Saatnya Pergi

129 36 64
                                    

Mentari mulai timbul di balik cakrawala untuk memancarkan sinar di awal hari yang menandakan datangnya pagi. Pada pagi ini, Addan turun ke dapur untuk sarapan bersama kedua orang tuanya. Suasana di sana sangat hening. Tidak ada satu pun yang memulai obrolan.

"Papi," panggil Addan yang berusha memecahkan keheningan, sekaligus menyampaikan sesuatu yang harus dia sampaikan.

"Hm?"

"Maafin perkataan Addan semalem, ya. Addan enggak bermaksud buat-"

"Diam! Saya tidak mau membahasnya."

Addan terdiam saat mendengar perkataan Papinya yang begitu dingin. Addan kembali fokus menyantap makanannya, sampai tiba-tiba mereka mendengar suara bel dari luar.

Addan buru-buru ke depan untuk melihatnya, sekaligus bentuk pelarian untuk meninggalkan ruang makan yang begitu dingin itu.

Saat Addan sudah di depan, ternyata sudah ada Sri di hadapannya.

"Eh, ada Sri. Lo ada apa ke sini?"

Sri tidak menjawab, Sri hanya menatap Addan dengan tatapan sendu sambil menyodorkan sebuah ponsel kepada Addan.

"Lah, ini ponsel gue. Makasih, ya, karena udah mau jauh-jauh dateng ke sini cuman buat mulangin ponsel. Ngomong-ngomong keadaan ibu lo gimana?" kata Addan, sembari mengambil ponsel tersebut.

"Ibuku masih lemah karena enggak mendapatkan perawatan yang cukup," lirih Sri.

"Sri, gue yakin banget kalo ibu lo pasti bakal bisa sembuh. Gue bakal cari cara supaya ibu lo bisa mendapatkan perawatan."

"Makasih ...."

Sri menghela panjang napasnya. Tatapan matanya benar-benar mengisyaratkan sebuah kesedihan. Sebuah kesedihan yang sudah tidak dapat lagi dibendung.

"Addan, kenapa enggak bilang kalau hari ini kamu bakal balik ke pesantren?" Terdapat suara getar saat Sri melontarkan pertanyaan itu, mengisyaratkan bahwa dirinya sedang menahan tangis.

Addan terdiam sesaat begitu mendengar pertanyaan tersebut. Mulutnya terasa sangat berat untuk menjawabnya.

"Maaf." Pada akhirnya hanya maaf yang mampu Addan ucapkan sambil menundukkan kepalanya.

"Aku butuh alasan, Addan."

"Gue bener-bener minta maaf, Sri. Tapi gue bingung gimana cara bilangnya."

"Tapi kamu bakal balik lagi, 'kan? Berapa lama kamu di pesantren?"

"Selamanya."

Runtuh sudah pertahanan Sri. Sri langsung menunjukkan ekspresi terkejutnya saat mendengar ucapan Addan barusan. Ekspresi terkejut yang bercampur dengan kesedihan yang nyata.

"Maksud kamu?"

"Gue enggak mau balik ke sini lagi, terlalu banyak luka yang gue dapet di sini."

"Luka macam apa, Addan? Kenapa kamu enggak pernah bilang? Harusnya kamu bilang supaya kita bisa cari solusinya bareng-bareng."

"Maaf, tapi-"

Belum selesai Addan berbicara, Sri sudah berlari pergi. Hati Sri benar-benar terasa sakit saat ini.

Sri tidak bermaksud mengabaikan Addan, ataupun bersikap seolah menulikan diri dari penjelasan yang akan Addan lontarkan. Hanya saja Sri belum siap mendengar alasan yang takutnya akan kembali melukai dirinya. Sungguh Sri belum siap, sudah begitu banyak luka yang ditampungnya. Menguatkan diri bahkan terasa begitu sulit.

Pertama, aku dituduh pencuri. Kedua, sahabatku pergi menjauh. Ketiga, ibu lagi sakit. Keempat, orang yang selalu percaya dan orang yang selalu ngebela aku di saat semua orang menolak untuk percaya justru pergi menjauh. Ini terasa sakit.

***

Sri kini sudah tiba di rumahnya. Saat tiba di rumah, ia begitu terkejut mendapati ibunya sudah berada di ruang tamu.

"Ibu, kok, ada di sini? Ibu, 'kan, harusnya di kamar," kata Sri penuh dengan kekhawatiran.

Susi hanya tersenyum tulus sambil menatap putri tunggalnya itu. "Ibu udah mendingan, kok, Sri."

Tiba-tiba, Susi menyadari sesuatu yang ganjal dari raut wajah Sri.

"Sri lagi nahan nangis, ya? Anak Ibu lagi sedih?"

Sri yang tidak dapat mengucapkan sepatah katapun hanya dapat menganggukan kepalanya sebagai jawaban.

"Kenapa, Sayang?"

Sri yang sudah tidak dapat lagi membendung semuanya sendirian pada akhirnya memilih menceritakan segala macam keluh kesah yang sedang dia rasakan.

"Sri sedih, Bu. Sahabat Sri sekarang menjauh. Temen-temen enggak ada yang percaya. Ibu sekarang sakit, dan ditambah lagi satu-satunya temen deket yang percaya sama Sri udah pergi juga."

Lagi-lagi masalah kepercayaan yang hilang. Betapa Susi turut merasakan sedih yang dialami oleh Sri. Sri yang memang sudah Susi ketahui masih bersedih akibat kehilangan sahabat, kepercayaan, serta mendapat tuduhan atas hal yang tidak pernah Sri lakukan, kini harus merasakan kesedihan lagi.

Ada rasa bersalah dalam diri Susi saat dia menyadari bahwa dirinya juga terlibat mendonorkan rasa sedih itu kepada putrinya.

Susi yang mendengar jawaban tersebut, segera merangkul Sri ke dalam pelukannya sambil memperlihatkan senyum hangatnya.

"Sri, jangan terlalu larut dalam kesedihan, ya. Sedih itu wajar, tapi kalau terlalu lama larut di dalamnya itu enggak baik. Sri itu anak kuat, itu sebabnya Sri mengalami semua cobaan ini."

Dan hal yang sama juga berlaku untukku. Susi membatin.

"Tapi Sri cape, Bu."

"Iya, Sri pasti cape. Tapi Sri jangan pernah berhenti berusaha untuk mengatasi rasa sedih itu, ya? Kamu juga harus ingat kalau kamu itu enggak sendiri. Kamu masih punya Ibu yang enggak bakal pernah ninggalin kamu sampai suatu hari nanti maut datang. Kita juga punya Allah tempat untuk kita mengadu, Sri. Kalau pun saat ini Sri udah enggak punya temen-temen lagi, Sri masih punya Allah yang selalu menemani. Soal penyakit Ibu, kita percayain sama yang di atas aja, ya."

Sri merenung sesaat setelah mendengar perkataan yang keluar dari ibunya.

Ibu bener. Aku enggak sendiri. Ya, Allah, terima kasih banyak sudah memberikan hamba ibu sebaik ini, dan terima kasih juga sudah selalu menemani hamba. Kuatkanlah hati hamba, ya, Allah, agar hamba bisa menghadapi segala cobaan-Mu, dan hamba mohon berikan kesembuhan untuk ibu hamba, ya, Allah.

***

Addan sudah berada di depan sebuah apartemen bersama Edwin. Addan dan Edwin saat ini sedang menunggu sebuah jemputan yang akan mengantar mereka ke pesantren.

Bukan perihal mudah bagi Addan untuk meninggalkan tempat nyamannya di sini. Bukan perihal mudah juga bagi Addan untuk meninggalkan orang yang masih dia sayang sampai kapan pun itu—orang tuanya sendiri. Tapi jika tempat nyaman itu telah berubah menjadi sarang luka, bahkan orang berharga dalam hidupnya sudah tidak menginginkan hadirnya ada di sana, kepergian adalah jalan yang Addan pilih.

Dalam masalah ini Addan tentunya tidak bisa menyalahkan kedua orang tuanya. Meski tidak disengaja, tapi kesalahan itu tetaplah sebuah kesalahan besar yang Addan yakini. Kesalahannya yang membuatnya dicap sebagai pembunuh. Seringkali Addan berharap bahwa lebih baik dia saja yang tiada lebih dulu daripada Zia yang merupakan adik kandungnya sendiri.

Sungguh ini terlalu sakit hingga membuat Addan ingin pergi.

Ini saatnya gue pergi dari sini. Selamat tinggal penderitaan, dan maafin gue, Sri.








***
See you next chapter!

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang