"Setiap cobaan yang Allah kasih, itu tidak pernah berada di luar batas kemampuan hambanya"
~~~
Addan dan Edwin sudah tiba di pesantren yang menjadi tempat tujuan mereka. Sebuah pesantren yang bernama Pesantren Al-Baroqah. Baik Addan ataupun Edwin, keduanya disambut baik oleh para santriwan dan santriwati di sana.
Kini mereka sedang duduk di bawah pohon besar yang rindang, di belakang masjid.
"Wah! Akhirnya balik lagi kita ke sini," kata Edwin.
Addan yang mendengar perkataan Edwin itu langsung menghela napasnya, sembari dia menoleh ke arah Edwin. "Lo seneng, ya, balik ke sini lagi?"
"Iya. Kamu sendiri?"
"Entahlah. Gue masih merasa kalau pesantren itu tempat untuk mereka yang enggak disayang orang tua."
"Tapi itu enggak bener."
Sebanyak apapun Edwin berkata bahwa asumsi Addan tentang pesantren tidak benar, Addan tetaplah Addan yang cukup keras dengan apa yang dia yakini benar.
"Bagi orang lain mungkin itu emang enggak bener, tapi bagi gue itu sebuah kenyataan."
Addan menarik napas panjang, berusaha keras untuk menahan air matanya, karena ia akan mulai mengatakan sesuatu yang menusuk perasaannya. "Tapi seenggaknya, di tempat ini gue enggak perlu lagi menghadapi sifat dinginnya orang tua gue."
"Aku emang enggak terlalu ngerti masalah apa yang lagi kamu hadapin saat ini, tapi aku percaya kalo kamu pasti bisa menghadapinya. Karena setiap cobaan yang Allah kasih, itu tidak pernah berada di luar batas kemampuan hamba-Nya."
"Iya, makasih."
Seketika suasana betubah menjadi hening. Tak ada lagi percakapan yang terjadi di antara mereka, sampai akhirnya mereka mendengar ada yang memanggil nama mereka.
"Hey, Addan. Hey, Edwin."
Sontak mereka menoleh ke asal suara, dan ternyata suara itu berasal dari Santo dan Dono yang memanggil mereka. Santo dan Dono juga merupakan salah satu santriwan di pesantren itu.
"Dari tadi kita nyariin kalian. Gue kira kalian ke mana, rupanya ada di sini," ucap Santo.
"Buruan masuk masjid! Sebentar lagi Ustadzah Atul mau tauziah," ujar Dono.
Edwin dan Addan hanya mengikuti saja perintah dari Santo dan juga Dono, meninggalkan tempat yang tadi mereka tempati.
***
Di tempat lain, di sebuah rumah yang Sru tinggali bersama Susi, tampak Sri sedang membuat teh hangat untuk diberikan kepada Susi. Saat teh itu sudah siap, Sri bergegas masuk ke kamar Susi.
Ketika Sri sudah tiba di kamar Susi, ia merasa sangat terkejut, panik, sekaligus sedih. Susi saat ini sedang berada di lantai dengan keadaan tak sadarkan diri. Sontak itu membuat Sri tidak sengaja menjatuhkan gelas teh yang tadi dia pegang. Tanpa menunggu waktu lama, Sri bergegas menghampiri Susi yang sudah terlihat begitu lemah.
Tubuh Susi terasa sekali sedang demam. Terdapat keringat deras dari Susi meski cuaca saat ini sedang tidak panas, ditambah terdapat bekas darah di sekitar mulut Susi.
Bersamaan dengan derasnya keringat yang bercucuran dari Susi, air mata Sri juga luruh dengan deras saat itu juga. Jika bisa ditukar, Sri pasti memilih lebih baik dia saja yang merasakan sakit yang diderita ibunya. Sayangnya, Sri tidak bisa melakukan itu.
"Gawat! Ini pasti tadi ibu habis batuk berdarah. Pasti TBC ibu kambuh."
Tanpa pikir panjang, Sri bergegas keluar mencari seseorang yang mau menolongnya untuk mengantarkan ibunya ke rumah sakit. Sampai akhirnya dia menemukannya. Menemukan seseorang yang akan membantu membawa Susi ke rumah sakit.
Pada akhirnya, di sinilah Sri sekarang. Di sebuah rumah sakit yang sama saat Sri pertama kali mengetahui bahwa Susi menderita tuberkulosis.
Sri berjalan bolak-balik di depan ruang ICU, sambil menunggu dokter yang memeriksa keadaan ibunya. Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Namun, Sri berusaha menenangkannya dengan berdoa.
Setelah cukup lama Sri menunggu, salah satu dokter keluar dari ruangan, dan itu membuat Sri bergegas menghampirinya.
"Dok, bagaimana keadaan ibu saya?"
"Kami masih menjalankan pemeriksaan, tapi semua akan baik-baik saja." Kata baik-baik saja yang merupakan kata-kata penenang saja. Nyatanya kondisi Susi saat ini pun masih dipertanyakan.
Dokter itu berlalu pergi meninggalkan Sri usai dia mengatakan kalimat penenang itu kepada Sri.
Setelah kepergian dokter itu, Sri berusaha lebih tenang kali ini. Sri meyakini kepada Tuhan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya itu harapan yang sedang Sri pegang.
Oke, Sri. Kamu harus tenang! Kamu harus kuat! Kamu harus percayain semua sama yang di atas! Kamu harus kuat! Semua akan baik-baik aja, batin Sri yang tidak ada hentinya untuk memberikan semangat pada dirinya sendiri. Kekuatan yang tercipta karena keterpaksaan keadaan.
Kali ini Sri mencoba untuk duduk diam, berusaha untuk tetap tenang sambil terus berdoa dalam hati. Hingga akhirnya, Sri mencoba berjalan-jalan mengelilingi rumah sakit untuk menenangkan pikirannya.
Sampai akhirnya setelah Sri berhenti di depan sebuah ruangan, di dalam ruangan itu ia melihat Aini sendirian terbaring dengan selang infus di tangannya. Tanpa pikir panjang, Sri langsung bergegas masuk ke dalam.
"Hai," sapa Sri.
Aini yang melihat kehadiran Sri tentu saja sangat terkejut, dan itu dapat terlihat jelas dari raut wajahnya.
"Udah, enggak usah terkejut. By the way, kamu sakit apa dan kamu kenapa sendirian di sini?"
Aini hanya menatap Sri dengan tatapan tidak suka.
"Gue kena demam berdarah. Puas lo!" ketus Aini.
Meski Sri bertanya dengan baik-baik, tapi jika itu keluar dari mulut Sri, Aini merasa tidak menyukainya.
"Maafin aku kalau gitu. Oh, ya, aku boleh, 'kan, temenin lo di sini? Habisnya aku kasian liat kamu sendiri," tanya Sri dengan sehati-hati mungkin.
"Enggak perlu. Pergi sana!"
"Ya, udah. Maaf kalau aku ganggu kamu."
Sri kemudian memutuskan untuk pergi saja, dan kembali ke ruangan ibunya.
Saat kepergian Sri, Aini hanya bisa terdiam saja. Benar-benar tanpa suara saat dia sedang menatap Sri yang perlahan menghilang dari pandangannya.
Sri masih sama seperti dulu. Seperti Sri yang Aini kenali sebelumnya. Itu masih Sri yang ada di masa lalu Aini. Namun, Sri yang seperti itu justru mengingatkan Aini tentang alasan di balik kebenciannya terhadap Sri.
Ingin rasanya Aini mengakhiri kebencian itu, tapi hatinya seolah sudah jatuh di dalamnya. Sri membenci Aini.
Ada kekecewaan yang terbesit kala memori lama antara Sri dan Aini. Namun, untuk sekali ini, rasa kecewa itu dibuat sirna sesaat dan digantikan dengan secuil rasa perlahan.
Kenapa dia enggak marah sama perkataan gue? Kenapa dia mau temenin gue padahal gue udah jahat sama dia? Dan kenapa tiba-tiba gue ngerasa jahat, ya, sama dia? batin Aini.
***
Sri sama Aini ada kisah lalu berupa apa, ya. Wkwk.Ses you next chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)
SpiritualMenceritakan tentang seorang lelaki bernama Addan Alzohri yang harus mendapatkan hukuman dari orang tuanya berupa pergi ke pesantren dengan harapan kelakuannya yang tengil itu dapat berubah. Alih-alih berubah, Addan justru menjadi beranggapan kalau...