Pengakuan

73 24 89
                                    

Sri mengeluarkan sepedanya, dan mengayuhnya hendak menuju ke musholla tempat dia biasanya mengadakan kumpulan rohis.

Dirinya terkejut bukan main karena di musholla itu sudah banyak orang yang berada di sana.

Kini mata Sri tertuju kepada Ila dan Bintaya. Hal itu membuat Sri segera menghampiri mereka.

"Kalian di sini juga?"

Ila dan Bintaya yang mendengar pertanyaan dari Sri itu langsung mengarahkan pandangan mereka ke arahnya.

"Iya," balas Bintaya.

"Ngapain?"

"Disuruh sama si Aini Gila," serobot Ila.

Perkataan dari Ila tersebut tentu saja mendapatkan hadiah pelototan tajam dari Bintaya. "Mulut kamu masih doyan aja ngejulitin orang."

"Enggak semua orang, kok, Bin. Cuman sama si Aini Gila aja," ujar Ila yang disertai dengan kekehannya.

"Tetep enggak boleh!"

"Iya, deh, enggak. Ampun, Bintaya."

"Sekarang aja bilangnya enggak, besok-besok diulangin lagi."

"Ya, gimana, ya. Masalahnya si Aini itu emang udah gila tingkat akut. Jadinya gue enggak bisa berhenti buat bilang kalo si Aini itu gila."

Bintaya hanya memutar bola matanya malas. Sahabatnya yang satu itu benar-benar membuat dirinya kehabisan kata-kata.

"Yah, gue didiemin sama Bintaya," Ila berujar sebal."

Sri yang melihat tingkah keduanya hanya terkekeh ringan.

"Eh, itu Umi Ella, 'kan?"

Bintaya dan Ila yang mendengar perkataan Sri itu pun langsung segera mengikuti arah pandang Sri.

"Wah, iya. Ngapain, ya, kira-kira? Apa di suruh Aini juga?" tanya Bintaya.

"Enggak tau. Tapi kalau pun iya, kira-kira buat apa? Dan orang-orang yang ada di sini apa Aini juga, ya, yang ngumpulin?"

"Mungkin si Aini Gila itu lagi gabut."

Lagi dan lagi, perkataan Ila kembali mendapat pelototan tajam dari Bintaya. Hal itu membuat Ila mengalihkan pandangannya demi menghindari pelototan itu.

Saat Ila sedang mengalihkan pandangannya, fokus matanya tak sengaja tertuju pada Aini yang sedang berdiri paling depan sambil memegang sebuah mic.

"Aini ngapain?"

Terdengar suara mic yang diketuk pelan dengan tangan. "Tes."

Kini semua orang yang berada di sana langsung menatap ke arah Aini.

"Sebelumnya gue mau minta maaf karena udah ganggu waktu kalian dengan nyuruh kalian buat kumpul di sini."

"Kamu bisa minta maaf juga, Ai?" tanya Ila dengan suara yang sengaja ia besarkan.

Sabar, Aini, sabar. Jangan tanggapin Mak Ilot yang gak waras itu, Aini membatin.

"Tujuan gue ngumpulin kalian di sini, itu karena gue mau mengakui sesuatu. Gue mau ngebongkar kebenaran yang emnag sudah harusnya."

Semua orang yang berada di sana tentu saja kebigungan dengan perkataan Aini. Mereka sama sekali tidak mengerti maksud dari gadis itu. Lain halnya dengan salah satu di antara mereka yang justru merasa takut. Seseorang yang pernah menjadi saksi palsu untuk melancarkan aksi fitnah Aini kepada Sri—Kanaya namanya.

"NGOMONG YANG JELAS JANGAN TANGGUNG-TANGGUNG." Suara itu tentu saja berasal dari Ila.

Aini menarik napas panjang sebelum akhrinya ia kembali melanjutkan kalimatnya. "Oke. jadi gue langsung terus terang aja, ya."

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang