Chapter 15

1.1K 62 7
                                    

Chapter 15

"We were ones."

*

Dengan napas berat, Ally pun terbangun lagi. Tubuhnya banjir akan keringat dingin sampai terasa seperti mandi. Dia bangkit, masih mengumpulkan napasnya yang berserakan kemudian mendekati boks tersebut. Dilihatnya Luca masih terlelap damai. Ally menyunggingkan senyuman separuh. Beberapa malam ini jadi yang terburuk untuknya. Sejak kejadian Luca yang tersedak itu, Ally kerap didatangi mimpi-mimpi buruk. Yang terbaru, yang baru ia alami adalah Luca tenggelam karena terlepas dari genggamannya. Itu mimpi yang absurd karena Ally tidak pernah mengajak Luca untuk berenang di mana pun apalagi di tempat yang sedalam seperti di mimpinya.

Tetap saja, Ally menjerit dan menangis sejadi-jadinya hingga ia terbangun dan refleks mendekati boks Luca. Sisa tangis bahkan masih berbekas di pelupuk matanya, seolah tadi dia tidur sambil menangis sesenggukan.

Sebenarnya, Ally sudah bercerita perihal hal ini kepada Esme. Esme pun sudah dengan gencar memintanya untuk berkonsultasi dengan psikiater agar Ally dapat lebih tenang. Namun, Ally masih meragu. Lagipula, fokusnya saat ini adalah Luca, Luca, dan Luca. Tidak ada waktu sedikit pun untuk pergi ke psikiater maupun mengeluh lagi. Mimpi ini pasti akan lenyap. Luca baik-baik saja.

Ally pun kembali ke ranjangnya. Dia terduduk bingung dalam beberapa menit sambil mengusap keringatnya. Dadanya masih berdebar berantakan walaupun kesadarannya sudah sepenuhnya pulih. Jika hal ini terjadi, seperti malam-malam sebelumnya, Ally tidak akan dapat kembali tidur. Dia akan terjaga sampai pagi kemudian Luca bangun untuk minta disusui maupun mandi. Luca lebih tenang dalam beberapa hari, melegakan sekali. Ally dapat istirahat sejenak di siang hari untuk membayar kantuknya karena Esme yang datang setelah bekerja. Rasanya, aneh hidup seperti ini. Karena, biasanya, Ally masih akrab dengan keberadaan Jared di sisinya.

Waktu-waktu terindah tersebut; sewaktu Jared belum ke Maine dan berubah.

*

Esme cepat-cepat menghentikan taksi, ponselnya masih terjepit di sisi lehernya. "Ya, coba kau periksa dahulu suhu tubuhnya! Apakah dia mungkin demam?" pekiknya di saluran telepon tersebut. Esme bahkan tidak sempat memberesi tasnya dan hanya membawa dompet seadanya untuk melesat mencari taksi tadi. Di dalam taksi, dia tidak erhenti mengoceh seperti Ibu yang baru saja berpergian seharian dan menitipkan pengasuh setengah ceroboh untuk menjaga anaknya. "Ally, dengarkan dahulu ... jangan panik ..."

"Mengapa aku sebodoh ini?! Pantas saja, dari pagi Luca tidak bangun seperti biasanya. Tubuhnya lemah sekali. Aku perlu membawanya ke Dokter sekarang."

"Baiklah, baik. Tapi kau harus tenang oke? Kau perlu membawa dompet, jaket Luca kemudian hati-hati. Berikan aku alamatnya bahkan jangan matikan ponselnya. Aku akan menyusulmu, setelah aku tahu alamatnya."

"Aku takut, Esme."

"Tidak, tidak. Jangan takut seperti itu," sahut Esme kemudian menghela napas. "Tetap fokus, oke?" Akhirnya kakaknya menyahut pelan dan Esme pun mengarahkan taksi tersebut untuk ke rumah sakit terdekat dari rumah Ally. Esme tidak mungkin salah untuk tujuan Ally. Tidak berapa lama, dia pun mendapatkan alamatnya yang persis. Tinggal beberapa menit lagi ia akan tiba. Seusai membayar, dia cepat menyambangi meja respsionis karena Ally benar-benar tidak dapat dihubungi lagi setelahnya. Apakah Luca sudah masuk ke ruangannya? Apakah parah? Esme pun cepat mendapatkan informasi mengenai kamar atas nama Luca Hawton dalam waktu cepat.

"Bagaimana?" tanyanya sewaktu dia tiba kemudian Ally sudah mendekapnya. Ally sudah menangis sejadi-jadinya, tangannya bahkan gemetaran hebat. Dia bahkan tidak dapat menjawab. "Dia sudah di dalam kan?"

Ally pu mengangguk. Esme cepat mendekap tubuh kakaknya tersebut dan mengusap pelan punggung wanita itu. "Jangan panik, oke? Mungkin ini saja demam biasa. Luca pernah demam seperti ini pula kan? Kau jangan terlalu khawatir."

"Tapi ... tapi dia bahkan tidak mau disusui maupun digendong olehku. Badannya panas luar biasa, dan dia terus menangis tanpa henti. Aku takut, Esme."

"Tenanglah." Esme berucap lembut. Dengan satu tangan lain, Esme cepat menghubungi James kemudian menunggu sampai panggilan tersebut tersambung.

*

Jared menunggu dalam diam. Dia bagaikan patung yang tidak bergeser satu senti pun. Veronica terus memperhatikan bagaimana lawan bicaranya itu justru tetap bergeming meskipun dia sudah ajak bicara berulang kali. "Apakah kau marah denganku? Itu adalah masalah kalian. Kau dan istrimu, seharusnya kau pun tidak perlu memusingkanya untuk sekarang. Dia mungkin hanya sensitif saja."

"Ini berbeda," jawabnya. "Ally tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia membenciku seolah aku sudah melukai seluruh keluarganya bahkan memintaku untuk pergi tanpa kembali lagi."

Wanita itu menumpu dagunya beberapa saat. Dia memperhatikan Jared dengan mata mendelik. Jared sangatlah tampan dan raut murung bak awan mendung itu sangat tidakcocok. Veronica ingin menyalahkan Ally—si penyebab terkutuk itu—karena sudah merusak sedikit saja raut wajah yang seharusnya hangat tersebut. "Tidak perlu dipikirkan. Beri dia hadiah, buat kejutan, dia akan membaik. Oh, ya bagaimana dengan putramu?"

"Kurasa baik."

"Hei, aku sangat menyukainya. Dia lucu sekali. Aku sudah melihatnya di ponselmu, ingat?" Veronica tersenyum ketika melihat beberapa foto yang ada di ponsel Jared sewaktu dia hendak membelikan Jared ponsel baru namun Jared menolak dengan halus. Veronica terpana bagaimana ketampanan nampak di wajah bayi mungil menggemaskan tersebut. Persis seperti Jared. "Dia akan mengabarimu. Aku jamin."

Jared mendesah pelan. Dia menatap lurus Veronica yang masih fokus dengan sarapannya untuk beberapa waktu. "Kau tidak menganggap hubungan kita ini ... lebih daripada hubungan profesional kan? Karena, entah mengapa ... aku hanya merasa ... perhatianmu kepadaku dan semua tingkahmu ini ... aku tidak dapat menangkapnya dengan benar dan aku tidak mau salah salah sangka."

Veronica tertawa pelan.

"Aku serius. Aku tidak mau terlibat dalam urusan—"

Ia justru mengerling singkat. "Kau sangat peka," katanya dan meneguk minuman di sisinya. Jared masih mengeryit tidak paham. Sejauh ini, dia dan Veronica bagaikan sahabat yang sangat akran dan intim. Jared dapat memaklumi itu karena Veronica mengaku sendiri sulit untuk menemukan pengawal yang dapat dipercaya dan disukai Ayahnya. Sulit menemukan yang nampak hangat dan bersahabat. Tidak ada yang seperti Jared, katanya.

"Aku sungguh-sungguh, Nona."

"Aku ingin kau berpikir ulang," tukasnya. "Aku menyukaimu, dan kau tertarik. Jika istrimu ini menyusahkan terus dan menyiksamu, mengapa harus ... tetap kau lanjutkan." Kata-kata Veronica bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan. Namun, entah mengapa itu seperti diakhiri tanda tanya dan menggantung di benak Jared dalam beberapa menit selanjutnya. Veronica tersenyum merekah dan menyantap lagi sarapannya. Sementara itu, Jared masih membeku.

Ini tidaklah benar, bukan? Dia menggeleng samar tapi Veronica justru seperti terhibur akan penolakan yang coba ia tunjukkan secara jelas tersebut.

"Kau akan sadar dalam beberapa waktu. Kau akan tahu siapa yang sebenarnya sudah mengisi hatimu yang kering itu ..." Wanita itu kembali berucap seolah menyahuti kata-kata dalam batin Jared yang campur aduk. Veronica memang tidak pernah terlihat biasa. Wanita itu tahu betul bagaimana menjerat seseorang, Jared seharusnya lebih sadar.

"Istrimu itu menjemukkan. Astaga, apakah kalian bahkan saling mencintai seperti itu? Aku jamin, jika aku jadi kau, aku mati kebosanan. Apakah dia memang kaku dan selugu itu? Tidak seru. Kau seharusnya, bertemu denganku lebih awal. Aku ajarkan banyak hal kepadamu, sesuatu yang lebih menarik."

[]

Thank you buat yang nunggu cerita ini terus!!! Jangan lupa untuk selalu kasih support untuk cerita ini kalau memang kalian pengen tahu kelanjutannya, karena tanpa itu semua, cerita ini akan ngegantung terus tanpa pernah gue lanjut. Makasih!

Breaking White (2017)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang