aini diketuk. Namun, Aini tak kunjung juga membukakan pintu. "Aini, ayo, dong, keluar. Kamu kenapa, sih?"

"Aini, enggak apa-apa, Mah," bohongnya.

"Enggak apa-apa gimana? Jelas-jelas kamu dari tadi ngurung diri di kamar. Sebenernya kamu kenapa, sih? Ada masalah?"

"Aini mau sendiri dulu."

Mamahnya Aini kini hanya menghela napas saja ketika mendengar perkataan putrinya itu. "Ya, sudah kalau begitu. Kalau perasaan kamu sudah mulai membaik, kamu jangan lupa ceritakan semuanya, ya?"

Tak ada lagi sahutan yang keluar dari mulut Aini, membuat mamahnya kembali menghela napas hingga akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan ruang kamar milik Aini tersebut.

Baru saja ia meninggalkan kamar Aini, kini sudah dikejutkan saja dengan suara ketukan pintu. Alhasil, mau tidak mau, mamahnya Aini terpaksa berjalan untuk membukakan pintu.

"Kamu? Mau ngapain?" tanyanya setelah mendapatkan sosok Sri di depan pintu tersebut.

"Saya ingin menemui Aini, Tante," jawab Sri dengan sopan.

Perkataan dari Sri membuat mamahnya Aini memutar bola matanya dengan malas. "Aini lagi ngurung diri di kamar. Mending sekrang kamu pulang aja."

"Izinkan saya untuk berbicara kepada Aini sebentar, Tante. Saya akan berusaha untuk membujuk Aini agar ia mau keluar dari kamar."

Mamahnya Aini tidak ingin membiarkan Sri masuk ke dalam rumahnya, tapi ia lebih tidak ingin melihat Aini yang terus-menerus mengurung dirinya. Dan dengan sangat terpaksa, ia akhrinya mengizinkan Sri masuk.

"Ya, sudah, masuk. Biar saya antar ke kamarnya Aini."

Sri segera memasuki rumah itu, dan ia kini berjalan mengekori mamahnya Aini.

"Nah, ini dia kamarnya. Silahkan kamu bujuk Aini, ya, saya mau ke belakang sebentar." Mamahnya Aini lantas pergi setelah mengatakan kalimat demikian.

"Aini," panggil Sri.

"Aini keluar bentar, dong."

"Aini jangan ngurung diri kamu terus, dong."

"Ayolah, Ai. Keluar bentar aja."

Sama sekali tak ada sahutan dari Aini. Hal itu membuat Sri jadi sedikit khawatir.

"Aini ka-"

Ucapan Sri terpotong saat melihat pintu di hadapannya perlahan mulai membuka, dan menampakan sosok Aini dengan wajahnya yang dibasahi air mata.

"Kamu nangis?"

Aini tidak menjawab perkataan Sri, melainkan ia langsung memeluk erat tubuh Sri. "Maafin gue, Sri," ujar Aini, disertai dengan tangisannya.

Meskipun Sri sudah difitnah oleh Aini, tapi ia tetap tidak tega melihat Aini yang seperti ini.

Sri membalas pelukan Aini, dan mengelus pelan punggung Aini. "Aku udah maafin kamu. Jangan nangis lagi, ya."

Aini perlahan melepaskan pelukannya. "Lo enggak marah?"

Sri lantas membalas perkataan Aini dengan senyuman. "Marah sedikit tadi. Tapi sekarang udah enggak."

"Sri, selama ini gue udah jahat sama lo. Gue udah fitnah lo. Bahkan sebelumnya, gue udah ngeledekin lo hanya karena lo anak tukang gado-gado." Mata Aini kembali merintikkan air mata saat mengingat perbuatannya dulu. "Maaf."

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang