Menjemput Kenangan

375 58 1
                                    

Adrienne menghentikan mobilnya di depan sebuah kedai kopi.

Kakinya terayun pelan memasuki bangunan bernuansa cokelat tersebut. Di depan kasir, ia memesan segelas cappucino latte dengan ekstra krim, lalu memilih bangku di sudut kiri. Persis bersebelahan dengan jendela. Sepasang matanya memperhatikan taman kanak-kanak di seberang jalan dengan tatapan sarat kerinduan.

Tiba-tiba saja hari ini Adrienne merasa lelah. Setelah menyelesaikan seluruh pekerjaannya, ia segera melajukan mobil ke kedai kopi ini ini. Adrienne bahkan membatalkan janji temunya dengan Javier dan berbohong dengan mengatakan bahwa ia memiliki rapat mendadak. Sesungguhnya, ia benci bersikap tidak profesional. Namun, untuk hari ini saja. Ia hanya membutuhkan satu hari ini saja untuk berhenti berpura-pura kuat.

Ia merindukan seseorang. Meski bahkan kenangannya saja tidak pernah menjadi miliknya.

Adrienne larut dalam lamunan, hingga seseorang menarik kursi dan duduk di hadapannya. Tersentak, gadis itumendongak dan terbelalak ketika menemukan Javier tersenyum menatapnya dengan kedua alis terangkat.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Adrienne. Ia berusaha keras menutupi rasa terkejut juga malu karena tertangkap basah telah berbohong.

"Minum kopi," jawab Javier tenang seraya menunjuk gelasnya.

Adrienne tidak tahu harus berkata apa, sehingga ia menyuarakan pertanyaan pertama yang melintasi benaknya.

"Di mana sopirmu? Tidakkah kau mengajaknya masuk?"

Javier berdeham, terlihat berusaha keras menahan tawa, lalu menjawab, "Mungkin kau lupa, tetapi aku sudah mendapat izin untuk mengemudi di negara ini. Aku mendapatkannya dua hari yang lalu, hari di mana kau bertemu denganku di depan gerbang masuk kantormu dan kau hampir menabrakku dari belakang."

Adrienne menunduk dan merutuki kebodohannya. Berapa kali ia harus mempermalukan diri di depan pria ini? Sungguh, Adrienne tidak pernah bersikap sekonyol ini sebelumnya. Akhirnya, gadis itu memilih diam dan kembali memandangi taman kanak-kanak di seberang sana. Berharap tamu tak diundang yang menghuni kursi di depannya segera hengkang.

Sementara Javier meminum kopinya, masih tetap dengan mata tertuju kepada Adrienne. Javier memperhatikan gadis itu bahkan sejak ia belum memasuki kedai kopi ini. Meski bingung karena Adrienne membohonginya, Javier memutuskan untuk tidak bertanya setelah melihat tatapan sendu dalam mata cokelat terang gadis itu. Javier terus menatap Adrienne, hingga akhirnya bisa sedikit menebak alasan di balik tingkah laku ganjil Adrienne hari ini.

Javier berdiri, mengulurkan tangannya kepada Adrienne.

"Ayo, kita pergi ke seberang," ajak pria itu.

"Untuk apa?" tanya Adrienne curiga.

Senyum Javier terulas. "Aku ingin menunjukkan sesuatu. Tenang saja, aku tidak akan menggigitmu. Kau tahu, aku tidak suka memakan gadis pecandu kopi manis."

Adrienne mengabaikan uluran tangan Javier, tetapi mengikuti pria itu menuju pintu keluar. Beberapa gadis mengikuti Javier dengan tatapan mata, bahkan ada yang mengadang langkahnya dan menawarkan nomor telepon secara terang-terangan, tetapi Javier hanya tersenyum sopan. Pria itu menolak segala perhatian di sekitarnya tanpa terkesan angkuh, yang mana membuat para gadis itu semakin gemas melihatnya.

Adrienne memutar mata pada gadis-gadis itu—yang kini memelototinya dengan terang-terangan. Namun, Adrienne tidak bisa menyalahkan mereka, karena melihat Javier yang begitu tampan dan maskulin, pastinya merusak pertahanan setiap makhluk hidup yang memiliki aset 'V' di tubuhnya. Javier merupakan penjelmaan sempurna dari mimpi para gadis.

Begitu sampai di depan gerbang taman kanak-kanak yang sejak tadi menjadi tumpuan perhatian Adrienne, mereka diam. Hanya berdiri menatap ke dalam melalui sela-sela jeruji bersama embusan angin.

"Kau menyukai taman kanak-kanak?" tanya Javier.

Awalnya Adrienne hanya mematung, bahkan napasnya terasa berat. Namun, perlahan ia mengangguk.

"Kau ingin masuk ke dalam?" tanya Javier lagi.

Adrienne menatap Javier penuh keraguan. Meski samar, Javier tahu fokus Adrienne saat ini bukan kepada dirinya.

Javier menghampiri petugas keamanan di pos jaga sebelah kiri gerbang, mengucapkan beberapa kalimat bahasa Indonesia terpatah-patah, lalu tersenyum tatkala dipersilakan masuk. Dalam hati, Javier membuat catatan untuk mengucapkan terima kasih kepada adik kecilnya yang sudah mengajarinya bahasa Indonesia. Satu minggu yang lalu Hester datang ke Jakarta dan mengatakan akan menemani Javier untuk menyesuaikan diri di negara ini. Hal itu adalah sebuah tindakan sederhana yang membuat Javier bersyukur karena adiknya sedang berusaha untuk kembali seperti sedia kala.

"Adrienne, ayo," panggil Javier.

Lagi-lagi Adrienne mengikuti langkah Javier, membiarkan dirinya berada dalam ruang penuh gaya yang mengombang-ambing. Adrienne menyentuh ayunan dengan jemarinya yang terasa kebas. Setelah bertahun-tahun hanya melihat taman kanak-kanak ini dari jauh, akhirnya Adrienne dapat masuk ke dalam. Dapat melihat kembali bagian terpenting darinya, yang hidup menjadi kenangan berharganya.

Javier memperhatikan Adrienne lekat. Segala ekspresi yang melintas di wajah gadis itu tak ada yang dilewatkannya. Bahkan terekam jelas. Pun ketika Adrienne duduk di ayunan, lalu seulas senyum tipis penuh kerinduan mengembang di bibir merah muda sempurnanya. Javier merasa melihat sesuatu yang amat indah. Lebih indah daripada matahari terbit yang selalu dipujanya.

"Kau hanya harus menghampirinya, Adrienne," ucap Javier.

Adrienne menatap pria itu dengan pandangan bertanya.

"Ketika kau melihat sesuatu yang kau inginkan, kau harus menghampirinya. Karena dengan itu kau akan bahagia," jelas Javier ringan.

Napas Adrienne tersekat dan wajahnya memucat. Gadis itu segera bangkit berdiri. Lalu dengan langkah setengah berlari, Adrienne meninggalkan Javier yang memanggilnya dari belakang.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang