New York City, 2010
Javier melangkah menyusuri lorong kampusnya dengan satu tangan memegang partitur, sementara tangan lainnya menempelkan ponsel ke telinga. Libur akhir semester yang semakin dekat membuat kesibukan di dalam kampus meningkat, sehingga Javier harus ekstra hati-hati dalam melangkah. Juga harus ekstra berusaha untuk mendengarkan ocehan adiknya di ujung sambungan.
"Javier? Kau mendengarku? Astaga, aku mulai bertanya-tanya apakah sebutan jenius yang kau sandang itu benar-benar nyata. Kau selalu bersikap menyebalkan terhadapku!" seru Hester kesal.
Menahan lidahnya yang nyaris meledek adiknya berlebihan, Javier membalas, "Aku mendengarmu, Hester. Kau akan berulang tahun untuk yang kedelapan belas. Tentu saja aku akan datang. Bahkan meski profesorku melarang, aku akan tetap datang. Kau dengar itu? Meski aku baru bisa datang setelah Kakek pergi, aku akan tetap datang. Juga ketika badai salju hebat mengadang, aku pasti datang. Tenang saja, adik kecilku." Kali ini Javier tidak bisa menahan diri dan menyuarakan nama panggilan yang pasti akan membuat adiknya meradang.
Benar saja. Hester mengerang, lalu menyuarakan protes, "Aku hampir delapan belas tahun! Berhenti memanggilku adik kecil! Kau sama saja seperti Ayah yang selalu memanggilku gadis kecilnya!"
Javier tertawa. "Kau akan selalu menjadi gadis kecil kami, Hesterly Keane. Terima saja takdirmu."
"Lupakan topik itu," tukas gadis itu sambil bersungut-sungut. "Bagaimana persiapan untuk album perdanamu? Aku akan sangat senang mendengar perkembangannya. Teman-temanku bahkan mulai bertanya-tanya kapan mereka bisa membelinya. Ah, ya, kau harus bermain piano semalam suntuk di pesta ulang tahunku! Teman-temanku akan histeris!" Hester menutup idenya penuh semangat.
Javier menggeleng. Bisa membayangkan ekspresi adiknya ketika diserang perasaan menggebu-gebu. Di antara mereka berdua, Hester memang lebih bebas berekspresi. Ia bahkan tidak segan melakukan hal-hal baru dan spontan, tabiat yang beberapa kali membuat Javier didera rasa panik tak terkira. Siapa sangka, menjaga seorang gadis remaja bisa menjadi serumit itu?
"Sejauh ini semuanya lancar," jawab Javier kemudian. Dia berhenti sesaat untuk meresapi udara yang senja ini terasa sejuk. Sepertinya sudah lama sejak kali terakhir Javier memiliki kesempatan untuk menikmati cuaca bagus. "Sekarang aku harus menemui dosen pembimbingku untuk tugas akhir. Aku akan menghubungimu nanti untuk cerita lengkapnya. Sampai jumpa, Hester."
***
New York City, 2012
Javier menatap pintu ganda berukiran rumit di hadapannya. Di balik pintu itu terdapat ruang kerja Xander Keane, yang terkenal dengan sebutan Ruang Keadilan di antara para anggota keluarga Keane. Orang yang dipanggil masuk ke dalam sana pastilah orang yang telah melanggar aturan. Dan, orang yang saat ini terkurung di sana adalah Faxson Keane.
Musim panas sedang menyelimuti kota New York dan dua tahun telah berlalu sejak Javier lulus dari Julliard. Pelanggaran yang dilakukan oleh ayahnya sudah pasti bukan disebabkan oleh Javier, melainkan....
"Maafkan aku, Javier. Aku benar-benar menyesal. Aku tidak bermaksud membawamu dan Ayah ke dalam masalah ini," bisik Hester sedih.
Javier menggenggam tangan Hester, mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahkan ketika ia sendiri tidak diliputi keyakinan itu, ia akan mengerahkan segenap daya dan upaya untuk menenangkan adiknya. Juga memastikan bahwa benar segalanya akan baik-baik saja.
"Aku tahu kau telah berusaha, Hester. Bukan salahmu jika salah satu penari hebat dunia terpesona padamu dan merekrutmu menjadi murid pribadinya, lalu mendaftarkanmu di Julliard. Kita akan memikirkan jalan keluar. Semua akan baik-baik saja, Hester," sahut Javier sungguh-sungguh.
Hester mengangguk, bersamaan dengan dibukanya pintu ganda itu. Faxson Keane menghampiri kedua anaknya dan mengajak mereka pulang. Perjalanan pulang hanya diisi oleh keheningan, hingga akhirnya mereka sampai di rumah. Hester tidak lagi bisa menahannya. Ia tahu ada konsekuensi atas pelanggaran yang telah dilakukannya.
"Ayah, apa yang dikatakan Kakek?" tanya Hester gugup.
Faxson menghentikan langkah dan berbalik menatap kedua anaknya.
"Ia meminta agar Javier membatalkan konser keliling dunianya," jawab Faxson.
"Apa? Tidak!" seru Hester seketika. Wajahnya bahkan berubah pucat. Tidak mungkin ia merenggut cita-cita kakaknya dengan cara sekejam ini.
Javier menenangkan Hester, lalu berkata, "Tidak apa-apa. Aku bisa mengusahakannya lain waktu. Lagi pula aku baru saja menyelesaikan konser keliling Eropa. Tidak ada salahnya berlibur untuk sementara."
Penjelasan Javier mengandung kejujuran tak terbantahkan. Karena sungguh, tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak akan dilakukan Javier untuk adiknya. Bagi Javier, yang terpenting hanyalah kebahagiaan Hester. Dan, ia bisa melihatnya dengan sangat jelas ketika adiknya menari. Kini, kesempatan besar terhampar di hadapan Hester. Tentu saja Javier tidak akan menjadi batu penghalang. Tidak ketika beberapa tahun lalu adiknya telah berkorban demi hal serupa untuknya. Untuk impiannya.
"Javier benar, Hester," ujar Faxson. "Selain itu, kau bisa meneruskan mimpimu. Kakek hanya meminta Javier untuk membatalkan konsernya, ia tidak mengatakan apa pun tentang dirimu yang akan masuk Julliard."
Hester meragu, tetapi ia tak bisa menyembunyikan secercah nada berharap dalam suaranya.
"Benarkah itu? Aku boleh berhenti sekolah bisnis dan menjadi penari?"
Faxson Keane mengangguk dan Hester menghambur memeluknya. Setelah itu, Hester mulai melakukan panggilan dan mengurus segalanya, meninggalkan Javier dan sang ayah berdiri di ruang tamu. Javier menyadari dengan perasaan ganjil bahwa tatapan ayahnya terlalu sendu untuk saat bahagia Hester.
"Apakah semua baik-baik saja, Ayah?" tanya Javier memastikan.
"Ya. Semua baik-baik saja, Javier," jawab Faxson.
Namun, Javier tahu, jawaban itu adalah sebuah kebohongan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)
RomansaAdrienne Callandrie memiliki segalanya: cantik, kaya, dan dipuja semua orang. Ia terbiasa menekuk lutut para pria, sampai akhirnya pria bermata hijau itu datang. Sejak awal, Adrienne berusaha menghindar, karena pria itu adalah cerminan sempurna atas...