Chapter 31

427 43 0
                                    

CHAPTER TIGA PULUH SATU

Berjalan ke lokernya, Ally beres berganti pakaian dengan seragam bar Erico. Malam ini shift-nya lebih panjang dan Ally sudah menitip pesan kepada Esme kalau-kalau Luca rewel, ada stok ASI yang dia sengaja siapkan di lemari khusus. Sementara itu, Ally mulai menyeka keringat di leher. Tadi, sangat sulit mencari taksi sampai Ally perlu menunggu lebih dari dua puluh menit.

"Alicia, mari ke ruanganku."

Ally mengerjap singkat dan mengangguk. Setelah mengunci lokernya, Ally mengekori Erico hingga duduk di satu kursi ruangan tersebut. "Ada apa, Tuan?" tanyanya pelan.

"Bagaimana proses perceraianmu? Lancar?"

"Hm, begitulah," jawabnya tersenyum. "Semuanya lancar sejauh ini. Mungkin lebih cepat dari yang diperkirakan karena pria itu juga mulai muncul di persidangan. Terima kasih sudah bertanya."

"Baguslah," katanya. Erico menarik satu laci meja kerjanya dan mulai menaruh satu amplop di depan Ally. Sontak saja, wanita itu menatap bingung. "Uang pesangonmu."

"Ma—maaf? Tapi.. apa maksudnya.."

"Mulai besok kau tidak perlu datang kemari lagi."

Bagai tersambar petir di tempat, Ally terhenyak. Tidak, dia tidak pernah menyangka Erico mendadak akan memutuskan pekerjaan. Apalagi, bar terbilang ramai lebih dari biasanya. Ada pegawai lain yang juga kerepotan saking banyaknya pengunjung.

"Tapi, Tuan, saya masih ingin bekerja di sini."

Erico menggeleng. "Sekarang kau harus fokus pada keluargamu—"

"Tapi justru karena saya sudah bercerai, saya harus tetap bekerja demi keluarga saya," katanya tegas lantas mendorong amplop tadi. Raut kecewa menghiasi wajahnya. Apakah aku kurang berdedikasi selama ini? Apakah pekerjaanku buruk? "Tuan, saya mohon, biarkan saya tetap bekerja."

Pria itu menggeleng seraya menggigit bibir bawahnya. "Al, maafkan aku, tapi kau tidak bisa bekerja di sini lagi. Jadi tolong, kau terima saja." Ia mendorong lagi amplop tadi. Seketika, Ally meringis di kursinya. Apa-apaan ini? Sebelumnya, pekerjaan dan segala urusan tidak pernah merepotkannya. Apalagi Erico adalah bos yang bijak dan sangat pengertian menyangkut pegawainya. Mengapa mendadak berubah pikiran?

"Tuan, saya paham kalau Anda berikan alasan mengapa saya tidak bisa bekerja di sini lagi padahal sejauh ini, saya sudah melakukan yang terbaik untuk bar Anda."

"Begini, Ally, aku butuh pengurangan pegawai. Kau bukan satu-satunya yang aku keluarkan—"

Omong kosong!

Erico melanjutkan, "Aku paham, kau juga pasti punya potensi di bidang lain. Jadi, jangan sia-siakan, ambil uang itu dan cari pekerjaan lebih layak. Kau tidak harus di sini selamanya, oke?" Erico tersenyum tipis. "Terima kasih banyak untuk semuanya."

Ally masih tertohok. Tidak pernah dia bayangkan akan duduk di ruangan Erico malam ini dengan pemecatan secara sepihak dan terlampau mendadak begini. Ally tahu, ini agak mencurigakan.

.

.

Dante berjalan ke sana kemari selama setengah jam. Setelah, Erico akhirnya muncul di depannya, Dante langsung memandang serius. "Apa maksudmu? Kau memecat Ally? Kau mau mati, huh?"

"Dengar, aku malas berurusan dengan Alexis—"

"Jangan dengarkan dia!" pekik Dante geram. "Apakah kau tahu? Dia malah senang kalau kau mudah diperalat seperti ini. Jadi, berhenti bersikap bodoh dan biarkan Ally bekerja bersamamu."

"Maaf, aku tidak bisa."

Dante mendengus sengit. "Kau ini.." Setelahnya, Dante mulai bergerak dari ruangan itu untuk mencari satu wanita yang ternyata tengah mengobrol dengan bartender itu. Dante memelankan langkah dan mendekati Ally yang tengah menata minuman untuk diantarkan. "Alicia."

"Kau?"

Ally agak terkesiap karena kemunculan Dante yang tiba-tiba dan langsung mendekat padanya. Apalagi di tengah waktu bekerjanya. Di hari terakhirnya. "Apa yang kau lakukan, Tuan?"

"Erico. Dia tidak bermaksud sekasar itu, kau masih bisa bekerja."

Ally melipat bibirnya. "Bagaimana mungkin? Dia yang bilang sendiri aku tidak bisa bekerja lagi." Setelahnya, Ally mulai berjalan untuk mengantarkan pesanan ke meja nomor delapan. Setelah itu, dia menyajikannya dengan senyum. Dante masih mengekorinya gesit. "Aku mungkin akan mencari pekerjaan dekat sini saja."

"Ini semua salahku."

"Huh?"

"Alexis. Dia pasti yang mendesak Erico dan Erico tidak berkutik. Tapi aku jamin, kau masih bisa bekerja besok dan seterusnya, oke?"

Karena Ally tidak kunjung menghentikan langkah, Dante cepat menggapai pergelangan tangan Ally dan menyentakkan. Ally mau tak mau bertemu tatap dengan iris gelap Dante yang tertuju hanya padanya. "Tuan d'Alessi, maaf saya harus bekerja.."

"Aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi, jadi percaya kepadaku dan tetap bekerja besok, oke?"

Ally hanya terdiam beberapa saat hingga Dante mulai merebut nampannya dan mulai menarik Ally ke satu ruangan lebih privat. Jujur, dengan hak tinggi agak sulit menyamakan langkah dengan kaki panjang Dante di dekatnya. "Tuan, pelan-pelan."

"Alexis itu biang onar, tapi dia tidak akan berkutik kalau aku sudah turun tangan."

"Mungkin dia masih berharap agar kalian bersama."

"Tapi aku tidak ada rasa lagi."

Ally tertegun. "Oh ya?"

"Aku mencintaimu. Itu jelas, kan?"

Dante akhirnya berhasil membawa Ally hingga terduduk di satu kursi panjang lantas memandang lekat perempuan tersebut. Dante tersenyum, lalu mengusap rambut Ally perlahan. "Apakah tidak cukup jelas untukmu, Ally? Apakah aku kurang gesit mengerjarmu? Atau kurang upaya?" Dengan ibu jarinya, Dante mengusap pipi Ally dan bekas luka yang tertinggal di sana karena ulah Alexis. Seketika, ia meringis karena kesal betapa barbar Alexis malam itu.

"Aku bisa melihatnya dengan jelas."

"Kalau begitu, dengarkan aku dan tetap lakukan pekerjaan ini selama yang kau mau. Jangan hiraukan Alexis, aku akan tetap membujuk Erico agar kau bisa bekerja."

Ally tersenyum. "Trims."

Dante balas tersenyum. "Tentu, tidak ada yang lebih penting daripada dirimu, oke."

Ally mengangguk.

"Shift-mu beres seperti biasa, kan? Aku akan jemput nanti, jadi selamat bekerja."

[]

Breaking White (2017)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang