Maaf

205 52 164
                                    

Addan sudah tiba di Masjid Al-Iman, dan ia melihat Edwin tampak sedang melatih tiga orang perempuan begitu dia tiba. Tentu saja tiga orang perempuan itu adalah Sri, Bintaya, dan Ila. Addan pun berjalan menghampiri mereka.

"Edwin," panggil Addan.

Panggilan dari Addan membuat Edwin, Sri, Bintaya, dan Ila, menatap ke arahnya.

"Main, yok!" ajak Addan.

"Aku, 'kan, lagi ngelatih mereka," jawab Edwin.

"Bisa nanti."

"Addan, jangan ajak aku main sekarang!"

Addan hanya mendengus kasar, lalu berjalan pergi meninggal tempat itu.

Dasar anaknya Wawan dan Wiwin, enggak asik, batin Addan sambil berjalan keluar.

Addan duduk sendiri di bangku yang berada di depan Masjid sambil memainkan ponselnya, sampai aktivitasnya terhenti saat mendengar panggilan telepon berbunyi dari ponsel miliknya sendiri.

"Ngapain mami telepon gue?" gumam Addan.

Meski dipenuhi dengan tanda tanya, tetapi Addan tetap mengangkat telepon tersebut.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu. Ada apa, Mi?"

"Mami sama Papi mau pergi ke makam adik kamu. Kamu mau ikut?"

"Mau, Mi."

"Ya, udah, sekarang juga kamu pulang. Kita mau buru-buru berangkatnya."

"Iya, Mi."

Sambungan telepon itu akhirnya diputuskan oleh Riana, dan usai panggilan telepon tersebut, Addan segera memasukkan ponselnya ke saku celana. Addan langsung bergegas menuju rumahnya.

***

Addan dan kedua orang tuanya sudah berada di sebuah makam. Makam itu adalah makam dari almarhumah adiknya Addan. Di batu nisan yang berada dekat makam itu, bertuliskan sebuah nama Zia Alkarima.

Addan dan kedua orang tuanya kini berdoa bersama untuk Zia, dan saat seusai berdoa Addan menatap ke arah makam itu. Rasa bersalah benar-benar menyelimuti Addan. Rasa bersalah yang tidak pernah hilang sampai detik ini.

Gue kakak yang buruk. Gue rasa, gue emang pantes untuk enggak disayang secara seutuhnya dari orang tua gue. Bahkan, gue merasa gue pantes untuk enggak disayang sama sekali, batin Addan.

Addan melirik ke arah orang tuanya adalah mereka yang tampak sedang menatap makam itu dengan tatapan sedih. Hal itu semakin membuat Addan merasa bersalah.

"Ayo, kita pulang." Ajakan dari Rama yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Riana dan juga Addan.

Mereka bertiga berjalan memasuki mobil untuk menuju tempat yang katanya rumah, tapi tidak terasa seperti rumah menurut Addan. Bukan bangunannya yang tidak tampak seperti rumah, hanya saja suasana itu yang tidak menunjukkan seperti rumah. Kehangatan yang redup.

Rama kini sedang sibuk menyetir mobil tersebut, sementara Addan dan Riana hanya diam tanpa suara. Suasana di mobil itu benar-benar sangat hening. Menurut Addan ini tidak seperti biasanya, karena biasanya Riana akan selalu bertanya-tanya tentang keseharian Addan untuk memecah keheningan. Bahkan Rama pun biasanya dia akan bersenandung untuk mencairkan suasana. Namun, suasana itu benar-benar hilang.

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang