Ally's Note

330 38 1
                                    

ally's note

Tidak ada yang berubah di rumah kita. Luca masih nyaman di boksnya, kadang menangis, kadang tidur denganku dan kadang menatapku dengan mata besarnya. Tidak ada yang berubah dariku—kurasa.

Hanya kau. Semuanya yang berubah hanya kau, Jared. Sejak awal.

Kalau aku diberi kesempatan untuk mengulang waktu, aku berharap semuanya tidak berubah. Tanpa rasa sakit, tanpa kepergianmu, tanpa kelakuan busukmu, aku tidak mungkin bertemu pria itu. Tanpa rasa sakit itu, aku tidak mungkin sadar betapa kuat aku selama ini menghadapi rumah tangga kita.

Sejujurnya, mengingat hanya memuakkan. Sejujurnya, menyebut namamu hanya membangkitkan kenangan pahit. Jadi, kita akhiri sekarang, oke?

Kisah kita sudah di bagian epilog. Kalau aku menangis lagi, aku harap itu tangis kebahagiaan.

.

.

Aku duduk di ruang tengah dengan parsel di pangkuanku. Setelah menyematkan satu pita putih di sana, aku memandang puas. Sebenarnya, aku jarang sekali muncul di hadapan Mom dengan hadiah. Sebenarnya, sudah lama sekali sejak pertemuan kami. Tidak, sangat lama. Bahkan menelepon pun kami jarang melakukannya. Jadi, di hari ini, aku berharap semuanya berjalan lancar.

Mom, aku akan menjalani proses persidangan. Mom, aku tidak berharap banyak, tapi semoga semuanya lekas berakhir. Mom, kau benar, aku terlalu berburu-buru waktu menerima Jared sebagai pasangan hidupku.

Beliau sudah cukup umur. Bahkan aku dengar dari Dad kalau Mom sering jatuh sakit akhir-akhir ini. Tiap kali aku mendesak apa penyakitnya, Dad mengalihkan topik untuk membahas lain. Oh ya, Mom juga enggan untuk menjawab tiap kali topik ini muncul, jadi aku tidak punya pilihan.

"Kau siap?" Esme muncul kemudian memandang turun parsel yang baru aku rangkai satu jam terakhir. Isinya tidak banyak, hanya beberapa buah, surat kecil dan hiasan bunga. "Itu bagus, Ally!"

"Terima kasih."

Aku tersenyum tipis, kemudian memandang Esme lurus. Kulihat adikku sudah duduk dengan nyaman.

"Kau gugup."

"Ya, sangat."

Esme menggapai tanganku dan meremasnya. "Apakah kau takut Mom akan mengomelimu? Tenanglah, jangan terlalu gugup begitu. Aku yakin, seketus apa pun Mom kelihatannya, dia selalu berharap yang terbaik menyangkut dirimu, Ally." Esme tersenyum kecil. "Dia selalu berharap kau bahagia."

"Ini keputusan tepat, kan?" tanyaku lagi. Memandang Esme, aku makin sadar betapa aku sudah merepotkannya sejauh ini. "Maksudku, aku tidak mau menyesal—"

"Apa maksudmu? Jared itu bajingan! Kalau kau memilih bertahan setelah semua perlakuan buruknya dan bagaimana sikapnya terhadapmu, aku akan sangat marah." Esme mengembuskan napas kasar kemudian menekuk bibirnya. "Serius, kau berhak bahagia. Bukan menangis terus menerus."

Aku mengangguk.

"Kau ingin yang terbaik untuk Luca juga, kan? Apakah kau sanggup bayangkan kalau Luca sudah beranjak besar dan dia melihat perlakuan ayahnya yang kasar kepada ibunya sendiri? Kau pikir itu tidak akan menganggunya?"

"Yah, itu yang aku takutkan."

Esme mengangguk cepat. "Nah, jangan banyak berpikir dan bersiaplah. Aku rasa kau harus pergi sekarang. Luca akan bersamaku, oke? Nah, kembalilah setelah kalian mengobrol. Oh ya, titip salam juga untuk Dad. Katakan aku belum sempat mampir, tapi kalau akhir bulan ini aku selesai dengan semester ini, aku pasti mampir."

Aku pun bangkit, mendekap tubuh Esme sekali lalu mulai membawa tas dan parsel yang tadi diletakkan di atas meja. Aku berjalan keluar dari rumah, mengisi paru-paruku dengan oksigen sebanyak mungkin. Di dekat mobil, aku kembali mengambil jeda untuk menenangkan diri, kemudian mulai membuka pintunya perlahan.

.

.

Mom terbatuk pelan setibanya aku di pekarangan rumahnya. Mom mendelik sesaat aku turun dari mobil, membawa parsel besar dengan sisi bahuku agak miring karena perlu menyampirkan tasku, kemudian aku berjalan mendekatinya.

Dad muncul dari balik garasi. "Alicia! Kau datang!" Dia mendekapku, mengecup kedua pipiku cepat dan mulai memandang Mom yang masih mematung. "Sayang, Ally di sini. Mengapa kau diam saja?"

"Mengapa?"

Satu pertanyaan itu terdengar. Mom bahkan tidak bergeser atau mau repot menyapaku, atau mendekapku seperti yang Dad lakukan. Wanita itu hanya duduk di kursinya, memandang dengan tatapan yang seperti orang bosan.

"Aku.. ada yang ingin aku bicarakan."

Dad memandang kami berdua kemudian mengangguk. Ia menepuk bahuku ringan. "Aku akan menyiapkan makanan di dalam. Kau duduklah," bujuknya. Setelah Dad menghilang di balik pintu, aku pun menaruh parsel tadi di meja terdekat dan duduk.

Mom masih memandangku tanpa mengucapkan apapun lagi.

"Aku ingin memberitahukan sesuatu, Mom. Sebenarnya aku dan Jared—" Mengapa lidahku kelu? Mengapa terasa berat? Aku mengingat kilas balik peristiwa muram sejak Mom mencekal pernikahanku dan Jared. Tahun awal aku pindah bersama Jared, teriakan Mom yang marah kepadaku dan berbagai peristiwa lain di rumah ini. "—aku akan berpisah darinya."

Mom mengerjap pelan dan memandangku. Agak bingung. "Apa yang terjadi?"

"Ceritanya panjang. Aku akan ceritakan kalau kau mau. Tapi, aku... aku tidak bisa bersama dengannya lagi." Terlalu menyakitkan. Aku menarik senyuman meskipun mataku terasa perih. Apalagi, Mom tidak menunjukkan ekspresi melunaknya. "Aku diselingkuhi olehnya. Dia bersama majikannya sudah menjalin hubungan di belakangku."

"Begitukah?"

Aku tercekat. "Mom, aku minta maaf kalau selama ini aku sudah membangkang. Aku tahu, semua ini, maksudku... pernikahanku dan Jared tidak pernah kau restui. Sekarang aku agak berpikir ulang, mungkin saja aku seharusnya mendengarkanmu."

"Bagaimana dengan Luca?"

"Dia akan bersamaku, aku yakin sekali. Apalagi dia masih terlalu kecil sekarang."

Mom berdeham. "Kau tahu kan betapa aku tidak senang mendengar kalau putriku bercerai. Tapi, apakah dia menyakitimu? Sangat?" Tatapnnya berubah sendu. Perlahan, Mom mulai menggeser posisinya. "Apakah dia melukaimu?"

Aku menangis. Luapan kemarahan yang tadi menggumpal bagaikan bola besar di dalam dada akhirnya meletus. Mom menarik tubuhku, membiarkan aku tersedu-sedu di depan dadanya. Tubuhku gemetaran hebat sedangkan Mom mulai mengusap punggungku. "Dia—dia terus menyalahkanku akan banyak hal, dia tidak pernah pulang, dan dia memukulku. Selama ini, aku berpikir dia akan berhenti dan berubah. Aku pikir dia akan memilih aku dan Luca dibanding apa pun, tapi tidak, Mom."

"Ally..."

"Aku sangat ... sakit." Aku membiarkan air mata itu berjatuhan lagi. "Aku menahannya, aku berusaha tapi terlalu sakit. Apakah harus menyakitkan seperti ini? Mom, aku tidak sekuat itu."

Tangisku tidak bisa dihentikan. Mom mulai mendekapku kian erat, sedangkan aku merasa sangat kerdil di dalam dekapannya.Seperti gadis yang tidak tahu apapun dan ketakutan. Mom mengusap punggungku lebih lembut. "Ally, aku turut sedih mendengarnya."

"Mom, aku ingin sekali bahagia. Aku tidak ingin Luca.. Luca jauh dari Jared apalagi Jared adalah ayahnya sendiri. Tapi, menahan semua ini, untuk satu tahun atau lima tahun lagi, aku justru takut..."

"Ally."

"Aku takut aku kehilangan diriku sendiri. Bagaimana kalau aku tidak bisa bertahan? Bagaimana Luca bisa tumbuh? Bagaimana aku bisa mengurus hidupku dan Luca? Aku lebih takut kehilangan banyak hal lain."

Cukup.

[]

End soon?????

Breaking White (2017)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang