Sri berjalan keluar masjid dengan langkahnya yang gontai. Wajahnya benar-benar murung saat ini. Ekspresi kesedihan itu benar-benar tidak bisa tertahankan.
Saat sedang berjalan, Sri merasa bahunya ditepuk pelan oleh seseorang. Sri berbalik badan untuk melihatnya, dan ternyata di hadapannya sudah ada Ila dan Bintaya.
"Kalian ngapain?" tanya Sri.
"Kita cuman pengen ngehampirin kamu," jawab Ila.
"Buat apa?"
"Habisnya dari tadi kita liat wajah kamu murung. Kita, 'kan, jadi khawatir. Kamu lagi ada masalah, ya, Sri?" Bintaya angkat suara.
"Kalaupun aku ada masalah, kalian peduli apa sama aku? Jangan merepotkan diri kalian atas sesuatu yang bukan urusan kalian," tutur Sri dengan begitu dingin.
Untuk pertama kalinya, Sri bersikap dan berkata seperti itu kepada Ila dan Bintaya. Kala kekecewaan mulai menghampiri, maka sikap seseorang yang dikecewakan akan mulai berubah. Seperti itulah yang sedang Sri lakukan akibat kecewa dengan dua orang di hadapannya.
"Mungkin kita emang masih belum bisa percaya sama kamu, soal pencurian uang sumbangan itu. Tapi asal kamu tau, kita itu masih peduli sama kamu."
Sri tidak menjawab karena saat ini ia hanya bisa teridam. Ingin menangis bahkan rasanya sudah tidak bisa.
Ila dan Bintaya menyadari sesuatu dari wajah Sri. Mata yang sangat sembab. Melihat itu, Bintaya dan Ila langsung bergegas memeluk tubuh Sri.
"Aku bingung dan aku enggak tau lagi harus apa," lirih Sri.
Pandangan mata Sri begitu kosong. Seolah seperti ada semangat dan harapan yang hilang dari dalam sana. Rasanya seperti pilu yang sukar diangkat.
Perlahan Ila dan Bintaya melepaskan pelukannya, dan membiarkan Sri menjelaskan masalahnya.
Sri menarik napas panjang, dan mulai menceritakan masalah tentang ibunya yang sakit, dan tentang dia yang masih belum mendapatkan uang pinjaman.
"Sri, kamu enggak boleh putus asa, ya. Nanti kita bantuin juga, kok," kata Ila.
"Iya, Sri. Semua ini pasti ada jalan keluarnya," sambung Bintaya.
"Makasih."
Sejenak suasana di antara mereka bertiga berubah menjadi hening. Mereka semua sibuk memikirkan solusi untuk masalah Sri.
"Butuh bantuan?"
Sontak Sri, Ila, dan Bintaya langsung menengok ke arah sumber suara, dan mereka mendapati seorang wanita paruh baya. Rasanya Sri sedikit familiar dengan wanita paruh baya di hadapannya.
"Kamu anaknya bu Susi yang jual gado-gado itu, 'kan?" tanya wanita itu, sambil menunjuk ke arah Sri.
"Iya, Tante," jawab Sri.
Sekarang Sri sudah ingat seutuhnya tentang siapa wanita yang sedang menjadi lawan bicaranya saat ini. Itu adalah wanita yang pernah memesan gado-gado ibunya dulu dengan jumlah yang banyak. Sri bahkan pernah ke rumahnya untuk mengantarkan gado-gado, dan karena kejadian itu dia jadi bertemu dengan Addan. Wanita itu adalah Riana.
"Kalau begitu ayo ikut saya."
"Ke mana, Tante?"
"Kita ke rumah sakit untuk melihat kondisi ibu kamu. Soal biaya biar saya bantu."
"Tapi-"
"Udah, enggak usah dipikirin. Kamu mau ibu kamu segera diobatin, 'kan?"
"Iya, Tante."
"Kalo gitu kita langsung aja berangkat. Kebetulan juga mobil saya parkirnya enggak jauh dari sini, jadi kita langsung aja jalan."
Wanita paruh baya itu kemudian segera berjalan menuju mobilnya, dan diikuti oleh Sri yang berjalan di belakangnya. Jujur saja, Sri masih terkejut dengan bantuan yang mendadak seperti ini, tapi dalam hatinya ia mengucapkan banyak sekali rasa syukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)
SpiritualMenceritakan tentang seorang lelaki bernama Addan Alzohri yang harus mendapatkan hukuman dari orang tuanya berupa pergi ke pesantren dengan harapan kelakuannya yang tengil itu dapat berubah. Alih-alih berubah, Addan justru menjadi beranggapan kalau...