Duapuluh Sembilan: Jalani saja Sesuai dengan Apa yang Kamu Mau!

2.1K 276 22
                                    




Happy Reading :)







"Ha ha,"

Mendengar perkataan Mamanya, Bumi tertawa hambar. Ia mencoba tersenyum ke arah sang Mama dan kembali menyeletuk, "Mama kalo bercanda jangan keterlaluan, ah!"

Aurell ikut tertawa selanjutnya. Ia meneluk bahu sang putra dan bergumam pelan, "Kan, seandainya,"

"Gimana sama sekolah kamu? Kamu mau lanjut kuliah dimana?" Aurell krmbali bertanya. Mengubah topik percakapan yang hampir saja membuat mereka canggung.

"Aku... enggak tau!" Bumi menjawab pelan. Merasa malu dengan sang Mama karena sejauh ini ia masih belum menentukan bagaiamana rencana ia kedepannya.

Aurell mempertahankan senyum manisnya. Menarik kepala Bumi dengan pelan untuk bersandar pada bahunya.

"Pelan-pelan aja. Jalani sesuatu yang emang kamu inginkan. Mama enggak mau kamu terpaksa melakukan sesuatu. Jangan peduliin Papa yang nyuruh kamu masuk kedokteran kalo memangnya kamu enggak mau, Mama enggak maksa kamu mau jadi apa,"

"Mama cuman mau kamu bahagia dengan hidup yang kamu jalani!"

Bumi menghela napasnya kemudian memejamkan mata. Suara Mamanya yang menyenangkan, dukungan dari Mamanya, membuat bebannya semakin berkurang. Ia beruntung, Bumi merasa dirinya beruntung memiliki ibu yang pengertian seperti Aurell.

Karena diluar sana, teman-teman Bumi saja contohnya, Bumi tau kalau mereka frustasi dalam menentukan pilihannya. Mau lanjut kuliah dimana? Mau masuk jurusan apa? Beberapa dari mereka ditekan orang tua untuk menjadi yang orang tua nereka inginkan.

Bahkan Kieran pun seperti itu,

Bumi tau kalau Kieran diharuskan belajar giat untuk memenuhi ekpektasi kedua orangtuanya. Kieran harus bisa menjadi penerus bisnis keluarga besar Prayuda.

"Sesuatu yang dijalani enggak sesuai dengan yang kamu harapkan itu bakal menyesakkan. Sulit untuk keluar tapi sulit juga buat dijalani seperti orang kebanyakan." Aurell kembali berbicara. Sedang Bumi hanya terdiam. Ia menyimak kalimat yang dikatakan Aurell dengan hati menghangat.

"Mama dan Papa enggak bakal ikut campur dengan keputusan kamu. Tapi Mama sama Papa juga enggak bakal lepas tangan. Apapun yang kamu butuhkan, apapun yang mau kamu konsultasikan, Mama sama Papa selalu ada buat kamu, Nak!"


"Jadi, jalani saja sesuai dengan apa yang kamu mau!"



****



Maudy sudah lupa.

Apa yang menjadi prioritasnya semenjak memasuki cerita ini, Maudy sudah melupakannya.

Maudy yakin semuanya berubah 180 derajat. Semuanya berubah menjadi tidak terprediksi. Maudy yakin akan hal itu.

Katakan ia salah. Katakan ia terlena. Ayo katakan bahwa ia lemah dan tidak berguna. Katakan bahwa Maudy pengecut.
Ia bahkan melupakan apa yang terjadi belakangan ini.

Katakan ia tamak.

Faktanya, Maudy sudah nyaman berada di tubuh Shaleta. Maudy sudah nyaman menjadi orang kaya yang disayang banyak orang. Maudy sudah nyaman menjadi orang yang dilayani dua puluh empat jam.
Maudy sudah nyaman mendapat perlakuan spesial dari orang disekelilingnya.

Dan Maudy sudah nyaman merasa bisa menyukai dan disukai orang lain.

Kalau ia bukan Shaleta, ia pasti tidak akan disukai oleh banyak orang.

Maudy yang asli adalah sembilan puluh lima persen introvert dengan wajah biasa saja. Ah, Maudy termasuk orang yang jelek di kelasnya. Ia terbiasa mengurung diri di kamar dan duduk dipojokan kelas.

