Pertemuan Tengah Malam

424 56 3
                                    

"Demi Tuhan, Adrienne! Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Kau baru saja menghancurkan hidup seorang gadis demi kegundahan hatimu semata! Tidak bisakah kau memilih pria lain? Astaga, ada puluhan pria di bar itu, Adrienne!" Tashamenjerit di seberang telepon.

Adrienne tetap berkonsentrasi pada jalan di hadapannya. Suara Tasha menggema jelas di telinganya, tetapi ia tidak peduli. Meski malas mendengar omelan Tasha, Adrienne tidak bisa mematikan sambungan telepon karena Tasha akan murka. Dan percayalah, Tasha yang murka jauh lebih berbahaya daripada induk beruang yang mengamuk. Adrienne sudah pernah melihatnya.

"Berapa kali lagi harus kukatakan padamu bahwa aku tidak tahu ia telah bertunangan?" sahut Adrienne datar.

"Seharusnya kau bertanya sebelum mulai memperdaya pria itu di bawahmu! Jangan mencoba membela diri, Adrienne. Aku melihat apa yang kau lakukan. Memang pria itu yang menggodamu, tetapi kau memberinya kesempatan. Kau juga bersalah dalam hal ini, kau tahu?"

"Aku tahu, Tasha. Sungguh." Adrienne mendesah lelah. "Lagi pula itu hanya sebuah ciuman. Tidak berarti apa-apa. Bisakah aku kembali menyetir dengan konsentrasi penuh? Kau bisa melanjutkan omelanmu besok."

Tasha pun menghela napas. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud memarahimu. Kau tahu aku hanya terlalu mendramatisir keadaan kadang-kadang. Hati-hati, Adrienne. Dan jangan berhenti di bar mana pun. Sampai jumpa."

Adrienne melepas earphone bersama embusan napas panjang. Titik-titik air mulai membasahi kaca mobilnya dan Adrienne mengernyitkan kening. Ini sudah tengah malam. Meski tahu bahwa negara beriklim tropis ini suka menurunkan hujan seenaknya, Adrienne tidak berharap mendapatkan hujan kala ia berada di jalan bebas hambatan seperti ini. Ketika hujan turun semakin deras, Adrienne kesulitan melihat jalan di depannya. Seakan kesialan tak henti menghampirinya, mobil Adrienne berhenti secara tiba-tiba.

"Are you fucking kidding me?" geram Adrienne.

Gadis itu bergegas keluar dari mobil, melihat ke arah empat roda bannya yang baik-baik saja, lalu membuka kap. Tidak ada yang tampak aneh bagi Adrienne, tentu saja, karena ia benar-benar buta mengenai mesin. Selama ini, ia selalu menghubungi montir andalannya untuk masalah servis. Mobilnya belum pernah mengalami mogok seperti ini. Menilik usia pakainya yang belum setahun lamanya, seharusnya mobil itu tidak rusak secara tiba-tiba.

Mengedarkan pandangan, Adrienne menyadari suasana di sekelilingnya sangat sepi. Hanya ada beberapa mobil yang melewatinya, itu pun dalam jangka waktu yang lama. Ketika melihat penunjuk jalan yang terpampang di atasnya, Adrienne ternganga. Teringat bahwa ia mengambil rute memutar di jalan bebas hambatan ini setelah keluar dari bar tadi. Ia hampir mencapai Kota Bogor sementara apartemennya berada di Jakarta Pusat. Perjalanannya masih jauh, sementarahari sudah hampir menjelang pagi.

"Oh, tidak...." bisik Adrienne.

Air hujan kini membasahinya sempurna. Tak menyisakan sedikit pun celah. Gaun hitamnya melekat hingga menyerupai kulit kedua dan Adrienne memejamkan mata. Ia harus bisa mencari cara untuk kembali ke apartemen secepatnya. Ia tidak boleh panik. Ia tidak akan panik.

Namun, Adrienne takut.

Kegelapan adalah hal yang amat dibenci Adrienne. Bayang-bayang seakan bersiap memangsanya. Membawanya menuju mimpi buruk tak berkesudahan.

"Adrienne?"

Adrienne membalikkan tubuh seketika. Terbelalak saat melihat sesosok tubuh tegap dengan wajah rupawan yang tadi siang ditinggalkannya.

Javier Keane.

"Kau baik-baik saja?" tanya Javier seraya menghampiri Adrienne. Payung hitam di tangannya kini terulur untuk memayungi Adrienne.

"Mobilku mogok," jawab Adrienne. Tak peduli jika jawabannya tidak berhubungan dengan pertanyaan Javier.

Pria itu melihat mobil Adrienne sekilas, lalu berkata, "Ambil barang-barangmu. Aku akan mengantarmu."

Adrienne mengikuti perintah Javier, lebih karena terpaksa. Kepalanya mulai berdenyut dan suka atau tidak, Adrienne harus mengakui bahwa hanya Javier yang dapat menolongnya saat ini. Setidaknya Adrienne tahu Javier tidak akan menyakitinya.

"Di mana rumahmu?" tanya Javier seraya menyalakan pemanas mobil.

Adrienne menggosok kedua telapak tangannya, menggumam terima kasih ketika Javier menyampirkan jas ke pangkuannya, lalu memberitahu alamat apartemennya.

"Jaraknya hampir dua jam dari sini. Apa yang kau lakukan di daerah ini, Adrienne?" tanya Javier bingung.

"Aku tidak tahu," jawab Adrienne pelan. "Hanya menjalankan mobilku ke sembarang arah."

Javier menggelengkan kepala. Gadis di sisinya ini sungguh tidak bisa ditebak. Siang tadi ia ditinggal begitu saja entah atas alasan apa dan kini gadis itu terdampar di sisi berseberangan dari tempat tinggalnya dengan alasan tidak tahu pula. Apa yang sebenarnya terjadi pada Adrienne?

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang