Sri kembali ke rumahnya bersama, Bintaya, dan juga Ila usai menyelesaikan sholat ashar tadi. Namun, kini mereka harus berpisah karena sudah sampai di rumah masing-masing.
"Assalamu'alaikum, Ibu," panggil Sri seraya membuka pintu.
Sri kemudian sedang mendapati ibunya sedang menjahit sebuah mukenah.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatu. Sri udah pulang rupanya," jawab ibunya Sri ramah.
Sri menyalimi tangan ibunya, dan duduk di samping ibunya.
"Ibu sedang apa?" tanya Sri.
"Mukenah Ibu ada yang sobek sedikit, jadi ibu menjahitnya," jawab ibunya Sri.
"Kenapa enggak beli yang baru, Bu?"
"Penjualan gado-gado saat ini sedang sepi, Sri. Jadi uang Ibu hanya cukup untuk makan kita saja."
Sri merasa sangat sedih dengan jawaban ibunya. Dalam hatinya terselip banyak harapan.
Ibu, suatu hari Sri akan jadi anak yang sukses. Dan Sri akan membelikan Ibu mukenah yang baru, baju baru, dan barang baru untuk ibu, batin Sri.
Ibunya Sri melihat dengan jelas ekspresi wajah Sri yang menunjukkan kesedihan. Ibunya Sri tentu tau, kalau Sri sedang bersedih untuk dirinya. Ibunya Sri memasang sebuah senyuman, sambil mengelus kepala Sri.
"Sri jangan sedih kayak gitu, dong. Mukenah ibu ini, 'kan, masih bisa dipakai. Tinggal dijahit doang juga nanti bagus lagi."
Sri menatap balik ke arah ibunya, ibunya sedang tersenyum ke arahnya. Itu membuat Sri menyembunyikan ekspresi wajahnya yang sedih. Sri tidak ingin membuat ibunya sedih dengan raut wajahnya itu. Jadi sebisa mungkin Sri tersenyum untuk menutupi kesedihannya.
Terkadang harapan muncul bukan karena kemauan kita sendiri. Adakala harapan muncul katena situasi yang menciptakan harapan itu. Namun, ada juga harapan yang tercipta dari keduanya. Harapan yang sedang Sri genggam saat ini, ada pada harapan yang tercipta atas dasar situasi dan kemauan. Situasi ibunya yang membuat harapannya tercipta, dan kemauan besarnya yang ingin mewujudkan itu.
"Ya, udah, Ibu. Sri mau ke kamar dulu."
Sri kemudian beranjak berdiri dan menuju kamarnya. Saat Sri sudah hilang dari pandangan, tiba-tiba tatapan ibunya Sri berubah menjadi sendu.
"Sebenernya aku punya uang, tapi uang itu ingin kutabung agar Sri bisa masuk pondok. Tidak apa-apalah jika untuk saat ini aku belum bisa membeli mukenah baru, lagi pula mukenahku ini masih bisa dipakai," gumam ibunya Sri.
***
"Aduh, kok, enggak ada, ya?" Sri berucap dengan panik saat dia tidak menemukan uang sumbangan untuk anak yatim itu di dalam tasnya.
Sri mencoba mencari-cari uang tersebut ke dalam tasnya. Namun, hasilnya nihil. Uang tersebut sama sekali tidak ditemukan.
Sri mencoba mengingat-ingat kejadian setelah Ima memberikan uang tersebut kepadanya.
"Tadi Ima nitipin uang ini ke aku. Terus itu waktu Bintaya sama Ila pergi ngambil air wudhu, aku masih jagain tas ini. Sampai akhirnya Aini bilang kalau aku dicariin Umi Ella dan aku langsung pergi nyari Umi Ella. Terus Aini yang jagain tasku waktu aku pergi. Tapi pas aku nyari-nyari Umi Ella, aku enggak ketemu sama dia." Sri bermonolog sembari berpikir dan mengingat kejadian tadi.
"Atau jangan-jangan Aini bohong. Jangan-jangan aku enggak dicariin Umi Ella. Aini sengaja bohong kayak gitu supaya dia bisa ngumpetin uang itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)
SpiritualMenceritakan tentang seorang lelaki bernama Addan Alzohri yang harus mendapatkan hukuman dari orang tuanya berupa pergi ke pesantren dengan harapan kelakuannya yang tengil itu dapat berubah. Alih-alih berubah, Addan justru menjadi beranggapan kalau...