Hari ini adalah hari pertama bagi seluruh Anggota Rohis di SMAN 1 Garuda Emas—SMA tempat Sri sekolah—memulai latihan mereka untuk acara qasidahan.
Sri, Bintaya, dan Ila baru saja tiba di sebuah masjid tempat mereka berlatih. Saat mereka baru tiba, mereka melihat seorang pemuda yang kira-kira seumuran dengan mereka memasuki masjid itu. Pada saat yang bersamaan, mereka juga melihat Ara, salah satu teman mereka yang bertugas sebagai panitia di acara tersebut. Mereka bertiga pun, langsung menghampiri Ara.
"Ara, kamu liat enggak tadi ada orang yang barusan masuk ke dalem masjid ini?" Sri yang pertama kali memulai percakapan dengan pertanyaan.
"Iya, aku liat. Memang kenapa?"
"Dia siapa, ya?" Bintaya ikut bertanya.
Ara yang mendengar pertanyaan dari Bintaya seketika dibuat nyaris melotot. Bagaimana bisa mereka tidak mengenali orang yang barusan lewat itu?
"Hah? Kalian enggak tau?"
Mereka bertiga menggelengkan kepala mereka sebagai tanda, bahwa mereka tidak tau.
"Dia itu Edwin. Dia itu anak dari tante Wiwin, dan om Wawan. Orang tua dia itu selalu jadi donatur terbesar setiap ada acara kayak gini. Selain itu, dia juga Santriwan di Pesantren Al-Baroqah. Dia itu pinter banget ngaji, dia juga selalu juara setiap ada lomba tilawah tingkat nasional."
"Ouh, begitu," jawab mereka bertiga serempak bagaikan paduan suara.
"Ya, udah, aku duluan, ya. Masih banyak yang perlu aku siapin buat acara ini."
Ara pergi meninggalkan mereka bertiga. Kepergiannya membuat tiga sekawan menatap punggungnya yang mulai menghilang dari pandangan.
Di tengah-tengah kegiatan tiga sekawan, mereka mendengar suara benturan dari badan yang terjatuh langsung ke arah lantai.
"Aww!" ringis Sri saat ada seseorang yang tidak sengaja menabrak tubuhnya hingga membuat dirinya terjatuh.
"Mankanya berdiri jangan di depan pintu, udah tau pintu buat lewat juga," ketus pria itu yang menabrak tubuh Sri secara tidak sengaja.
Sri bangkit berdiri dan menatap pria itu. "Tapi, 'kan, kamu yang enggak liat," ujar Sri yang masih sabar menghadapi kelakuan seseorang di hadapannya.
"Bodo amat!"
Ila hampir saja melayangkan tinjuannya pada pundak lelaki yang sedang menyolot itu, tapi tertahan karena Bintaya dan Sri lebih dulu mencegahnya. Untung saja yang ditabrak pria itu adalah seorang Sri, jika yang ditabrak Ila maka Ila akan langsung menonjok wajah pelaku dengan cepat sebelum dicegah.
"Eh, buset! Udah nabrak enggak minta maaf pula," sindir Ila dengan suara yang sedikit ditinggikan.
Meski bukan Ila yang ditabrak, tapi dia yang emosi dengan respons lelaki itu, apalagi sekarang lelaki itu pergi begitu saja tanpa mengucap maaf.
"Udah, La. Enggak apa-apa, kok. Lagian salahku berdiri di dekat pintu."
"Ya, 'kan, seenggak-seenggaknya dia minta maaf sama kamu, Sri."
"Udah. Mending kita masuk aja." Bintaya yang mulai tidak ingin mendengar perbincangan itu lagi pada akhirnya mulai angkat suara untuk mengambil jalan tengah, dengan cara kembali mengajak masuk.
Pada akhirnya mereka bertiga, kembali memasuki Masjid itu, dan pemandangan pertama yang mereka lihat adalah seorang Gus Edwin yang sedang membantu Anam—Anggota Rohis lainnya—menggulung tikar di masjid.
"Dia bukan cuman ganteng, tapi baik," ungkap Ila penuh kekaguman.
"Jaga pandangan, Ila!" Bintaya mulai memperingati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)
SpiritualMenceritakan tentang seorang lelaki bernama Addan Alzohri yang harus mendapatkan hukuman dari orang tuanya berupa pergi ke pesantren dengan harapan kelakuannya yang tengil itu dapat berubah. Alih-alih berubah, Addan justru menjadi beranggapan kalau...