Pemakaman

317 43 0
                                    

Iring-iringan berpakaian hitam itu mulai meninggalkan pemakaman hingga akhirnya hanya menyisakan tiga orang di sisi makam yang penuh taburan bunga.

Adrienne menatap nanar makam ibunya. Tidak ingin memercayai penglihatannya, tetapi kenyataan berteriak keras hingga mustahil untuk disangkal: dua orang yang Adrienne cintai dalam hidupnya telah pergi dan takkan kembali.

Dan, semua itu adalah kesalahannya.

Adrienne masih membeku dalam dukanya, sehingga ketika ayahnya menghampiri dan mengatakan hal-hal menyakitkan itu, Adrienne tidak merasa sakit.

"Kau adalah bencana dalam hidupku. Kau merenggut semua orang paling berharga dalam hidupku. Kau membuatku terpaksa membencimu, Adrienne. Karena kau menghancurkan segala hal yang kau sentuh," ucap Ryan dengan duka yang tersirat jelas.

Javier menggenggam tangan Adrienne, mencoba memberikan kekuatan. Javier tahu Adrienne sudah cukup menderita tanpa perlu mendengar kalimat tambahan terkutuk itu. Namun, Javier mengerti kondisi kejiwaan Ryan yang saat ini amat terguncang, sehingga meskipun ingin melayangkan tinju, Javier menahan dirinya dan memilih untuk diam. Hanya berdoa sepenuh hati kalimat itu tidak akan meninggalkan luka berkepanjangan bagi Adrienne. Gadis itu sudah memiliki cukup banyak luka.

Ryan pergi dari pemakaman tanpa memandang Adrienne lagi. Meninggalkan Adrienne dan Javier berdiri berteman keheningan di sisi makam.

***

Kau menghancurkan segala hal yang kau sentuh....

Adrienne berbaring menatap langit-langit kamarnya dengan satu kalimat itu terputar ulang terus-menerus dalam benaknya. Kalimat itu merekat kuat. Seakan mempertegas fakta yang selama ini Adrienne sangkal.

Adrienne menatap Javier yang tertidur di sampingnya. Wajah pria itu terlihat lelah, tetapi napasnya yang teratur menenangkan Adrienne. Tanpa sadar air mata Adrienne mengalir.

Tuhan tahu betapa menakjubkan pria itu. Betapa sempurna pria itu untuknya. Pria yang selalu tegar untuk menjadi sandarannya. Pria yang bahkan tetap bertahan setelah mengetahui segala keburukannya. Adrienne bersumpah demi jiwanya, ia tidak akan pernah mampu mencintai pria lain selain Javier Keane.

Adrienne tidak bisa membiarkan dirinya menghancurkan Javier. Ia tidak akan membawa Javier ke dalam hidupnya yang kelam. Sungguh, ia tidak mampu menanggung luka lebih dari ini.

Dan, karena itu, Adrienne harus merelakan Javier.

***

Javier: Baru saja selesai meeting. Aku akan ke apartemenmu sebentar lagi.

Aku merindukanmu. Sampai jumpa.

Javier menyandarkan tubuhnya diiringi helaan napas berat. Bulan ini terasa bagaikan neraka baginya. Kecelakaan yang menimpa Adrienne, dua hari tergelap dalam hidupnya saat Adrienne tidak sadarkan diri, pemakaman ibu Adrienne, dan kini sikap Adrienne yang mengkhawatirkan.

Adrienne kembali melakukan aktivitas seperti biasa setelah satu minggu masa pemulihan intensif. Namun, Javier tahu dengan jelas Adrienne berubah. Gadis itu sangat diam. Sering kali tidak fokus pada kehidupan di sekitarnya. Adrienne seperti membangun dunia lain di dalam benaknya.

Javier sudah melakukan berbagai cara demi menghapus kesedihan Adrienne, karena mungkin dengan itu Adrienne bisa kembali seperti biasa. Bukannya memperlihatkan kemajuan, Javier justru melihat kemunduran. Namun, Javier tidak akan menyerah. Ia akan membuat Adrienne bahagia. Javier tidak akan pergi dari Adrienne.

Pria itu meraih ponselnya dan menghubungi Adrienne, karena gadis itu belum membalas pesannya. Ketika tak juga mendapat jawaban, Javier memutuskan untuk segera datang ke apartemen Adrienne. Kota Jakarta telah gelap seutuhnya, menghadirkan suasana malam yang semarak dengan cahaya lampu sementara Javier larut dalam pikirannya.

Ketika sampai, Javier menemukan apartemen Adrienne tidak terkunci. Tanpa prasangka, Javier melangkah masuk. Dan, pemandangan yang menyambutnya seakan menusuk tepat di jantungnya. Adrienne tidak sendirian. Gadis itu sedang bersama seorang pria dan mereka berciuman. Tepat di bibir.

Javier tidak bisa menahan dirinya. Tangannya bergerak cepat menarik pria itu, lalu memukulinya hingga tangannya terasa kebas. Pria yang dipukuli Javier mencoba melawan, tetapi apalah dayanya menghadapi Javier yang bahkan lebih tinggi sekaligus lebih kekar darinya. Perlawanan itu sia-sia hingga akhirnya setelah meneriakkan berbagai makian, pria asing itu meninggalkan apartemen Adrienne dengan kondisi babak-belur.

Javier berusaha mengatur napasnya yang berkejaran. Tangannya masih mengepal erat, tetapi ia menolak mengempaskannya ke dinding. Javier justru melarikan tangannya ke rambut, lalu meremasnya dengan mata terpejam.

Keheningan yang membalut apartemen itu terasa tajam: menyakiti mereka berdua dengan berlarinya setiap detik hingga menjelma menit. Sayatan demi sayatan yang mengambang di udara membelah jiwa mereka hingga serpihan. Cinta sungguh tak pernah mudah, tetapi haruskah cinta menuai luka?

Javier menghampiri Adrienne dengan langkah pelan. Matanya tak lepas dari sosok gadis di hadapannya, yang tampak begitu kosong. Javier tahu apa yang dilakukan Adrienne: mengkristalkan tangis, menelan jerit, juga membekukan luka. Ini bukan sebuah penyangkalan, ini adalah kepercayaan. Harapan.

Seiring dengan kakinya yang menekuk hingga membawa tubuhnya berlutut, Javier mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang bukan saja menyiratkan permintaan, karena ketika mengucapkannya, Javier tahu kalimat itu lebih menyerupai permohonan. Kalimat yang ia harap, membawa penyembuhan.

"Aku mohon, berhenti menyakiti dirimu sendiri...."

Perlahan, keheningan itu terurai oleh isak tangis. Javier tetap berada di tempatnya, tak beranjak sedikit pun. Javier sadar Adrienne membutuhkan ruang untuk dirinya sendiri. Untuk menyesali juga menangisi segala hal.

Sementara Adrienne menempatkan tangan di atas jantungnya. Sakit. Sungguh sakit. Adrienne menyadari dengan kesadaran memilukan bahwa ia telah menyia-nyiakan segalanya. Ia hampir melakukan kesalahan yang sama. Adrienne menyesali keputusan egoisnya. Adrienne menangisi ketidakmampuannya untuk bertahan, kelemahannya yang menyerah untuk memperjuangkan.

"Maafkan aku...." isak Adrienne. Ia terus mengulang kalimat itu di antara tangisnya. Adrienne mencoba mengatur napas, lalu melanjutkan dengan terbata, "Apa ... yang harus ... kulakukan?"

Javier menyentuh kedua sisi wajah Adrienne. Melarikan ibu jarinya untuk menghapus air mata dari wajah di hadapannya.

"Mulailah dengan kejujuran," jawab Javier tanpa ragu.

Adrienne membalas tatapan Javier. Tak ia temukan amarah, apalagi kebencian. Kedua mata hijau pria itu hanya mencerminkan penerimaan. Ketulusan. Juga cinta. Dan, Adrienne tahu, hanya ada satu kejujuran yang sangat diyakininya saat ini.

"Aku mencintaimu," bisik Adrienne sepenuh hatinya.

Javier tidak mengatakan apa pun lagi, hanya membawa Adrienne ke dalam pelukannya.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang