Erangan panjang terlepas dari sepasang bibir ranum Adrienne. Sinar matahari yang masuk melalui celah tirai menyinarinya dan menyeretnya untuk terjaga.
Adrienne benci matahari, apalagi sinar pertamanya setelah malam panjang. Karena matahari membuat ia merasa beban yang memberati bahunya semakin tak tertahankan. Matahari membawa fakta memilukan bahwa Adrienne sesungguhnya tidak berhak bahkan sekadar melihat warna cerahnya. Adrienne begitu kelam, tenggelam bersama lukanya.
Suara klakson terdengar riuh di bawah sana. Hari baru saja menyentuh pagi, tetapi kota Jakarta telah diselimutiberbagai kesibukan. Kota yang begitu ramai dan menjadi pusat berbagai kegiatan vital negara ini. Sang ibu kota negara.
Satu lirikan singkat pada penunjuk tanggal di ponsel menambah rasa bersalah Adrienne. Ia telah melewatkan kunjungannya ke panti asuhan kemarin. Ia membiarkan satu-satunya kegiatan berharganya terenggut demi menghindarisatu senyum itu. Senyum yang mengoyak hatinya.
Satu minggu yang lalu ketika mengunjungi panti asuhan, Adrienne bertemu dengan seorang pria. Tidak bisa dikatakan bertemu, sebab mereka hanya bertukar pandang selama beberapa detik. Namun, beberapa detik itu berhasil mencuri napasnya. Begitu melihat pria itu, hanya satu kata yang terngiang dalam benak Adrienne; menawan. Pria itu amat tampan hingga terlihat menawan.
Kemudian senyum terkutuk itu terulas. Senyum yang mengingatkan Adrienne kepada seseorang yang tak ingin diingatnya lagi seumur hidup. Senyum yang terlalu banyak menerakan luka, bahkan hingga saat ini, kala satu dekadeberlalu.
Sebelum otaknya memutar ulang kengerian hidupnya, Adrienne beranjak menuju kantor. Seperti biasa, hari Senin menjadi hari pembuka untuk segala kesibukan. Khusus bagi Adrienne, ia harus berkerja lebih keras karena ia harus menyelesaikan proposal kerja sama dengan Keane Property Company siang ini, lalu segera mengajukannya pada pihak yang bersangkutan.
Kerja sama ini sangat penting bagi Adrienne, karena perusahaan yang dipimpinnya—buah dari kerja kerasnya selama beberapa tahun terakhir—tengah berada di ambang kehancuran. Korupsi besar-besaran yang baru terjadi di perusahaannya membuat Adrienne tidak memiliki pilihan selain mengusahakan seluruh kemampuannya untuk menarik perusahaan lain bekerja sama dengannya.
Sesungguhnya, Adrienne tidak perlu berjuang sekeras itu. Seluruh perwakilan dari perusahaan yang akan bekerja sama dengannya selalu bertekuk lutut di hadapannya. Meski benci mengakuinya, Adrienne tahu ia memiliki kemampuan untuk memanipulasi para pria bodoh yang selalu bersikap terlalu manis kepadanya. Ya, ia tahu apa yang mereka inginkan. Namun, Adrienne tidak tertarik. Hal terakhir yang dibutuhkannya adalah memperumit pekerjaan yang selama ini menjadi pelariannya. Tempat ia berlindung dari segala sakit dan tekanan masa lalu.
Sejak awal kariernya, setiap pria berusaha menundukkannya dan selalu berakhir dengan keberhasilan Adrienne menundukkan mereka, bahkan tanpa perlu melakukan apa pun sebagai gantinya. Jika sudah seperti itu, Adrienne hanya akan berjalan pergi dengan dagu terangkat tinggi.
Adrienne muak terhadap pria. Mereka adalah sekumpulan manusia yang kerap menganggap diri mereka hebat. Mereka hanya mampu menyakiti, bahkan terhadap sesuatu yang berharga bagi mereka. Dan, Adrienne bersumpah tidak akan pernah membiarkan hidupnya didominasi oleh pria. Cukup satu kali ia memercayai orang yang salah.
Tidak ada lagi. Tidak akan pernah ada yang lain.
"Selamat pagi, Adrienne," sapa Tasha. "Aku sudah meletakkan kopi dengan empat sendok gula juga dua sendok krim di mejamu. Seperti yang kau minta. Namun, minggu depan adalah giliranmu. Lagi pula, mengapa kau tidak juga membuka hati pada kedai kopi? Segalanya akan lebih praktis jika kau membeli kopi pagimu di sana."
Merespons gerutuan sahabatnya, Adrienne hanya tersenyum. Ia memasuki ruangannya yang berwarna kuning gading diikuti Tasha yang membacakan jadwalnya, lalu menyesap kopi manisnya dengan helaan napas lega. Lukisan-lukisan yang memenuhi dinding menjadi saksi bisu seluruh kegiatan Adrienne di ruangan itu. Ruangan yang menjadi tempat persembunyiannya.
"Adrienne, bagaimana menurutmu?" tanya Tasha.
Adrienne tersentak. "Apa?"
Mendesah, Tasha bersedekap dan menatap sahabatnya lekat. "Apa yang terjadi? Mengapa kau tiba-tiba kehilangan fokus?"
Tak ingin membuat sahabatnya cemas, Adrienne buru-buru mengurai tawa ringan. "Aku hanya kurang tidur. Setelah kopiku memberikan reaksi seharusnya, aku akan kembali fokus."
"Seseorang membuatmu terjaga sepanjang malam, Addy?" goda Tasha dengan dua alis terangkat tinggi.
Kali ini Adrienne tidak perlu berusaha, sebab tawa menyembur begitu saja dari bibirnya. Apalagi mendengar nama panggilan khusus yang diberikan Tasha untuknya. Terkadang, saat Tasha memanggilnya Addy, Adrienne merasa kembali menjadi gadis kecil. Seseorang yang lucu dan berhak mendapat kisah cinta seindah dongeng, lalu bahagia selamanya.
Sayangnya, ia tidak pernah bisa lupa bahwa segala kemungkinan itu hancur tanpa sisa sepuluh tahun lalu.
"Kembali pada hal yang kau katakan sebelumnya. Kau meminta pendapatku tentang apa?" tanya Adrienne sambil sekali lagi menyesap asupan kafein. Ia harus lebih mahir mengontrol pikirannya, sebab hal terakhir yang diinginkannya adalah kembali jatuh ke jurang gelap.
Tasha mengulangi perkataannya. "Kepala Bagian Keuangan, Rita Indira, mengajukan cuti selama dua minggu. Bagaimana menurutmu?"
"Apakah sudah disetujui?"
"Ya, sudah. Rita Indira memang memiliki hak cuti selama dua minggu untuk tahun ini."
"Lalu mengapa kau harus menanyakan pendapatku?" balas Adrienne bingung.
Tasha ternganga. "Adrienne, tidakkah kau mengerti? Kau terlalu memercayai wanita tua itu. Kasus korupsi ini harus segera dituntaskan. Mengapa kau tidak mulai menyelidiki siapa pelakunya?"
Adrienne mengetukkan jemari di atas meja, lalu mendesah dan berkata, "Kau benar. Kondisi keuangan perusahaan kita sangat mengkhawatirkan."
"Apa kau sudah mempertimbangkan usulku?" tanya Tasha kemudian.
Adrienne membeku. Ia mengingat usul Tasha, tetapi tidak merasa mampu melakukannya. Sejak awal, perusahaan yang dipimpinnya itu mendapat sokongan dana dari Via Callandrie—ibu Adrienne. Bahkan hingga beberapa tahun setelah berdiri, perusahaannya masih terus mendapat bantuan. Entah dari sisi keuangan, maupun proyek-proyek yang akhirnya ditangani olehnya—karena Via Callandrie memiliki banyak relasi di Indonesia yang dengan sedikit bujukan bersedia memakai jasa dari perusahaan Adrienne.
Adrienne tidak akan sesukses ini di usia yang bahkan belum mencapai angka 30, jika bukan karena bantuan ibunya, dan ia tahu itu. Namun, Adrienne merasa sudah cukup. Ini adalah waktunya untuk benar-benar menjadi mandiri. Ia tidak bisa selamanya bergantung kepada ibunya.
Menjawab pertanyaan Tasha, Adrienne berkata, "Aku sedang berusaha menawarkan kerja sama dengan Keane Property Company. Aku harap semua berjalan lancar."
Tasha menghela napas panjang. "Aku rasa tidak akan semudah itu. Apakah kau lupa Faxson Keane baru saja meninggal minggu lalu? Kepemimpinan perusahaan itu kini berada di tangan pewarisnya, yang omong-omong, sampai saat ini masih dirahasiakan."
Ponsel Adrienne bergetar menandakan pesan masuk. Dengan gamang Adrienne membaca pesan berisi kabar bahwa ibunya sedang transit di bandara Changi, Singapura. Itu berarti Adrienne akan segera bertemu dengan ibunya. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus menghadapinya.
"Ini akan menjadi hari yang sangat panjang," desah Adrienne.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)
RomanceAdrienne Callandrie memiliki segalanya: cantik, kaya, dan dipuja semua orang. Ia terbiasa menekuk lutut para pria, sampai akhirnya pria bermata hijau itu datang. Sejak awal, Adrienne berusaha menghindar, karena pria itu adalah cerminan sempurna atas...