Tidak ada alasan bagi dirinya untuk disukai banyak orang.

Hidupnya terlalu biasa. Dengan Ayah yang seorang pegawai kantoran yang bisa kapan saja di PHK dan ibunya seorang pedagang di pasar.

Kalau dibilang apa ia ingin kembali ke kehidupan aslinya, jawabannya tidak.

Di hidupnya, ia harus belajar keras untuk mendapat beasiswa agar meringankan beban orang tuanya yang mempunyai empat anak. Tekanan anak pertama dengan tiga adik yang semuanya sedang sekolah.

Maudy tidak punya banyak waktu untuk bermain dan berteman. Toh, semua itu membutuhkan banyak uang. Ia hanya menghindari sesuatu yang mengeluarkan banyak uang.

Di umurnya yang ketujuh belas tahun, Maudy belum pernah berpacaran. Mungkin, wajahnya tidak menarik. Ah, atau mungkin juga Maudy terlalu menarik diri dari pergaulan. Ia bahkan tidak mengenal semua nama teman sekelasnya.

Omong-omong, sejauh ini kalian hanya mengenal Maudy. Tanpa nama panjangnya.

Kenalkan, namanya Maudy Azura Lathifa. Sekarang menduduki kelas dua belas. Karena sedang corona ia jadi tidak pernah pergi ke sekolah. Aha, fakta lainnya Ia juga tidak tahu bagaimana nasib tubuhnya di dunia nyata.

Apa ia sedang koma? Atau bahkan tubuhnya sudah dikuburkan karena dianggap telah mati! Tapi dari dua opsi itu, Maudy lebih memilih opsi kedua. Kalau ia sedang koma, berarti tubuhnya berada di rumah sakit dan pasti kedua orang tuanya mengeluarkan banyak biaya untuk itu.

Sejujurnya, hal yang membuat ia tidak mau kembali ke kehidupan aslinya adalah kebebasan.

Maudy tidak memiliki kebebasan. Bahkan untuk memilih apa yang sebenarnya ia inginkan. Berbeda dengan Shaleta yang dimanja kedua orang tuanya. Berbeda dengan Leta yanh dibebaskan hidupnya.

Maudy iri.

Ayo katakan bahwa Maudy adalah orang bodoh! Ayo katakan bahwa Maudy adalah orang yang serakah. Ia tidak akan menola perkataan itu. Ia tidak akan menyanggahnya.

Karena memang faktanya seperti itu.

Bel istirahat berbunyi nyaring.

Maudy tersentak dan beranjak. Ia berjalan sendirian ke arah kantin. Hah, sejauh ini, persamaan antara Maudy dengan Shaleta adalah keduanya lebih nyaman menyendiri.

Ia melangkahkan kaki tanpa gairah. Maudy berjalan gontai hingga menabrak seseorang. Ia tersentak dan melihat Aldi di depannya yang sama-sama membelalakan mata, dan melirik ke bawah, ada seorang perempuan yang jatuh terduduk.

"Lo,"

Aldi berseru tertahan.

Perempuan yang jatuh terduduk mulai berdiri. Ia menggeram marah ke arah Maudy yang memasang wajah tidak peduli.

"Jalan liat-liat dong, lo punya mata kan?" Perempuan itu berseru. Tidak peduli dengan perempuan di depannya yang seorang anak pemilik yayasan sekolah.

Maudy ingin bertingkah sesukanya.

Ia ngin menjalani apa yang ia inginkan.

Ia ingin bertingkah tanpa terikat tekanan.

Maudy mengumpat kecil dan berdecak sebal. Ia mendorong perempuan yang menghalangi jalannya dengan kasar hingga kembali terjatuh.

Sedangkan Aldi, matanya terbelalak lebih lebar lagi. Ia belum pernah melihat sosok Leta yang kasar. Aldi menarik lengan Leta dengan kencang membuat Leta terhenti.

"Lo ikut gue sekarang," ujar Aldi penuh tekanan.

Maudy kembali terkekeh dan menjawab, "Sorry, lo siapa?"

Aldi tersentak. Tidak menyangka dengan jawaban Leta.



"Lo yang pergi sialan! LO YANG MEMUTUSKAN BUAT PERGI!"



"Dan gue punya hak buat memilih enggak ngenalin lo lagi!"










Next?

I am (Not) Amaryllis (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang