Teman

158 50 128
                                    

Setelah kejadian di mushalla tadi, tidak ada lagi yang memercayai Sri. Bintaya, Ila, tidak ada yang percaya sama Sri. Termasuk Umi Ella selaku pembina Rohis. Tapi untunglah uang sumbangan yang hilang itu sudah diganti oleh Umi Ella, walaupun ia mengatakan ia sangat kecewa terhadap Sri. Kini mereka tidak lagi memandang Sri sebagai orang yang baik, tapi kini mereka memandang Sri sebagai orang yang jahat.

"Addan, makasih banyak, ya, karena udah bela gue," lirih Sri.

Kini Sri dan Addan sedang duduk di sebuah gardu yang letaknya sedikit jauh dari mushalla tadi.

"Sama-sama," jawab Addan.

"Tapi gue heran sama lo. Kenapa lo percaya sama gue, padahal orang lain enggak percaya sama gue?"

"Entahlah, gue juga enggak tau. Tapi firasat gue kuat aja tentang lo. Entah kenapa gue rasa lo itu anak baik dan enggak mungkin ngambil uang itu."

"Tapi gimana kalo firasat lo tentang gue salah?"

"Gue rasa enggak mungkin, lo anak yang baik."

Sri hanya tersenyum saja mendengar perkataan Addan. Addan menyadari bahwa Sri sedang tersenyum padanya, dan itu membuat Addan ikut tersenyum juga.

"Sri, tapi gue sedikit bersyukur, sih, atas kejadian itu," ujar Addan.

"Kenapa?" tanya Sri.

"Karena berkat kejadian itu, gue jadi bisa ketemu sama lo."

"Bukannya kita udah pernah ketemu sebelumnya?"

"Iya. Tapi pertemuan kita yang waktu itu enggak berarti apa-apa. Kalo pertemuan yang ini, kan, ada artinya."

"Apa?"

"Kita jadi deket sebagai temen."

"Iya juga, sih."

Addan dan Sri kembali tersenyum bersama.

"By the way, kenapa kamu bisa ada di musholla tadi? Apalagi itu bukan mushalla umum, tapi musholla yang ada di sekolahku."

Addan hanya tersenyum penuh arti sembari menatap ke arah Sri. Senyuman itu ... entah kenapa Sri pernah mengenalinya.

"Gue jelasin kapan-kapan aja, ya."

"Maunya sekarang."

Addan menatap Sri dalam. Sri yang juga turut menatap Addan merasa ada sesuatu dalam dadanya yang berdebar begitu cepat. Entah apa yang sedang dia rasa saat ini.

Senyuman itu ... enggak asing. Tapi tatapannya terasa seperti sesuatu yang baru. Sesuatu yang bersifat candu.

"Addan, gue pulang dulu, ya."

Sri yang baru menyadari dirinya sedang salah tingkah memutuskan untuk pulang saja. Berada di dekat Addan tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

"Iya, Sri."

Sri pergi meninggalkan gardu itu. Biasanya Sri akan pulang bersama Ila dan Bintaya, tapi kali ini tidak lagi.

Addan hanya menatap punggung Sri, yang perlahan mulai hilang dari pandangan.

"Andai lo ingat Sri," gumam Addan.

***

Sri sudah sampai di rumahnya, dan ia melihat ibunya sudah duduk di dekat dagangan miliknya.

"Assalamu'alaikum, Ibu."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu."

Sri menyalimi tangan Susi dan ikut duduk juga di samping Susi. Susi hanya melihat wajah putrinya yang terlihat ditekuk itu.

"Kok, wajahnya ditekuk, Sri?" tanya ibunya.

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang