Ruang makan saat ini sudah dipenuhi oleh Addan dan kedua orang tuanya. Hening. Hanya ada suara sendok yang bersentuhan dengan piring. Sama sekali tidak ada percakapan yang terjalin di antara orang tua dan anak tersebut.
Saat sudah selesai menghabiskan makan, orang tua Addan kembali dengan aktivitasnya masing-masing. Rama yang sibuk membaca koran di teras belakang, dan Rania yang sedang menonton televisi.
Addan sudah tidak tahan dengan situasi canggung yang berada di rumah selama bertahun-tahun ini. Mungkin ini sudah saatnya dia mencoba untuk mengakhirinya, dan itu dimulai dengan menghampiri Rania yang sedang menonton televisi.
"Mi," panggil Addan sambil mendarat duduk di samping maminya.
Riana menoleh sekilas ke arah putra semata wayangnya, sebelum dia kembali melihat televisi.
"Ada apa, Sayang?" Riana bertanya dengan datar.
Walaupun kata sayang keluar dari mulut maminya, namun Addan masih merasa tidak disayang. Sebenarnya bukan tidak tapi kurang.
"Addan kangen saat dulu Mami mengelus pucuk kepala Addan."
Sejujurnya Addan sedikit merasa geli saat mengucapkan kalimat seperti itu kepada Riana. Addan sadar dirinya sudah remaja dan bukan anak kecil lagi. Tapi, dia membutuhkan itu untuk memenuhi inner child yang masih haus akan hal itu.
"Sayang, kamu sudah besar."
Riana bangkit berdiri dan hendak meninggalkan Addan. Entahlah dengan yang ada di pikirannya saat ini, yang jelas dia ingin menghindari Addan.
Beberapa langkah yang telah Riana ambil, Riana menghentikan langkah itu untuk menoleh ke arah Addan yang ternyata masih menatap punggungnya yang akan segera menghilang dari pandangan.
"Renungi kesalahanmu, dan pertanyakan apakah kamu masih layak mendapatkan apa yang kamu minta, Sayang." Itu adalah perkataan dari Riana sebelum dia kembali melanjutkan langkahnya.
"Mami panggil gue sayang, tapi gue enggak ngerasain kasih sayang mami kayak yang dulu. Sekrang kasih sayang mami ke gue, kayaknya udah beda sama yang dulu. Mami ... maaf," lirih Addan.
Addan sempat mengira bahwa memulai kedekatan melalui Riana terlebih dahulu tidak akan sesusah itu, karena Riana masih menunjukkan sedikit kepedulian untuknya dibanding Rama. Namun, dugaanya ternyata salah.
Addan memutuskan untuk memulai kedekatan melalui Rama meski dia tidak yakin akan berhasil. Jika dengan Riana saja gagal, lantas bagaimana dengan Rama yang lebih keras? Namun, mencoba tidak ada salahnya, bukan.
"Papi," panggil Addan, saat dia sudah berada di teras belakang.
"Iya. Ada apa memanggil saya?" tanya Rama kepada Addan, tanpa mengalihkan pandangannya dari koran yang dibacanya.
Dulu papi selalu mengalihkan pandangannya ke arah gue saat gue panggil, walaupun lagi baca koran sekali pun, batin Addan.
"Papi enggak mau menoleh ke Addan?" tanya Addan.
"Ini ada berita yang seru banget. Ada orang ketauan maling angsa,"
"Sebentar aja, Pi. Sebentar aja Papi menoleh ke arah Addan."
Rama menoleh ke arah Addan untuk menatapnya dengan tajam. Tidak. Bukan tatapan seperti itu yang Addan inginkan dari orang tuanya.
"Sepenting apa dirimu sampai harus saya perhatikan?"
Tangan Addan mengepal saat mendengar kalimat menusuk itu keluar dari Rama. Addan tidak marah kepada Rama yang telah mengucapkan kalimat itu, tapi Addan marah kepada dirinya sendiri karena masih berharap kasih setelah masa lalu yang dia akui sebagai kesalahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)
SpiritualMenceritakan tentang seorang lelaki bernama Addan Alzohri yang harus mendapatkan hukuman dari orang tuanya berupa pergi ke pesantren dengan harapan kelakuannya yang tengil itu dapat berubah. Alih-alih berubah, Addan justru menjadi beranggapan kalau...