Isi Hati Dava 🍭

100K 8K 1.7K
                                    

Sudah 1 Minggu Relvin dan Dava tidak masuk sekolah. Luka Dava juga sudah mulai membaik. Relvin benar-benar bertanggung jawab, ia merawat Dava sampai lukanya sembuh total, hanya meninggalkan bekas kecil. Tinggal dioles salep agar bekas luka itu hilang.

Waktu ditanya oleh orang tua Dava kenapa tidak masuk sekolah, Relvin hanya mengatakan kalau Dava tidak enak badan. Widya sebenarnya sudah khawatir dengan keadaan anak tunggalnya, tapi Relvin mengatakan kalau ia akan merawatnya. Widya tetap ingin mengunjungi putranya tapi Relvin meyakinkannya kalau ia akan benar-benar merawat Dava. Widya percaya saja dengan calon menantunya itu.

"Relvin!"

Bruk!

Dava menubruk tubuh Relvin yang sedang duduk di kasur dengan laptop dipangkuan nya. "Astaga kamu kenapa sih? Kalo jatoh gimana?" Yang diomeli hanya nyengir.

"Habisnya kamu dipanggil cuek, kan kesel." Dava mengambil laptop Relvin dari pangkuan pemiliknya.

Kepalanya pusing melihat banyak rumus yang ia pastikan tidak akan pernah bisa masuk ke dalam otaknya! Jangankan masuk, melihatnya saja sebenarnya dia ogah!

"Balikin." Relvin kembali merebut laptopnya.

"Relvin."

"Hm."

"Ham-hem aja terus!"

"Apa sayang?" Relvin menatapnya dengan senyum tipis.

"Y-ya nggak gitu juga!" Dava memukul kepala Relvin dengan bantal yang ada di pangkuannya.

Kejadian 2 Minggu yang lalu, saat ia dihukum oleh kekasihnya—daripada dihukum lebih tepat kalo dibilang percobaan pembunuhan! Memikirkannya membuat Dava kesal sekaligus takut.

Ia sudah tidak terlalu takut lagi, walaupun kadang malamnya, ia masih terbayang-bayang saat tubuhnya disayat dengan mainan kesayangan pacarnya itu.

Waktu melihat Relvin terkadang ia masih terkejut, apalagi ketika bangun pagi. Baru saja membuka mata sudah disuguhi wajah tampan sang pacar. Ia sebenarnya masih takut, tapi sebisa mungkin ia tahan. Ia ingat kalau Relvin benci orang yang cengeng dan penakut.

"Dav?"

"Em—eh?" Dava terlonjak terkejut ketika Relvin mencubit pipinya.

"Mikirin apa?"

"Ha—oh enggak, bukan apa-apa." Dava memalingkan wajahnya kesamping. Enggan menatap wajah Relvin yang menatapnya tidak percaya.

"Kalo ada masalah cerita aja." Relvin kembali ke kegiatannya. Menyelesaikan rumus yang diberikan oleh gurunya.

Setelah ini masih ada pelajaran lagi yang harus ia pelajari. Pelajaran sejarah. Olimpiade diadakan untuk tiga mata pelajaran. Matematika, IPA, dan IPS atau pelajaran sejarah. Relvin mewakili matematika dan IPS. Kalau IPA, anak kelas lain yang mewakilinya.

Dava kembali melamun, jika ia mengatakan kalo dia masih takut pada Relvin, bagaimana reaksi Relvin nanti? Sedih? Khawatir? Atau—marah? Bukankah sudah dibilang kalau Relvin benci dengan orang yang cengeng dan penakut.

Puk!

"IYA PAK TAHUN DEPAN SAYA BAKALAN TOBAT!" Latah Dava ketika merasakan pundaknya ditepuk.

"Kamu kenapa?" Mata Relvin memicing menatap Dava heran.

"Ha? Aku? Aku kenapa?" Dava balik menatap Relvin bingung.

Relvin meletakan laptopnya dimeja nakas. Kembali menghadap Dava lalu memegang kedua pundak Dava agar sang pacar menghadapnya.

"Kamu kenapa? Ada masalah apa? Cerita sama aku." Relvin menatap Dava khawatir.

Pacaran🍭 [Ketos VS Berandalan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang