Kecewa

80 18 11
                                    

Sri sudah berada di rumahnya, dan betapa terkejutnya ia saat mendapati banyak orang di depan rumahnya. Di sana sudah ada Ila, Bintaya, Danas, Gilang, dan Anam.

"Kalian ngapain ke sini?"

"Sri, kami mau minta maaf karena udah nuduh lo maling. Maaf banget, Sri," ujar Gilang.

"Kami bener-bener udah kemakan hasutan Aini itu," sambung Anam.

"Kami nyesel, Sri. Semua anak rohis juga udah pada nyesel." Danas angkat suara.

Sri yang mendengar perkataan mereka itu pun hanya menghela napasnya saja. Sri benar-benar tidak menyangka kalau keadaan sudah berbalik sekarang. Dulu Sri sama sekali tidak mendapatkan kepercayaan dari semua orang kecuali dari Susi dan juga Addan. Tapi sekarang semua orang yang tidak memercayai Sri justru datang kepadanya dan berujar kata maaf.

"Enggak apa-apa, kok. Ini enggak sepenuhnya salah kalian, jadi aku udah maafin."

Mereka bertiga yang mendengarnya kini bisa bernapas lega. Mereka pikir Sri tidak akan memaafkan mereka, tapi ternyata mereka salah.

"Lo emang baik banget, deh, Sri."

"Yang paling baik pokoknya."

"Apaan, sih, kalian. Lebay, deh," kata Sri.

"Kalau gitu kami pulang, ya, Sri. Kami tadi cuman mau minta maaf aja, kok," kata Gilang.

"Iya, udah."

Danas, Gilang, dan Anam meninggalkan rumah Sri. Kini yang tersisa hanya ada Sri, Ila dan Bintaya.

"Kalian berdua enggak mau ikutan pulang juga?" tanya Sri.

Mereka menggeleng sebagai bentuk dari jawaban.

"Enggak, Sri." Ila menambahkan jawaban itu dengan ucapan.

"Terus mau ngapain? Kalau mau minta maaf, aku udah maafin kalian," Sri berujar dingin.

Bintaya dan Ila tentu saja terkejut mendengarnya. Ini tak seperti Sri yang mereka kenal.

"Sri, maaf," lirih Bintaya.

"Aku udah bilang kalau aku udah maafin kalian, 'kan?" Sri agak meninggikan suaranya.

Sadar akan perkataannya barusan membuat Sri terdiam beberapa detik.

"Sorry, aku enggak sengaja ngegas. Tadi kelepasan. Tapi kalau boleh jujur, ya, aku emang udah maafin kalian. Hanya saja masih ada sedikit rasa kecewa yang belum hilang untuk kalian."

Memaafkan itu perihal mudah. Yang sulit adalah menghilangkan rasa kecewa yang timbul akibat luka yang diberi. Memberikan maaf itu mudah. Yang sulit adalah menerima luka yang masih membekas.

"Kalian berdua orang yang aku anggap sahabat, tapi dengan mudahnya lebih percaya fitnah yang dikasih orang lain. Kalian berdua yang ngakunya udah kenal aku, tapi malah percaya gitu aja kalau aku pencuri."

Ila dan Bintaya diam seribu bahasa. Ini benar-benar pertama kalinya Sri mengeluarkan keluhan kecewanya terhadap mereka berdua.

"Asal kalian tau, aku masih bisa maklumin kalau yang nuduh aku itu orang lain. Tapi ini ... yang katanya sahabat aku. Harusnya sebelum kalian nuduh aku, kalian cari tau dululah kebenarannya."

Lagi, Ila dan Bintaya hanya bisa terdiam mendengar perkataan Sri. Mau mengucapkan kembali kata maaf pun akan percuma, karena Sri sudah terlanjur kecewa.

Terkadang, dikecewakan oleh orang lain yang kamu tidak dekat masih terasa lebih baik ketimbang dikecewakan oleh orang yang dekat denganmu. Orang yang kita anggap dekat nyatanya berpotensi besar untuk menyakiti. Bahkan lebih besar daripada orang lain yang tidak begitu mengenal siapa kamu.

Kala kepercayaan mulai hilang, akan ada kekecewaan yang menyelimuti dan membutuhkan waktu untuk disembuhkan. Memaafkan tentunya bisa sedikit membantu, tapi merangkul kecewa dan menerima bekas luka itu bukan perkara yang mudah.

"Untuk sementara waktu ini, aku butuh waktu untuk menyembuhkan rasa kecewaku ini untuk kalian. Jadi jangan ganggu aku dulu, ya."

Tanpa mau mendengar perkataan dari Ila dan Bintaya, Sri langsung bergegas masuk ke dalam rumah meninggalkan mereka berdua yang masih berdiri mematung di sana.

Tempat tujuan Sri saat ini adalah kamarnya.

Sesampainya Sri di kamar, ia langsung menangis tanpa suara. Mengutarakan isi hatinya tadi benar-benar membutuhkan energi yang besar bagi Sri, apalagi itu ditujukan kepada orang terdekatnya.

"Bintaya, Ila, maafin aku. Aku enggak bermaksud kayak tadi, tapi rasa kecewaku juga butuh didengar. Itu semua supaya hal yang sama enggak terjadi lagi," lirih Sri.

Sri kembali terdiam dan menangis saat mengingat apa yang baru saja ia ucapkan kepada Ila dan Bintaya tadi.

"Sri."

Suara panggilan dari Susi membuat Sri buru-buru mengusap air matanya. Setelah itu Sri beranjak pergi dari kamarnya, dan menuju arah suara tempat di mana Susi memanggilnya tadi. Di dapur.

"Ada apa, Ibu?" tanya Sri saat sudah sampai.

"Kamu udah pulang, kenapa enggak bilang ke Ibu? Main langsung masuk aja. Tumben banget."

"Maafin aku, Ibu. Tadi lagi buru-buru sampe lupa."

"Ya, udah, deh. Eh, iya, tadi di depan ada temen-temen kamu rame banget. Ada berlima kalau enggak salah."

"Iya, tadi mereka cuman mau ngobrol biasa doang sama aku. Sekarang mereka udah pulang."

Sebenernya yang Sri ingat, yang pulang tadi itu hanyalah Anam, Danas, dan Gilang. Bintaya dan Ila, Sri bahkan tidak tau mereka sudah pulang atau belum karena Sri langsung meninggalkan mereka begitu saja.

"Ouh, udah pulang. Cepet amat. Baru juga Ibu mau buatin minuman."

"Mungkin mereka lagi buru-bur--"

"Permisi."

Uacapan Sri terpotong karena mendengar suara seseorang dari depan. Apakah itu suara Ila atau Bintaya? Ah, tapi kali ini suaranya berbeda.

"Kayaknya ada temen kamu lagi, tuh, dateng. Coba, deh, kamu liat dulu."

"Iya, Ibu."

Sri berjalan ke depan pintu rumahnya untuk melihat seseorang yang ada di sana.

"Loh?"

Terkejut? Tentu saja. Bagaimana Sri tidak terkejut kalau yang di hadapannya ini adalah gadis yang beberapa hari lalu ia temui di rumah sakit.

"Kaget, ya?" tanya gadis itu.

"Iya. Kamu tau rumah aku dari mana?"

"Addan."

"Kayaknya kamu mendingan masuk dulu ke dalam, deh. Biar kita bisa mengobrol di dalam juga. Biar lebih enak," tawar Sri.

Setelah itu gadis itu masuk ke dalam rumah. Sebelum Sri ikut masuk juga, Sri memerhatikan ke arah depan rumahnya itu.

"Sepertinya Bintaya sama Ila udah enggak ada," gumam Sri.

Sri memasuki rumahnya dan menghampiri gadis yang sudah duduk di kursi tamu miliknya.

Rasa penasaran terbesit dalam diri Sri. Mulai dari kedatangan gadis ini ke rumahnya, sampai pada Addan yang memberi tau alamat rumah Sri kepada gadis ini, semuanya membingungkan. Entah permainan seperti apa yang sedang Addan lakukan.

"Jadi kenapa Addan bisa kasih tau alamat rumah aku ke kamu?" tanya Sri.

"Dia pengen gue ngobrolin sesuatu ke lo."

"Tentang apa?"

"Tentang Addan."

Sri menautkan kedua alisnya tanda ia bingung.

Tentang Addan? Apa yang pengen dia omongin tentang Addan?









***
See you next chapter!

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang