Addan

319 77 253
                                    

Usai waktu yang sudah termakan untuk latihan qosidahan beberapa jam lalu, kini tiga sekawan mulai selesai berlatih, dan menyiapkan diri untuk pulang ke rumah masing-masing. Hingga, suara seseorang membuat atensi mereka tertuju ke arah belakang.

"Eh, kalian bertiga, berhenti!" teriak seseorang.

Ila memasang smirk di wajahnya. Entahlah, dia terlalu sinis jika sudah berhadapan dengan seseorang yang tadi memanggil mereka. Rasa tidak suka terhadap seseorang itu nyata. "Eh, ada Aini gila," cibir Ila.

"Enggak boleh kayak gitu, Ila." Lagi dan lagi Bintaya kembali menjadi pelerai sekaligus penegur sahabatnya.

"Yee, aku, 'kan, ngomong Aini gila juga terinspirasi dari lo."

"Enggak usah kamu tiru! Aku aja enggak ngulanginnya lagi."

"Eh, kalian bertiga, siapa cowok tadi?" Aini bertanya to the point dengan nada ucapannya yang selalu dibuat sinis.

"Woy, Aini, kalo ngomong yang jelas! Cowok yang mana?" Ila menjawab dengan tak kalah ketus.

"Yang ngelatih kalian qosidahan."

"Ouh, itu. Dia namanya Edwin. Asal kamu tau, dia itu calon pacar Ila, loh."

"Eh, Ila, jangan kepedean dong. Edwin itu, kan, calon pacar Sri," Sri angkat suara.

Bintaya memijat pelan pangkal hidungnya. Merasa sedikit pusing saat mendengar ucapan kedua sahabatnya yang belum juga keluar dari zona halu.

Ae lah, temenku gini amat dah. Kayak Edwin emamg beneran calon pacar mereka aja, dasar halu. Mana si Sri ikutan halu lagi. Dah lah mending aku tinggal, batin Bintaya.

Bintaya berjalan lebih dulu meninggalkan mereka dengan kehaluannya, bahkan tanpa sepengetahuan mereka sendiri.

"Sri, Sri enggak cocok sama Edwin. Edwin cocoknya sama Ila."

"Ih, Ila jangan ngada-ngada! Edwin itu enggak cocok sama Ila."

"Woy, gue tuh cuman nanya siapa cowok tadi. Bukan nyuruh kalian haluin cowok tadi," ketus Aini. "Udahlah, Vivin, ayo kita tinggalin aja si Sri-Wijaya sama si Mak Ilot ini!"

Aini melenggang pergi begitu saja meninggalkan Ila dan Sri, diikuti oleh seorang anteknya yang dia panggil dengan nama Vivin.

Ila dan Sri hanya menyaksikan saja, kepergian Vivin dan Aini. Saat Sri dan Ila berbalik badan, mereka baru sadar kalau tidak ada Bintaya di sana.

"Lah, Bintaya mana?" tanya Ila.

"Yah, udah duluan paling dia. Pusing kali dia, denger kita debat tadi," jawab Sri.

"Ya, udah, kita jalan berdua aja."

"Iya."

***

Di sebuah rumah bernuansa putih dan abu yang memiliki dua lantai, terdengar suara pintu diketuk. Hingga setelah beberapa saat setelah pintu diketuk, akhirnya pintu itu dibuka.

Terkejut adalah reaksi pertama yang ditunjukkan oleh wanita paruh baya yang membukakan pintu.

"Addan, kok, kamu bisa pulang dari pesantren?" tanya orang yang membuka pintu tadi.

"Kenapa? Mami enggak seneng kalau Addan pulang?" Orang yang diganggil dengan sebutan Addan itu hanya bisa menjawab dengan datar.

"Bukan gitu, Sayang. Mami cuman heran aja. Mami itu heran, ini kan bukan waktunya liburan tapi kok kamu bisa pulang."

"Udah, ah. Addan mau masuk."

Rohis vs Gus Pesantren (Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang