WARNING: Bagian ini mengandung kekerasan seksual, harap membaca dengan bijak.
***
Kondisi Antony memburuk. Kakaknya itu selalu murung, bahkan jarang berada di rumah. Padahal orangtua mereka sedang pergi untuk bulan madu yang kedua dan Adrienne hanya seorang diri di rumah. Antony belum pernah mengabaikan Adrienne seperti itu, tetapi sekali lagi, Adrienne mencoba memahaminya. Antony sedang mengalami masa sulit.
"Tidak apa-apa, Tasha," ucap Adrienne pada ponselnya yang tersambung dengan sahabatnya. "Aku bisa mengatasinya. Kita sedang membicarakan Antony Callandrie di sini. Ia adalah kakakku. Pria terbaik kedua setelah ayahku. Semua akan baik-baik saja."
Di seberang telepon, Tasha menghela napas. "Aku tahu. Namun, kau tidak harus sendirian di dalam rumah besarmu itu. Kau bisa menginap di rumahku," sahut Tasha. Sekali lagi, berusaha membujuk agar Adrienne mengungsi sementara ke rumahnya. Toh, jarak antara rumah mereka hanya beberapa blok.
Adrienne menggeleng sebelum sadar sahabatnya tidak bisa melihatnya. "Aku baik-baik saja. Lagi pula aku harus menunggu Antony. Tadi siang Calvert Ellegra datang dan mencarinya. Aku tahu mereka memiliki proyek penting untuk perlombaan film itu. Aku tidak bisa membiarkan Antony merusak impiannya."
"Baiklah," desah Tasha. Ada jeda sesaat, lalu dengan nada cerianya yang biasa, Tasha melanjutkan, "Bagaimana persiapanmu untuk kuliah? Ibuku begitu sibuk menyuruhku membeli koleksi pakaian baru. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Demi Tuhan, kita ini kuliah di jurusan teknik. Apa gunanya memiliki pakaian bagus dan menarik? Aku yakin kita akan lebih nyaman mengenakan kaus dan jeans. Apalagi Indonesia adalah negara yang cukup konvensional. Ah, ya, aku begitu iri denganmu yang memiliki darah Indonesia asli. Aku yakin kau akan tampak cantik, sedangkan aku terlihat aneh di sana."
Adrienne tertawa dan hingga satu jam kemudian, mereka tetap membicarakan topik seputar kuliah. Antusiasme begitu menyelimuti mereka, sebab takdir seakan mendukung persahabatan keduanya; Adrienne dan Tasha diterima di universitas yang sama, juga jurusan sama. Semuanya akan berjalan dengan menyenangkan. Adrienne sudah tidak sabar untuk kembali ke negara yang menjadi kampung halamannya itu.
Entah mengapa, di saat teman-temannya berlomba untuk masuk ke universitas ternama dunia, Adrienne justru sangat ingin kembali ke Indonesia. Meski tumbuh besar di New York, Adrienne tetap ingin mengenal negara tempat ayah kandungnya berasal. Adrienne berpikir dengan begitu, ia bisa lebih dekat dengan ayahnya yang meninggal kala ia masih dalam kandungan. Ibunya tidak pernah membicarakan ayahnya, hanya memberi sebuah album foto berisi perjalanan cinta mereka.
Di tengah obrolan, Adrienne mendengar suara pintu dibuka. Pintu yang berada tepat di depan pintu kamarnya. Pintu kamar Anthony.
"Sepertinya Antony sudah pulang. Aku akan menghubungimu lagi besok. Sampai jumpa, Tasha," ucap Adrienne tergesa. Tanpa menunggu respons sahabatnya, ia memutuskan sambungan.
Adrienne turun dari tempat tidur, kemudian berjalan menuju kamar Antony. Kamar yang dicat putih gading itu gelap, walau pintunya terbuka. Perlahan, Adrienne melangkah masuk, menemukan Antony duduk menyandar pada kaki ranjang dengan kepala menunduk.
"Antony, apa yang terjadi?" tanya Adrienne seraya berlutut di hadapan Antony.
Ketika mencium bau yang aneh, Adrienne kembali bertanya, "Kau mabuk?"
Antony tetap tidak menjawab. Ia justru mengulurkan kedua tangan dan memeluk Adrienne erat. Napasnya semakin berat, lalu Antony bergumam lirih.
"Mengapa kau melakukan itu padaku, Katie? Aku mencintaimu. Tidak bisakah kau melihatnya? Aku mencintaimu...."
"Antony, lepaskan aku," pinta Adrienne seraya menarik mundur tubuhnya.
Namun, Antony yang telah berada di bawah kontrol alkohol tidak bisa memahami permintaan Adrienne. Ia terus memeluk gadis itu dan menganggapnya sebagai Katie. Usaha Adrienne untuk melepaskan diri semakin keras, ia bahkan mengerahkan seluruh tenaga, tetapi apalah dayanya melawan Antony yang memiliki tubuh dua kali lebih besar dibanding dirinya. Adrienne menjerit ketika Antony menariknya ke tempat tidur, lalu menindihnya.
"Kau adalah milikku, Katie! Kau tidak akan bisa pergi dariku! Aku mencintaimu!" Antony berkata penuh penekanan.
Jeritan Adrienne bertambah keras, berharap salah satu asisten rumah tangganya mendengar. Namun, rumahnya begitu besar, nyaris mustahil suaranya mampu mencapai bagian belakang lantai dasar rumahnya. Adrienne terus meronta, menendang, juga memukul. Sementara Antony merobek pakaian tidurnya hingga menampilkan kulit Adrienne, lalu meredam jeritan gadis itu dengan mulutnya.
Air mata Adrienne mengalir tak tertahan. Semua ini tidak mungkin terjadi. Namun, rasa panik yang menyeruak di dadanya begitu nyata. Semua ini bukanlah mimpi. Kegelapan di sekitarnya menelan Adrienne, membungkusnya dalam teror sempurna sementara tubuhnya tak berdaya. Rasa jijik Adrienne bertambah semakin besar, tetapi rasa sakit menenggelamkan segalanya. Adrienne berteriak putus asa, tahu bahwa pada titik ini, seluruh usahnya sia-sia. Bagian sensitifnya diterjang begitu keras hingga melumpuhkan sarafnya, membuat gadis itu menahan napas.
Seakan tak puas menyiksanya, ia merasa waktu berjalan begitu lama. Amat lama. Rasa sakit kian tak tertanggung. Adrienne merasa lebih baik mati saat itu juga. Namun, rasa perih akibat gerakan kasar di bawah sana menjaga Adrienne dalam kesadarannya. Ketika Adrienne merasa semuanya tidak akan bertambah buruk, cairan hangat menyembur di dalam tubuhnya. Menambah sayatan dalam hatinya.
Adrienne menangis dengan tubuh membeku, berharap kegelapan akan menenggelamkan dirinyanya seutuhnya. Agar ia, Adrienne Callandrie, tak harus melihat mentari lagi.
***
Aku tahu, aku tahu, hari Senin ini sudah cukup melelahkan tanpa perlu ditambah bab yang bikin mata perih ini T_T cuma sebelum bahagia, kita memang harus sedih dulu, kan? *plak
Lanjut kapan nih bab selanjutnya? Sudah aku masukin draf loh hehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)
RomanceAdrienne Callandrie memiliki segalanya: cantik, kaya, dan dipuja semua orang. Ia terbiasa menekuk lutut para pria, sampai akhirnya pria bermata hijau itu datang. Sejak awal, Adrienne berusaha menghindar, karena pria itu adalah cerminan sempurna atas...