Bukan Karma

137 48 110
                                    

Sri memakirkan sepedanya di sebuah rumah ynag terbilang cukup mewah, ia menekan bel rumah tersebut, hingga tak lama kemudian seorang wanita paruh baya itu keluar dan membuka pintu. Wanita paruh baya itu adalah Umi Ella, Pembina Rohis di sekolah Sri.

"Ada apa, Sri?"

"Saya hanya ingin bertanya, berapa jumlah uang sumbangan yang hilang itu?"

"Kamu tidak tahu? Jumlah uang yang hilang itu ada lima juta. Bagaimana bisa kamu tidak mengetahuinya? Bukankah kamu yang mengambil uang itu?"

"Karena uang itu berada di dalam amplop, Umi. Saya tidak pernah membuka amplop tersebut, apalagi mencurinya. Ah, tapi kalo Umi tidak percaya tidak apa-apa, kok. Saya pamit pulang dulu, ya, Umi. Suatu saat nanti saya akan mengganti uang itu. Assalamu'alaikum, Umi."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu."

Sri mengayuh kembali sepeda miliknya, Ia mengayuh terus hingga sepeda tersebut mulai menjauh dari gerbang rumah milik Umi Ella. Umi Ella hanya mematung saja selepas kepergian dari Sri.

Sri anak yang baik, dan sepertinya dia tidak mungkin mencuri uang sumbangan itu. Bahkan, Sri saja tidak berani membuka amplop berisi sumbangan itu, apalagi mencurinya. Sepertinya masalah uang ini harus aku selidiki dulu.

***

Sri terus mengayuh sepedanya hingga ia hampir tiba di rumahnya. Namun, saat ini ia berhenti mengayuh karena seseorang menghampirinya. Seseorang itu bernama Ima, salah satu Anggota Rohis yang sama dengan Sri.

"Ada apa, Ima?"

"Enggak ada apa-apa, kok, Sri. Aku cuman mau nanya, tujuan kamu ngambil uang sumbangan itu apa, sih? Aku enggak nyangka banget, loh." Ima bertanya dengan nada penuh kecurigaan.

"Aku enggak pernah nyuri uang itu, kok. Tapi kalo kamu enggak percaya, enggak apa-apa."

"Mohon maaf banget, ya, Sri. Mohon maaf banget. Tapi aku enggak bisa percaya sama kamu setelah ada saksi yang berbicara. Tapi Sri, ternyata emang bener, ya, kalo uang curian itu enggak bakal bertahan lama."

"Maksudnya?"

"Iya, maksudku, kamu, kan, udah nyuri uang sumbangan itu. Nah, ternyata uang hasil curian itu enggak bertahan lama di tangan kamu. By the way, kayaknya kamu kena karma, deh. Soalnya tadi dagangan Ibu kamu lagi diacak sama preman, dan semua uang ibu kamu udah habis diambil preman. Warga pengen nolongin, tapi premannya udah keburu kabur. Sekarang rumah lo lagi rame, nih."

Sri syok bukan main begitu mendengarnya. Sri cepat-cepat mengayuh sepedanya hingga ia benar-benar sampai di rumahnya.

Setibanya Sri di rumah, ia sudah melihat banyak orang yang sudah berkumpul di rumahnya. Sri juga sudah melihat Susi terduduk di teras rumah sambil menangis. Sri dengan cepat langsung menghampiri Susi.

"Ibu, kenapa bisa kayak gini?" tanya Sri panik.

"Ibu juga enggak tau, Sri. Preman itu tiba-tiba aja dateng dan malak ibu. Dia hancurin  gerobak dagangan ibu. Bahkan, dia juga ngehancurin dagangan Ibu sampai enggak ada lagi yang tersisa. Uang kita juga ludes semuanya." Susi menjawab dengan penuh isakan.

"Ini pasti karma buat, Sri, gara-gara dia udah mencuri uang sumbangan untuk anak yatim. Eh, tapi karma itu malah kena limbas ke ibunya juga," celetuk Aini yang berada dikerumunan itu, begitu pula dengan Bintaya, Ila, dan teman-teman Sri yang lain sedang berada di kerumunan yang sama.

Celetukan dari Aini sukses membuat warga marah kepada Sri dan Susi. Asumsi yang terucap tanpa dasar itu diterima dengan mentah tanpa ada bukti penyanggah. Nyatanya, mulut yang bukan senjata tajam bisa menyakiti melebihi dari senjata tajam itu sendiri.

"Ealah, kirain Sri anak yang baik. Tapi ternyata Sri itu tukang maling. Bu Susi ini enggak bener didik anak."

"Wah, enggak nyangka banget, ya, anaknya Bu Susi kayak gitu."

"Kalo tau kayak gini, mending saya enggak usah repot-repot buat mau bantuin Bu Susi."

Ya, begitulah cibiran-cibiran dari warga. Cibiran yang terus terlontar sampai mereka merasa lelah sendiri hanya untuk hari ini.

Pada akhirnya warga-warga dan teman-teman Sri yang lain pergi meninggalkan tempat itu. Dari sekian banyak kerumunan tadi, kini hanya tersisa Ila dan Bintaya saja. Mereka berdua datang menghampiri Sri dan Susi yang sedang menangis.

"Bintaya, Ila, kalian percaya, kan, kalau aku enggak mencuri uang itu?" lirih Sri yang masih mengharapkan kepercayaan dari kedua orang yang begitu dia percaya.

"Entahlah. Kita juga bingung harus percaya atau enggak," jawab Ila.

"Sri, inget besok itu latihan qosidahan terakhir kita. Berhubung acara yang bakal digelar di Masjid Al-Iman bakal dilaksanain lusa, pastikan besok kamu harus datang," ujar Bintaya berusaha mengalihkan topik karena dia masih sukar memberikan kepercayaan itu untuk Sri.

Bintaya dan Ila kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

Enggak ada lagi sahabat yang percaya sama aku. Enggak ada lagi sahabat yang selalu menghibur dan menguatkanku. Mereka semua menganggap kalau ini adalah karma yang pantas kuterima. Tapi yang sebenarnya ini bukan karma, karena aku sama sekali enggak mencuri uang itu, batin Sri menangis, menjelaskan kejelasan yang sukar dipercaya.

Dari jarak kejauhan, ada Aini yang berdiri sembari menatap Sri penuh arti. Aini melihatnya. Melihat dengan jelas bagaimana Sri saat ini sedang dirundung kesedihan. Aini jelas melihat betapa banyak air mata yang keluar dari Sri saat ini.

Aini mengeluarkan sesuatu yang cukup tebal dari dalam sakunya. Sebuah amplop dengan sejumlah uang di dalamnya. Matanya menatap tajam ke arah amplop itu, sebelum dirinya berganti menatap ke arah Sri. "Sorry, gue harus bertindak sejauh ini."

Aini kembali memasukkan amplop yang semula dia keluarkan, dan berjalan untuk benar-benar pergi meninggalkan tempat Sri. Ada sebuah senyum terukir dari wajahnya. Entah apa maksudnya, tetapi ada sesuatu yang Aini rasakan. Senang di atas penderitaan orang lain?

Langkah Aini terhenti begitu seorang gadis yang sebaya dengan dirinya muncul begitu saja di hadapannya.

"Kenapa?" Aini bertanya to the point terhadap orang yang saat ini berdiri di hadapannya.

"Aku udah lakuin apa yang kamu minta. Menjadi saksi palsu untuk menuduh Sri. Tolong ... hapus semua yang kamu tau. Hapus semua bukti itu. Jangan ganggu aku lagi!"

Aini memasang smirk pada wajahnya, berjalan semakin dekat ke arah lawan bicaranya, dan menepuk pelan pundak lawan bicaranya itu. "Oke."

***

"Aduuuuuh!" jerit Edwin, saat seorang tukang urut mengurut pinggangnya.

"Ih. Telinga Kak Rani lama-lama bisa tuli, nih, kalau kamu jerit-jerit terus," cibir Rani—kakaknya Edwin.

"Sakit, Kak."

"Ya, namanya juga lagi diurut. Lagian kamu aneh-aneh aja, sih. Pake acara jatoh ke got segala."

"Aku ditabrak orang sampe masuk got, kak. Terus orang yang nabrak aku ikutan jatoh dan nimpah badanku sampe pinggang aku encok kaya gini."

"Miris!"










***
Waduh, waduh, dasar Aini. By the way, gimana pendapatmu tentang chapter satu ini?

See you next chapter!

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang