CHAPTER SEMBILAN BELAS
Ally sadar bahwa mencari pekerjaan di waktu sekarang tidak mudah. Terlebih, dia bukan wanita lajang dengan pengalaman segudang. Perusahaan sekarang lebih senang dengan orang dengan pengalaman banyak, masih muda, dan juga gesit. Sementara itu, Ally sudah punya Luca dan sewaktu kuliah, tidak banyak yang dia kerjakan jadi ini akan menjadi tantangan tersendiri.
Esme menaruh minumnya dan memandang sang kakak. "Aku tidak begitu tahu tentang lowongan pekerjaan yang ada, tapi James mungkin akan membantu. Aku juga akan tanya-tanya kepada teman kuliahku, tapi kurasa untuk saat ini ada lebih banyak part-time job ketimbang pekerjaan dengan penghasilan stabil."
"Itu tidak masalah seharusnya," sahut Ally. Apapun itu, dia hanya butuh uang sekarang dan Luca akan mendapatkan pemeriksaan minggu depan jadi setidaknya, Ally harus menyiapkan uang dari sekarang. Jika mengandalkan pinjaman bank, Ally ragu mereka akan mengacc begitu saja. Apalagi tidak banyak yang dapat dijadikan jaminan.
"Hm, memang apa yang benar-benar ingin kau kerjakan? Maksudku mungkin kau bisa membuka toko sendiri, atau ikut kursus dahulu agar kau punya modal skill yang mumpuni kemudian kau bisa membuka usahamu sendiri, Al."
"Aku tidak yakin, kurasa itu terlalu memakan waktu." Apalagi akan ada banyak hal-hal tidak terduga dan meniti karier dari nol jelas membutuhkan banyak dedikasi. "Aku butuh pekerjaan yang cepat sekarang."
Esme pun mengangguk. Selama ini mengenal kakaknya, Esme selalu yakin bahwa Ally punya kemauan kuat. Mulai dari kuliah yang jauh dari orang tua, menikahi Jared dan sekarang berniat mencari pekerjaan demi memenuhi kebutuhan keluarga kecil mereka. Esme sangat takjub dengan keuletan sebesar itu apalagi dengan kakaknya yang lebih terlihat tegar daripada sebelumnya. Luca adalah motivasinya. Tentu saja. Esme tidak tahu apakah dia dan James pada akhirnya akan menikah, menilik dari pernikahan sang kakak yang penuh gonjang-ganjing, Esme jadi perlu berpikir ulang. Bukan berarti James itu brengsek layaknya Jared, sang kakak ipar, tapi tetap saja, ada banyak pertimbangan termasuk jika mereka memiliki anak.
Esme jadi melamun karenanya.
"Aku dengar kau punya kenalan penting di kampus. Apakah mereka punya waktu luang? Ayo mengobrol saja," katanya.
.
.
Pria itu mengusap bawah dagunya, memperhatikan dua sosok yang telah duduk di hadapannya. Esme nampak gugup sedangkan Ally nampak tenang dan memperhatikan begitu serius. "Bayarannya 5 dollar per jam tapi jika akhir pekan, akan ada bonus serta jika kau sudah bekerja sampai lima bulan, akan ada kenaikan gaji. Tapi seperti itu, kau akan bekerja shift malam dan melayani para pengunjung bar. Tidak, bukan sebagai pekerja seks atau penghibur, tapi sebagai pelayan saja. Biasanya akan ada gelas-gelas menumpuk di pantry, meja yang perlu dibersihkan serta ada kursi yang harus dirapikan jelang dini hari. Waktu bekerja sejak pukul empat sampai pukul tiga dini hari, bisa lebih kalau memang tengah ramai."
Ally mengetukkan jemarinya. Pekerjaan di bar? Ia memang bukan orang suci. Sesekali ia pernah mabuk sebelum usianya legal dan dia juga pernah kepergok tengan clubbing karena ajakan tempat kampusnya. Tapi, apa ini? Bukankah hanya sebagai pelayan? "Dan bayarannya langsung dibayarkan atau bagaimana?"
"Yah, hari itu juga selesai bekerja kau harus menemuiku dan aku akan memberikan bayarannya. Tunai, Nyonya."
Ally dan Esme berpandangan. Adiknya itu menggeleng samar sementara Ally hanya menarik senyuman kecil.
"Baiklah, aku tidak punya banyak waktu. Ini kartu namaku dan hubungi aku jika kau memang tertarik," ungkapnya kemudian bangkit. Ally dan Esme pun mempersilakannya untuk pergi. Aneh juga karena James mengenal orang seurakan itu. Meskipun urakan, dia nampak seperti bos besar yang punya dompet tebal serta sikap yang meskipun terkesan kasar, tapi punya sedikit hati nurani. Buktinya dia tidak menolak saat tadi mereka ajak bertemu, justru menawarkan langsung pekerjaan itu.
Esme kembali duduk dan mendesah. "Al, jangan bilang kau mempertimbangkannya. Pekerjaan itu sangat beresiko apalagi kau tidak tahu siapa yang akan kau temui di bar itu. Bagaimana dengan Luca? Kalau sampai kau minum, atau pun sebagainya, itu akan menjadi masalah."
"Jadwal kuliahmu sampai jam empat kan?"
"Yah, terkadang padat, terkadang tidak. Tapi paling lambat jam lima sih."
Ally mengangguk mantap. "Sempurna. Ini pekerjaan yang bisa aku dapatkan sekarang, Esme. Kalau kedepannya ada yang lebih menjanjikan aku akan pindah," jelasnya. Ally merasa gugup sekarang, namun apa yang ia punya? Toh pekerjaan ini bukan pekerjaan 'macam-macam' dan layaknya pelayan di restoran atau kafe, dia hanya harus bersih-bersih dan melayani pengunjung yang ingin minum saja.
.
.
Kedatangan Jared ke rumah mereka membawa aura mencekam. Tidak hanya itu, belum apa-apa, Jared sudah mengomeli Ally panjang lebar perihal sikap Ally kepada majikannya, Veronica, tempo hari. Dapat dilihat, Jared bahkan tidak mau repot menemui Luca untuk mengecek keadaan anak mereka, ia justru mengomel terus sejak detik pertama ia menginjakan kaki. "Aku tidak menuntut banyak kepadamu tapi setidaknya ... hargai bantuannya."
Ally bergerak untuk merapikan lemari, kemudian mengikat rambutnya tinggi.
"Alicia! Aku bicara kepadamu! Alicia Hawton!"
"Kalau hanya ini yang kau bicarakan," Ally menatap Jared di dekat pintu, membawa keranjang penuh pakaian kotor. "Pergi saja." Ia melenggang begitu saja dari sisi pria itu.
"Ally!"
Ally mendengus kasar, memutar keran air untuk mengisi mesin cucinya. Siang ini dia harus mengurus Luca, membersihkan rumah, mencuci dan menjemur pakaian lantas bersiap untuk malam nanti. "Aku sibuk. Pergi saja sebelum aku marah."
"Sibuk apa?" Ia tergelak. "Sibuk mengabaikan Luca?"
Wanita itu meringis. "Terserah, aku tidak punya energi untukmu." Hap. Jared menangkap pergelangan tangan istrinya hingga Ally mengangkat wajah dan bertemu tatap dengan Jared. Wajah jengkel terus bergelayut di wajah Ally. "Aku serius, Jared. Pergi."
"Kau mau kemana? Jawab aku."
"Bukan urusa—"
"Kau masih istriku, Ally. Demi Tuhan! Jawab sekarang!"
Ally menyentakkan tangannya. Amarahnya sudah bergejolak apalag keinginan untuk menendang dan menyingkirkan pria ini. Entah dorongan dari mana, Ally benar-benar muak mendapati wajah Jared sudah muncul di rumahnya, tempat paling aman untuknya. Sekarang Jared terus mengusik seakan Ally tidak bisa marah dengan barbar. "Aku dapat pekerjaan dan itu bukan urusanmu."
Jared terkesiap pelan. "Apa? Pekerjaan apa.."
"Sesuatu. Seperti kubilang, kau boleh pergi dan jauh dari aku ataupun Luca. Aku tidak butuh dirimu."
"Oh ya?" Sejenak, Jared tertawa kering. "Jadi sekarang kau memang sudah sesombong ini, huh? Apakah kau tidak ingat bagaimana kau bahkan tidak punya uang untuk membeli pakaian Luca? Atau pun boks bayi Luca? Kau bahkan berpikir untuk mengemis di depan ayah ibumu. Apakah kau tidak ingat—"
"Pergi, sialan!" pekik Ally, menahan geramannya. "Aku bilang pergi sana!" Ia mendorong cepat tubuh Jared, memicu pekikan dari pria itu namun Ally tidak berhenti. Sampai di depan pintu, Ally berbalik pergi kemudian kembali dengan setumpuk pakaian Jared yang dia ambil dari lemari dengan kasar. "Bawa sana ke rumah pacarmu itu!"
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Breaking White (2017)
RomanceJared Hawton sudah menikah dengan Alicia Fritz. Segalanya berjalan baik hingga Jared mendapatkan pekerjaan di Maine untuk menjadi seorang bodyguard. Pada awalnya, mereka pikir hal itu menjadi langkah yang menakjubkan; Jared bisa mendukung kebutuhan...