CHAPTER DUA PULUH
Mungkin memang seperti ini. Ally menyadari ini adalah momen tergugup sepanjang hidupnya—terlepas ketika dia akhirnya berjalan menuju altar agar menikahi Jared. Tapi serius, Ally merasakan tangannya berkeringat sedangkan kakinya agak lemas. Bar selalu dikonotasikan sebagai tempat "pelarian singkat" yang cukup biasa. Tapi untuk Ally, bar ini jauh berbeda daripada bar yang ia bayangkan maupun yang pernah ia kunjungi sesekali.
Bar ini cukup besar. Interiornya dalamnya penuh warna emas, cokelat lembut dan hitam. Sejak kedatangannya, ia disambut oleh pria tempo hari yang namanya adalah Erico. Ally pun melangkah mengikutinya, bergabung dengan dua wanita lain yang mengenakan seragam pelayan sepertinya dan tersenyum tipis.
"Nah, jadi kalian punya beberapa tugas sekarang termasuk mendatangi para pegunjung, mengambil minuman di meja bar dan juga mendengarkan apa yang mereka butuhkan. Biasanya mereka juga bertanya tentang bar ini dan sesuai intruksiku sebelumnya, kalian seharusnya tidak perlu kesulitan."
Satu wanita mengangkat tangannya. "Apakah kami diperkenakan untuk masuk ke ruang privat? Maksudku, ada beberapa sekat—"
"Tergantung. Biasanya jika klien kami bos besar, mereka punya penjaga dan sebaiknya kau tanyakan saja apakah kau diperbolehkan masuk atau tidak karena wilayah itu jadi hak mereka."
"Mengerti."
Erico melirik Ally yang masih berusaha tenang, melipat bibirnya dan memandang sekitar seperti sosok yang tersesat. "Alicia, kau baik-baik saja? Apakah ada sesuatu?" tegurnya. Sepertinya Erico cukup mengenali gerak-gerik wanita itu karena terlihat resah sedaritadi. "Apakah kau tidak nyaman?"
"Tidak! Tidak sama sekali!" pekiknya dan terkejut dengan suaranya yang meninggi. Ally pun berdeham dan menarik senyum. "Aku hanya baru datang ke bar seperti ini dan sejauh ini semuanya nampak berjalan lancar. Terima kasih atas bantuannya."
Erico mengangguk dan pamit dari hadapan mereka. Malam ini bar cukup ramai; kau bisa melihat dari arah pintu masuk muda-mudi berdatangan dengan gandengan mereka atau kerumunan, ada juga yang sudah memesan ruang-ruang privat dan didampingi para pengawal bertubuh besar, ada juga yang datang untuk berdansa atau sekadar mengobrol dengan bartender botak di sana. Ally agak tersesat, yah, sedikit. Tapi dia menerima nampan serta note kecil lengkap dengan bolpoin untuk mencatat pesanan para pengunjung itu. Biasanya mereka ingin minuman-minuman beralkohol yang dijual bebas di sini atau juga makanan. Semuanya nampak aman.
.
.
Aku akan pulang pukul dua hari ini. Jaga diri kalian. Kalau kau lapar, aku sudah menyiapkan makanan di meja. Aku juga sudah menstok ASIku di boks khusus di kamar, kau bisa berikan kepada Luca jika sudah bangun dan hendak minum obat. Ally menaruh ponselnya dan mengatur mode getar agar ia bisa sadar jika ada pesan masuk. Apalagi hentakan musik di sini akan sangat mengagetkan jika mendadak Esme menelepon dan Ally berusaha agar tidak sibuk sendiri apalagi ada banyak minuman yang harus dia bawa dengan nampan ke sana dan kemari.
"Ally!"
"Ya?"
"Bantu kami di sini," sahut Mary, satu dari sekian pelayan senior yang nampak kerepotan dengan gelas-gelas bekas itu.
Ally langsung sigap membantunya, menaruh hati-hati di nampannya yang kosong untuk dibawa ke pantry belakang. Benar saja, meningkat malam tempat ini serupa pasar dan jika saja Ally tidak mengenakan seragam pelayan, sudah pasti dia bisa ditarik kemanapun oleh orang asing. Itu mengerikan!
Ally pun memijat betisnya setelah keluar dari pantry. Satu pelayan laki-laki mendekati untuk memberikan satu note. "Apa?"
"Tolong berikan pesanan pengunjung ini. Aku ada urusan di belakang."
"Oh, oke."
Ini bukan yang pertama.
Ally hitung sudah tiga kali dia terus dikerjai seperti itu—pengunjung ini minta dilayani, pengunjung itu butuh tambahan minuman dan sebagainya oleh seniornya yang jelas-jelas harus bekerja juga, bukan? Dan tidak seharusnya mengandalkannya? Ally mau tidak mau mengabaikan rasa nyeri yang sudah melebar di betisnya, sungguh, berjalan dengan hak setinggi lima senti tidak mudah dan Ally lupa kapan terakhir kali ia mengenakan sepatu berhak layaknya sekarang.
"Tuan d'Alessi."
Satu penjaga menghalangi tubuh Ally dengan cepat. "Maaf, Nona, apa yang mau kau lakukan?"
"Minumannya yakni scotch dan juga dua botol sampanye."
"Tidak—"
Satu pengawal lain sempat mengecek masuk dan keluar lagi. Ia memberikan isyarat kepada keduanya dan pengawal yang tadi menghalangi Ally sontak bergeser. "Silakan, Nona."
"Oh, terima kasih."
Jujur saja, penjaga itu sempat membuat Ally takut apalagi dengan raut kaku bak robot atau suara tegas yang seperti hendak mengomeli orang lain. Ally pun masuk, membawa nampannya lantas berjalan hati-hati. Tempat itu remang-remang, ada cahaya yang menelusup tapi hanya samar. Ketika Ally mencapai meja, ia pun memindahkan minuman-minuman itu di meja penuh uang. Gerakannya agak kaku karena tidak terbiasa melihat tumpukan uang sebanyak itu sedangkan tubuhnya agak panas seperti tengah diperhatikan beberapa pria di sana.
"Silakan." Ia pun bergegas bangkit. Harus cepat pergi. Ini tidak bagus.
"Nona pelayan.."
"Ya?" sahutnya, agak terkejut. "Apakah ada lagi yang Anda butuhkan, Tuan?"
.
.
Dante d'Alessi terbiasa mengunjungi Night & Chill Luxury Bar. Itu jadi semacam jadwal rutin yang dia harus sempatkan di tengah banyak urusan dengan perusahaan dan keluarganya. Jujur saja, Dante tidak pernah menemukan bar ternyaman selain milik Erico tersebut dan datang ke sana sudah seperti "pulang" ke rumah sendiri. Dia akrab dengan kegaduhan, suasana, bahkan sekitar bar tersebut. Tidak peduli sudah berapa banyak bar itu berganti tempat atau merombak interior maupun konsepnya, Dante akan selalu datang. Baik bersama rekan bisnisnya, teman-teman atau kekasihnya.
Malam ini, Dante merasakan hal lain. Setelah dia bertaruh dengan Nico, satu temannya yang sudah ditemani oleh satu perempuan, Dante masih sendirian apalagi Alexis tengah berlibur ke Milan untuk proyek modelling barunya. Dante harus puas datang sendirian, meskipun dia bisa saja menyewa banyak perempuan, dia hanya tidak mau Alexis mengancam bahkan memutuskannya.
Perempuan pelayan itu.
Dari cara berjalan, cara dia menaruh minuman bahkan mengangkat suara, Dante jadi terus memperhatikannya. Anak baru? Sejak kapan? "Nona, siapa namamu?"
"Alicia .. Alicia Hawton."
"Oh, oke. Apakah kau sibuk?"
Ally gelagapan di tempat. Tentu saja dia sibuk! Ada banyak pengunjung dan ada banyak senior yang senang memerintah sesuka hati! "Yah, begitulah. Apakah ada hal—"
"Dante, kau menakutinya," celetuk Nico kemudian tersenyum. "Jangan bermain-main, kau tidak pernah tertarik dengan pelayan Erico."
Dante terkekeh. "Siapa bilang aku tertarik?"
Ally merasa rahangnya mengatup. Diperhatikan sosok dengan mata hitam serta wajah tampan itu. Sejujurnya, Ally makin gugup karena menjadi pusat perhatian dan sejenak, dia ingin berlari cepat dari tempat itu. Instinya terpancing hingga Ally bisa saja angkat kaki cepat-cepat.
"Nona.."
"Saya harus pamit."
Dante cepat bangkit dan menahan tangan Ally.
"Tuan!"
"Aku hanya ingin mengobrol saja. Mengapa kau sangat ketakutan?"
Mengapa? Ally mengertakkan giginya dan menarik tangannya cepat. Ia menunduk, mengusap lengannya sendiri dan bekas panas masih terasa di sana. Bukan karena pria ini menyakitinya tapi Ally juga bingung dengan sensasi mendadak ini. "Aku.. tidak.. maksudku.."
"Kau sangat cantik, kau tahu itu? Apakah kau masih sendirian?" Dante bertanya dengan lugas. Dante tidak pernah tahu dia bisa terdorong untuk mendekat dan sefrontal itu dan Dante tahu, hasrat ini asing untuknya.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Breaking White (2017)
RomanceJared Hawton sudah menikah dengan Alicia Fritz. Segalanya berjalan baik hingga Jared mendapatkan pekerjaan di Maine untuk menjadi seorang bodyguard. Pada awalnya, mereka pikir hal itu menjadi langkah yang menakjubkan; Jared bisa mendukung kebutuhan...