Ember Sampah

79 23 60
                                    

Sri dan Susi kini sudah berada di rumah. Susi kini tak lagi terbaring di rumah sakit.

"Ibu, istirahat di sini dulu, ya," kata Sri, sambil membantu Susi duduk di kursi.

Susi hanya mengikuti perintah dari Sri. Dalam hati, Susi tidak berhenti bersyukur katena telah dianugerahkan seorang anak seperti Sri.

Di tengah interaksi antara ibu dan anak itu, terdengar suara ketukan pintu dari arah depan rumah.

"Sri, coba, deh, kamu lihat di depan, sepertinya ada orang."

"Iya, Ibu."

Sri berjalan ke depan ruangan dan membuka pintu. Saat pintu terbuka, nampaklah seorang Aini.

"Aini? Lo udah sembuh, ya?" tanya Sri.

"Iya, gue udah sembuh," jawab Aini.

"Alhamdulillah."

Hal yang Sri tidak pernah duga bahwa Aini akan melakukan hal itu terjadi. Aini memeluk erat tubuh Sri. Siapa yang bisa menduga bahwa Aini yang notabennya membenci Sri, bisa melakukan hal seperti itu?

Meski sangat keheranan dengan perlakuan Aini, tapi Sri tetap membalas pelukan itu.

"Sri, maafin gue, ya," ujar Aini sembari melepaskan pelukan itu.

"Buat apa?"

"Gara-gara gue, lo jadi susah dapat uang pinjaman buat biaya berobat ibu lo."

"Kenapa lo minta maaf buat itu? Itu bukan salah lo, Aini. Ngomong-ngomong, lo tau dari mana soal uang pinjaman itu?"

"Gue denger dari mamah gue."

"Oh, gitu. Tapi lo belum jawab pertanyaan gue, kenapa lo minta maaf buat itu?"

"Gue janji, besok juga gue bakal ngaku, dan bersihin nama baik lo."

"Maksudnya?"

"Sampai ketemu besok, ya, di musholla tempat kita biasa kumpulan rohis."

"Eh, tapi-"

Belum sempat Sri menyelesaikan kalimatnya, Aini sudah pergi begitu saja meninggalkan rumah Sri.

Sri hanya mematung di tempat, sambil mencerna apa yang Aini maksud. Namun, Sri masih juga tidak mengerti apa maksud dari perkataan Aini tadi.

Sampai ketemu besok, ya, di musholla tempat kita biasa kumpulan rohis.

Sepertinya, jika Sri ingin mendapatkan jawaban, ia memang harus ke musholla itu besok.

***

Addan sedang berjalan mondar-mandir mengelilingi kamar miliknya. Tatapan matanya tak henti memandangi layar ponsel miliknya.

Ponsel? Bukankah di pesantren tidak dibolehkan memegang ponsel? Lalu bagaimana Addan bisa mendapatkan ponselnya?

Jawabannya karena Addan mengambil ponsel miliknya. Diam-diam dia menyelinap ke ruangan tempat semua ponsel disimpan, pada tengah malam, lalu ia masuk dengan membuka pintu yang terkunci menggunakan peniti yang tidak sengaja ia temukan di jalan.

Ting!

Sebuah notifikasi chat masuk ke dalam ponsel Addan. Saat dilihatnya, rupanya itu sebuah pesan dari kontak yang ia namakan dengan nama Maria.

Maria, My Friend
Gue udah jenguk ibunya Sri kemarin. Alhamdulillah, keadaan ibunya Sri udah membaik. Dan lo tau apa?

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang