Hari ini adalah hari terakhir. Para anak Rohis berlatih qosidahan, karena acara yang akan dilaksanakan sudah bisa dimulai besok.
Sri, Bintaya dan Ila, yang bertugas sebagai vokalis hari ini berlatih dengan kak Rani. Tapi, Sri dan Bintaya tidak mengetahui kalau Kak Rani adalah kakak dari Edwin. Namun, Ila masih mengingat wajah kak Rani, karena ia waktu itu pernah tidak sengaja melihatnya sedang bersama Edwin, dan Ila yakin sekali, kalau Kak Rani itu adalah kakaknya Edwin, karena wajahnya sangat mirip sekali dengan Edwin. Wajah kak Rani juga masih sangat muda, jadi tidak mungkin ia ibunya Edwin.
"Baiklah, kita istirahat sebentar, ya, nanti kita lanjut lagi. Kakak juga mau pergi sebentar," kata Kak Rani.
"Baik, Kak." Mereka bertiga menjawab dengan serempak.
Kak Rani beranjak pergi ke depan untuk meninggalkan mereka bertiga di sana. Saat setelah kepergian kak Rani, tidak ada perbincangan yang terjadi di antara mereka bertiga. Biasanya setelah selesai latihan, mereka akan berbincang bertiga. Tapi semenjak kejadian uang sumbangan yang hilang itu, mereka tidak pernah lagi berbincang seperti dulu. Bahkan, saat ini Bintaya dan Ila sedang duduk berdampingan dengan jarak sekitar tiga puluh centi meter dari Sri. Sri benar-benar dijauhi oleh ke dua teman yang dulu sangat dekat dengannya.
Pada kenyataannya people come and go itu benar ada. Antara pergi karena habis masa, atau pergi karena kematian. Seseorang yang hari ini bisa begitu memercayaimu, bisa saja di hari selanjutnya dia begitu menyakitimu.
"Bintaya, kayaknya tadi yang ngelatih kita itu kakaknya Gus Edwin," ujar Ila.
"Tau dari mana kamu?" tanya Bintaya.
"Soalnya waktu itu aku pernah liat dia sama Gus Edwin."
"Oh, iya. Waktu itu kamu pernah cerita."
Kira-kira kalo aku cerita sama Sri, dia bakal heboh enggak ya meresponsnya? Huh ... aku kangen, sih, sama Sri. Tapi aku, 'kan enggak mungkin temenan sama tukang maling. Tapi, apa mungkin kalau emang Sri yang ngambil uang sumbangan itu? Batin Ila bergelut akan pikiran-pikiran yang datang. Pikiran yang datang dan sulit untuk dikendalikan.
Ila hanya bisa menghela napasnya dengan berat, dan itu membuat Bintaya hanya heran sendiri dengan tingkah Ila.
"Kamu kenapa? Kamu ada masalah?" tanya Bintaya.
"Enggak, kok. Oh, ya, ngomong-ngomong kamu kangen enggak, sih, ngobrol sama Sri?" Ila bertanya sembari sesekali dia melirik Sri.
"Sedikit. Tapi, apa mungkin kita temenan sama maling?"
"Kayaknya, sih, enggak."
Sri yang yang berada di sana, langsung menghampiri Ila dan Bintaya. Jujur saja, dia masih merasa mereka adalah temannya.
"Hai," sapa Sri.
Sayangnya sapaan dari Sri tidak mendapat respons dari teman-temannya, dan itu membuat Sri merasa sangat sedih. Tapi, ia mencoba untuk tetap kuat.
Sri harus kuat! Sri harus semangat! Sri enggak boleh sedih! Mungkin saat ini emang enggak ada yang percaya sama Sri. Tapi, Sri harus yakin kalau kebenaran bakal terungkap. Suatu hari nanti, semua orang akan kembali memercayai Sri, batin Sri yang berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Memberikan dukungan terhadap diri sendiri itu perlu. Agar saat dunia dan seisi makhluk yang menempatinya mulai mengecewakanmu, masih ada dirimu yang senantiasa memberikan dukungan untuk diri sendiri. Nyatanya, bertahan demi diri sendiri juga diperlukan. Pada kenyataannya juga, seberapa dekat kita dengan seseorang, orang yang benar-benar membersamai kita hingga akhir hanyalah diri sendiri.
***
Latihan hari ini telah selesai, kini Sri tengah mengayuh sepedanya untuk menuju jalan pulang. Namun, tiba-tiba Sri berhenti mengayuh kendaraan beroda dua itu saat ia melihat Anam, Danas, dan Gilang sedang dikejar anjing. Bersamaan dengan itu, Sri melihat sebuah tulang ayam yang cukup besar di sampingnya, dan ia langsung melempar tulang itu ke arah anjing itu, hingga anjing itu manggigit tulang itu untuk membawanya pergi. Kini anjing itu tidak lagi mengejar Anam, Gilang, dan Danas. Sri sedikit tersenyum karenanya, sebelum ia kembali mengayuh sepedanya.
"Eh, anjing tadi udah pergi," ujar Anam.
"Syukurlah. Ini semua gara-gara kalian. Gara-gara kalian, nih, mankanya anjing tadi ngejer kita!" sewot Gilang.
"Enak aja! Ini, tuh, cuman salahnya si Anam. Dia yang enggak sengaja nendang bola ke arah anjing," kata Danas.
Anam yang mendengar dirinya disalahkan, tentu saja tidak terima. Demi membela dirinya sendiri, Anam mengangkat suaranya untuk diucapkan kepada kedua temannya.
"Tapi, kan, waktu gue nendang bola itu, tuh anjing belum marah. Anjing itu justru marah gara-gara teriakan Danas tadi. Danas, sih, tadi pakek teriak hei, anjing jangan marah, ya. Gara-gara teriakan Danas yang berisik, anjjng itu jadi ngejer kita, deh." Itulah pembelaan yang diberikan oleh Anam, yang memang benar adanya.
"Ya, maaf. Tapi, gue heran, kira-kira siapa, ya, yang udah buat anjing tadi pergi?" tanya Danas.
"Ketampanan gue mungkin," jawab Anam asal.
Belum sampai lima detik usai pernyataan narsis Anam, tiba-tiba saja kaki Anam tersandung batu dan dia masuk got yang berada di sampingnya. Gilang dan Danas hanya tertawa saja melihat Anam yang masuk got.
"Semesta enggak setuju sama ucapan lo barusan, yang bilang kalau lo tampan," celetuk Gilang diiringi kekehannya.
Ini got pakek di sini segala sih! Malu-maluin gue aja!
***
Seorang wanita paruh baya terduduk dengan lemas dengan pisau yang tergeletak tepat di setelahnya. Wanita itu kelelahan meski dia baru memotong beberapa sayuran sebentar. Akhir-akhir ini dia memang merasa tubuhnya gampang lelah.
Giginya bergelutuk di dalam bibir pucatnya. Wanita itu merasa sensasi dingin dalam tubuhnya. Wanita itu bahkan heran sendiri mengapa dia bisa merasa kedinginan, padahal saat dia menyentuh dahinya dengan punggung tangannya, dahi itu terasa sangat panas.
Tangan wanita itu meremas kuat dadanya yang terasa sesak. Wanita itu bahkan Terbatuk-batuk dibuatnya. Entah apa yang terjadi pada dirinya, yang jelas wanita itu merasa sangat tidak sehat. Ini bukanlah pertama kalinya wanita paruh baya itu mengalami hal semacam ini.
Dengan sekuat tenaga, wanita itu berusaha berdiri sembari mencari pegangan yang bisa dia gunakan untuk menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Wanita itu menuangkan minum ke dalam gelas, dengan harapan batuknya akan segera mereda.
"Kumohon ... meredalah. Ya, Allah, tolong hamba."
Cukup lama wanita itu menahan sakit, hingga pada akhirnya,dirinya merasa ada secuil rasa membaik dalam tubuhnya. Meskipun dia masih merasakan lemas dan dingin itu.
Wanita itu kembali melanjutkan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda. Memotong beberapa sayuran. Untuk saat ini wanita paruh baya itu berharap, saat seseorang yang tinggal bersamanya di rumah itu tiba, seseorang itu tidak mencurigai keadaannya yang sangat jauh dari kata sehat.
"Sakit."
***
See you next chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)
SpiritualMenceritakan tentang seorang lelaki bernama Addan Alzohri yang harus mendapatkan hukuman dari orang tuanya berupa pergi ke pesantren dengan harapan kelakuannya yang tengil itu dapat berubah. Alih-alih berubah, Addan justru menjadi beranggapan kalau...