Hancur

130 40 111
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, Addan masih tak kunjung pulang ke rumah. Orang tua Addan sampai menunggu di depan rumah.

"Ini gawat banget! Gimana kalo sampai Addan kabur dari rumah?" Riana bertanya dengan penuh kekhawatiran.

"Enggak usah panik gitu! Palingan dia cuman kabur sebentar gara-gara besok dia mau ke pesantren." Rama menjawab dengan santai tanpa rasa khawatir sedikit pun untuk Addan.

"Mas, bisa enggak, sih, kamu khawatir dikit aja sama anak kita? Addan itu anak kita. Aku tau kalau Addan udah buat Zia meninggal dulu, tapi kita enggak harus enggak peduli sama dia!"

"Kita emang harus ngelakuin ini agar dia dapat merenungi kesalahannya."

"Mas, dulu kamu bilang kalau kita hanya harus berpura-pura tidak peduli pada Addan di hadapannya. Tapi kenapa sekarang di belakang Addan pun kamu masih tidak memedulikannya?"

"Entahlah, mungkin rasa sayangku kepadanya sudah mati."

"Mas, kenapa kamu bicara seperti itu?"

"KARENA DIA PEMBUNUH!"

Rama berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Riana yang sudah menangis di depan. Sampai kapan kebencian ini akan berakhir karena sebuah kesalahan yang tidak disengaja?

Dalam tangisannya, dari arah samping Riana tiba-tiba saja merasakan ada tangan yang menyentuh bahunya. Hal yang membuat Riana langsung menoleh ke samping untuk menemukan jawaban dari tangan siapa yang baru saja menyentuhnya.

"Addan, kamu kenapa baru pulang?"

Addan—orang yang tadi menyentuh bahu Riana—segera menurunkan tangannya dari bahu milik Riana, dan kini Addan hanya memasang senyuman sinis.

"Alasan kenapa Addan barusan pulang sekarang itu enggak penting, karena yang terpenting sekarang adalah Addan udah denger semua. Addan udah denger apa yang tadi papi bilang."

Perkataan dari Addan barusan menimbulkan semakin banyak air mata yang keluar dari Riana. Bagaimana jika setelah mendengar semua itu Addan akan semakin merasakan luka dalam hatinya? Sungguh ... Riana masih sedikit peduli terhadap perasaan Addan.

"Mami jangan nangis, ya. Lagi pula Papi bener bahwa Addan memang pembunuh. Besok Addan bakal ke pesantren, dan saat libur dari pesantren Addan enggak bakal ke sini lagi."

Riana terkejut mendengar penuturan Addan yang menyatakan bahwa dirinya tidak akan kembali. Addan yang selalu mencuri waktu untuk libur dari pesantren, kini memutuskan untuk enggan keluar dari sana.

"Tapi kenapa, Addan?"

"Percuma, karena Addan enggak bakal dapet kasih sayang di sini."

Addan berlalu begitu saja menuju kamarnya.

Saat tiba di kamar, ia mengunci pintunya dan menangis dari balik pintu itu. Perkataan dari Rama masih terus berdengung dalam pikirannya.

"Gue bodoh! Gara-gara gue, Zia meninggal. Gue memang anak yang enggak berguna. Gue pembunuh!" bentak Addan pada dirinya sendiri.

Maafin gue, Sri. Gue enggak bakal lagi kembali ke sini. Selamanya gue akan pergi. Gue bener-bener hancur.

Sungguh bukan keputusan yang mudah bagi Addan untuk meninggalkan tempat ini selamanya, apa lagi dia sudah menemukan seseorang yang membuatnya merasa nyaman. Tapi Addan tidak punya pilihan lain selain pergi dari tempat yang semula rumah, bukan rumah sebatas atap bangunan, tapi rumah yang nyata.

***

Sri masih setia untuk menjaga Susi, bahkan hingga sadar seperti sekarang.

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang