Keapesan

144 50 167
                                    

Setelah pulang dari rumah Edwin, kini Sri dan Addan sedang makan seblak di sebuah warung. Di waktu yang beramaan, Bintaya dan Ila juga sedang makan seblak di warung yang sama. Bintaya dan Ila saat ini sedang berada di meja makan yang berada di sebelah Sri dan Addan.

"Addan, makasih, ya, udah mau traktir aku seblak!" ujar Sri terdengar antusias.

"Iya, Sri. Sama-sama."

"By the way, tadi untung aja, ya, pinggangnya Edwin encoknya cuman bentar."

"Iya, untung banget."

Kini tak ada lagi percakapan antara Sri dan Addan.

Sri sesekali menoleh ke arah Bintaya dan Ila. Ingin rasanya Sri bergabung bersama mereka. Namun, Sri tau itu tidak mudah untuk terjadi. Sri sangat merindukan kedua sahabatnya itu.

"Bin, kamu nyadar enggak kalau Sri itu ngeliatin kita tadi?" tanya Ila kepada Bintaya.

"Aku nyadar, kok. Jujur aja, ya, aku sebenernya pengen gabung sama Sri. Aku kangen sama dia, tapi rasanya enggak mungkin, kan, kalo kita temenan sama pencuri?" kata Bintaya yang terdapat nada sedih bercampur kecurigaan.

"Ya, enggak mungkin banget, lah!"

Bintaya dan Ila kembali melanjutkan makanan mereka. Namun, saat sedang makan tiba-tiba mata Ila tertuju ke arah Edwin yang sedang membawa motor. Saat ini Edwin sedang membonceng Danas dan Anam.

"OH MY GOD! GUS EDWIN, SINI MAMPIR!"

Ila berteriak senang, saat melihat Edwin lewat. Bintaya merasa sangat malu dengan tingkah temannya yang satu itu. Namun, walaupun begitu, mata Bintaya juga melihat ke arah Edwin yang sedang membonceng Anam dan Danas.

Sedangkan Sri dan Addan, mereka yang mendengar teriakan Ila, langsung menoleh juga ke arah Edwin.

Sementara itu, Edwin, Danas dan Anam yang mendengar suara teriakan Ila, langsung melihat ke arah mereka semua yang berada di warung seblak itu.

"Eh, buset. Itu si Ila abis makan terompet kali, ya? Suaranya gede banget, melebihi toa Masjid," gumam Danas yang masih dapat terdengar oleh Anam dan juga Danas.

"Enggak boleh ngatai orang. Enggak baik itu," ujar Edwin.

"Iye, maaf."

Anam mendengar yang dikatakan oleh, Danas. Tapi ia tampak tak menghiraukannya. Saat ini, Anam tampak sedang fokus menatap Bintaya. Matanya berbinar saat menatap gadis cantik itu.

"Bintaya, semoga kedepannya kita lebih sering ketemu, ya," gumam Anam. Namun, gumamannya masih terdengar oleh Danas karena posisi mereka yang tidak jauh.

"Bucin!"

Tak lama kemudian, seekor kecoa terbang dan masuk ke dalam baju, Danas, dan itu membuat Danas menggeliat, sehingga motor yang dibawa Edwin oleng. Motor tersebut jatuh. Edwin dan Danas masuk ke dalam got yang kebetulan dekat dengan mereka. Sedangkan Anam, gaya jatuhnya sangat mulus sekali. Anam jatuh terduduk di atas rumput, sehingga Anam tidak merasa sakit seperti Edwin dan Danas.

Addan yang melihat kejadian itu langsung bergerak cepat. Untung saja, saat itu ia membawa mobil beserta supirnya.

"Kalian enggak apa-apa?" tanya Addan, saat sudah menghampiri mereka.

Danas dan Edwin yang jatuh ke dalam got, kemudian langsung bangkit berdiri.

"Gue alhamdulillah enggak kenapa-kenapa." ujar Danas.

"Gue juga enggak kenapa-kenapa," kata Anam.

"Pinggangku encok lagi ...." lirih Edwin.

"Encok mulu lo, Win! Ya, udah, Edwin masuk ke dalem mobil gue biar gue anter ke tukang urut. Lo berdua, kan, enggak kenapa-kenapa, jadi lo berdua bawa motor Edwin ke rumahnya, ya."

Anam, Danas, dan Edwin langsung menggangguk setuju. Edwin kini memasuki mobil Addan. Sementara Danas dan Anam naik ke motor Edwin. Kali ini giliran Danas yang membawa motor tersebut. Namun, tiba-tiba motor milik Edwin tidak bisa hidup. Akhirnya, Anam dan Danas terpaksa mendorongnya. Mereka berdua sangat malu, tapi yang paling malu adalah Anam karena dia harus mendorong motor di hadapan gadis yang dia suka.

"Danas, ini semua salah lo! Coba aja lo enggak goyang-goyang tadi pas di motor, pasti kita enggak bakalan jatoh dan berakhir dengan dorong motor kayak gini," kesal Anam.

"Ya, maaf, abis tadi ada kecoa yang masuk ke badan gue."

Anam yang mendengar nama hewan menjijikkan itu disebut, langsung merinding kegelian. Sementara Danas yang melihat reaksi Anam itu langsung membuatnya ingin menjaili Anam.

"ANAM, ADA KECOA DI DEKET LO!"

Anam yang mendengar nama hewan menjijikkan itu kembali disebut, langsung lari terbirit-birit karena takut. Anam lari meninggalkan Danas yang masih mendorong motor.

"Yah! Si Anam malah lari, jadi terpaksa dorong motor sendiri deh gue. Apes banget, sih!"

Anam terus berlari dan berlari hingga dia kembali menabrak tiang listrik. Kali ini pipinya bertumburan dengan tiang listrik tersebut.

Anam pun langsung mengelus pipinya yang kesakitan. Namun, tiba-tiba Anam merasakan ada sesuatu yang bergerak di pipinya. Anam mengambilnya, rupanya yang bergerak di pipinya adalah seekor kecoa. Hampir saja Anam panik, sampai tiba-tiba dia merasakan ada tangan yang sangat lembut menyentuh pipinya.

Tangan lembut itu mengambil kecoa yang sempat menempeli Anam.

"Thanks, Bin." Ada sedikit malu saat Anam mengunakan kalimat itu. Anam malu karena kepergok memiliki ketakutan terhadap kecoa, ditambah yang membantunya menyingkirkan kecoa itu adalah gadis yang disukainya. Jika seperti ini, citra Anam bisa jatuh.

Entah kenapa, setiap pertemuan Anam dengan Bintaya, selalu berakhir dengan hal yang membuat Anam malu.

Bintaya memasang senyum sekilas kepada Anam. "Sama-sama. Mau aku antar pulang?"

Jika seperti ini terus, bukan Anam yang menjaga Bintaya, melainkan sebaliknya. Meski Anam merasa malu, Anam tidak akan menolak tawaran Bintaya. Lagi pula kapan lagi dirinya bisa jalan berdua dengan seseorang yang dia suka.

"Boleh."

Di bawah cakrawala yang terang, Anam dan Bintaya berjalan beriringan melewati jalan demi jalan. Mungkin, itu terlihat biasa saja bagi pasang mata yang melihat. Namun, bagi Anam itu moment luar biasa. Anam dan Binataya di bawah atap Cakrawala.

Anam merasa ada debaran jantung yang berpacu begitu cepat dalam dirinya. Anam tentunya sadar bahwa dia sedang salah tingkah karena berada di sebelah Bintaya saat ini.

Anam menoleh ke arah Bintaya yang masih fokus menatap jalan. Dalam pertempuran pikirannya, banyak pertanyaan yang terlontar perihal Bintaya. Apakah Bintaya juga merasa salah tingkah? Apakah Bintaya juga memiliki rasa terhadap dirinya? Apakah debaran jantung Bintaya sama seperti Anam yang sedang merasa deg-degan? Semua pertanyaan itu tidak terlepas dari pikiran Anam.

Ingin Anam menatap wajah itu lebih lama lagi, tapi Anam takut Bintaya menyadari dirinya yang diam-diam sedang menatap. Hingga pilihan Anam hanyalah mengalihkan pandangan.

Terima kasih untuk hari ini, Bintaya.










***
See you next chapter!

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang