Duapuluh delapan: Seandainya

2.2K 307 28
                                    



Kemaren yang minta Double Update, author hari ini Double update loh,, Ayok ramaikan :)






Eh?


Sebenarnya apa yang sedang terjadi?



Maudy menatap laki-laki di depannya yang menggunakan seragam lengkap sembari menatapi Maudy dan berkas-berkas di depannya. Mengajukan beberapa pertanyaan yang aneh.


Mari kita jelaskan terlebih dahulu apa yang terjadi pada Maudy pagi ini.


Maudy terbangun sembari mengerjapkan matanya, cahaya matahari masuk perlahan dari jendela yang tirainya dibuka oleh seseorang.

Tubuh Maudy di goyangkan perlahan. Suara Sheila terdengar lembut menyapa pendengaran Maudy. "Bangun, Nak! Sekolah loh sekarang!"

Maudy kembali mengerjap, sebenarnya tubuhnya memaksa Maudy untuk kembali terlelap, tapi melihat jam dinding yang menunjukan pukul enam, Maudy akhirnya mengangkat tubuhnya. Duduk di kasur dan mengangguk pada perintah Sheila yang menyuruhnya segera mandi.

Matanya kembali menutup, tetapi segera Maudy beranjak dari kasur yang sepertinya memiliki gaya gravitasi lebih besar dibanding tanah yang ia pijak. Ia tidak boleh kembali tertidur.

Setelah bersiap-siap, Maudy memasukkan buku pelajaran hari ini dan berjalan keluar dari kamar. Maudy berpas-pasan dengan Kieran yang sama-sama keluar kamar. Ia sudah mempersiapkan senyum lebarnya untuk menyapa Kieran, tapi Kieran hanya melirik dan berjalan terlebih dahulu menuruni tangga.

Maudy mengendikan bahu tidak peduli dan mengekor Kieran untuk menuruni tangga. Menuju meja makan yang sudah diisi tiga orang. Ayah, Mommy dan Kieran.

"Mom, Kak Aldi mana?" Maudy refleks bertanya. Sheila hanya tersenyum tipis, enggan untuk menjawab.

Dan Maudy untungnya peka untuk tidak melanjutkan percakapan ini.

Tidak butuh waktu lama bagi Maudy untuk melahap roti bakar dengan topping keju dan meses di depannya. Dengan tiga kali suapan besar, roti tersebut sudah menghilang dan berada seutuhnya di perut Maudy.

Ah, Maudy merasa perasaannya pagi ini cukup baik. Oke, Tuhan yang baik hati, Semoga Engkau membiarkan Maudy menjalani hari ini tanpa masalah. Cukup hari ini saja, tidak apa-apa!

Maudy berjalan keluar dari rumah. Di halaman sudah ada supir yang sedang menyiapkan mobil untuk mengantar Maudy sekolah. Ah, Maudy harusnya memuaskan dirinya menjalani hari-hari sebagai orang kaya. Toh, bisa saja besok ia kembali ke tubuh aslinya dan kembali berjalan kaki ke sekolah.

Mobil berjalan dengan cukup laju. Jalanan yang ramai dan lumayan padat tidak membuat Maudy tertahan lama di jalanan. Karena buktinya, hanya perlu lima belas menit, mobil mewah ini terparkir di halaman sekolah.

Tapi baru saja Maudy melangkah keluar mobilnya, ponsel yang ia simpan di saku rok bergetar. Maudy terdiam dan segera mengangkat panggilan yang masuk.



Nomor tanpa nama



Siapa?


"Ha.. halo?" Maudy bertanya ragu-ragu.

Suara tegas bernada rendah menjawabnya. Maudy semakin terkejut apalagi dengan yang oranag diseberang katakan.

"Adek bernama Shaleta Amaryllis Prayuda, bukan? Saya Doni, dari Kepolisian XX. Saya boleh minta waktunya dan ketersediaan adek untuk dimintai keterangan di kantor polisi!"


Kantor polisi?


Ada apa?


Dahi Maudy mengernyit. Ia tidak merasa pernah melakukan kejahatan. Ia tidak pernah berjudi, ia tidak pernah main togel, ia tidak pernah...

I am (Not) Amaryllis (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang