Adrienne memandang kosong dengan kedua tangan memeluk lutut. Sudah dua hari ia mengurung diri di kamar. Menolak makan, juga menolak bicara. Raganya ada, tetapi jiwanya tak terasa ada. Rasa sakit itu hampir melumpuhkan dirinya, hingga satu-satunya hal yang mampu Adrienne lakukan dengan benar hanyalah bernapas. Bahkan, hal sesederhana bernapas saja kerap terasa menyakitkan baginya. Hampir tak tertahankan.
Ketukan di pintu terdengar semakin keras. Seperti dua hari terakhir, permohonan maaf yang begitu menyayat akan menyusul. Namun, Adrienne tetap membeku. Sepenuhnya berada dalam dunianya yang kelam.
Beranjak senja, seseorang kembali mengetuk pintu. Suara lembut yang kemudian terdengar, membuat pertahanan Adrienne luruh. Memaksa tubuh kakunya bergerak, Adrienne membuka pintu kamar dan mendapati sahabatnya berdiri dengan tangan memegang nampan berisi makanan.
"Adrienne?" tanya Tasha syok. Matanya melebar, sementara suaranya tersekat.
Kondisi Adrienne sungguh di luar perkiraan Tasha. Wajah sahabatnya begitu pucat, matanya bengkak, dan tubuhnya bergetar hebat. Tasha segera masuk ke kamar Adrienne dan meletakkan nampan yang dibawanya. Tanpa kata,Tasha menarik Adrienne duduk di tempat tidur, lalu memeluknya erat.
"Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?" tanya Tasha cemas.
Adrienne tidak menjawab. Matanya masih menatap kosong.
Tasha pun tak kuasa mendesak. Ia mengurus Adrienne dengan sabar. Menyuapinya makan, lalu menyelimutinya ketika tidur. Kegiatan itu terus berulang hingga dua minggu kemudian. Orangtua Adrienne yang baru saja pulang, tidak memahami kondisi putri mereka dan sangat khawatir. Berbagai penyebab mereka tanyakan, berusaha untuk memperbaiki keadaan. Namun, Adrienne selalu berkata bahwa ia akan baik-baik saja, meski dibalut nada datar dan tatapan tanpa binar.
Diamnya Adrienne berubah menjadi histeria di minggu keempat. Tasha yang selalu menemani Adrienne tanpa kenal lelah, mulai memahami gejala yang dialami sahabatnya. Meski enggan, Tasha tahu ia harus membuktikannya. Adrienne tertekan karena suatu hal dan kini memasuki tahap depresi karena hal lain. Maka siang itu, ketika seluruh keluarga Adrienne pergi, Tasha datang dengan sebuah bungkusan dari apotek.
"Adrienne, maukah kau mencobanya?" tanya Tasha hati-hati.
Adrienne meraih bungkusan tersebut, lalu terisak ketika melihat isinya. Sebuah alat tes kehamilan. Tanpa kata, gadis itu melangkah menuju kamar mandi. Kondisi tubuhnya yang tidak menentu menghantui Adrienne. Ia bukan gadis bodoh, begitu pula sahabatnya. Dengan seluruh keanehan Adrienne juga rutinitas barunya mengunjungi toilet setiap pagi, siapa pun bisa menebak ke arah satu hal spesifik.
Tatkala Adrienne tidak juga keluar dari kamar mandi, Tasha mengetuk pintunya. Hanya terdengar isak tangis. Jantung Tasha berdebar keras, sementara tangannya meraih kenop pintu yang untungnya tidak terkunci. Tasha membuka pintu dan melihat Adrienne menangis bersimpuh di lantai. Alat tes kehamilan tergeletak dengan dua garis yang jelas.
Tasha membekap mulut. Air matanya mulai mengalir seiring tubuhnya yang jatuh berlutut. Ia memeluk Adrienne erat, membiarkan isakan mereka memenuhi kamar mandi itu.
Tanpa diduga, seseorang pun ikut melihat segala yang terjadi. Ketika Adrienne membuka mata dan menatap orang di pintu kamar mandinya, ia segera bangkit berdiri. Dengan amarah nyata, Adrienne menghampiri orang itu, melayangkan tangannya dan melancarkan pukulan apa pun yang bisa diberikannya.
"Kau bajingan! Aku membencimu!!!" Teriak Adrienne histeris.
Antony hanya berdiri di sana. Menerima semua pukulan juga makian dalam diam. Tuhan tahu betapa menyesal dirinya. Ribuan kali Antony meminta maaf, tetapi Adrienne tak sanggup memaafkannya. Kini, semua semakin tak terselamatkan. Antony sudah memasrahkan segalanya. Ia tahu penjara saja tidak cukup buruk untuknya. Ia pantas mendapat hukuman terberat. Maka ketika Adrienne membisikkan kalimat selanjutnya, Antony tahu ia harus melakukannya.
"Kau menyakitiku, Antony. Aku membencimu. Aku harap kau pergi dari hidupku. Aku tidak ingin melihatmu lagi seumur hidupku," bisik Adrienne penuh luka.
Antony menatap Adrienne dengan air mata yang tak mampu lagi disembunyikannya. Perlahan, Antony berbalik dan melangkah keluar dari kamar Adrienne. Meninggalkan Adrienne yang menangis histeris di belakangnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)
RomanceAdrienne Callandrie memiliki segalanya: cantik, kaya, dan dipuja semua orang. Ia terbiasa menekuk lutut para pria, sampai akhirnya pria bermata hijau itu datang. Sejak awal, Adrienne berusaha menghindar, karena pria itu adalah cerminan sempurna atas...