Kecelakaan

355 47 2
                                    

Katerina memeriksa penampilannya sekali lagi. Sepatu berhak tinggi, ditambah rok ketat yang jatuh tepat di pertengahan pahanya merupakan perpaduan yang pas.

Gadis berambut pirang itu melirik jam di dinding—jarum pendeknya hampir mencapai angka sembilan. Maka Katerina melepas blazernya, lalu membuka dua kancing teratas kemejanya. Sehingga ketika ia menunduk nanti, branya yang berwarna hitam dan berenda akan terlihat jelas.

Selama hampir satu bulan bekerja dengan Javier Keane, Katerina menemukan bahwa bosnya itu sangat berbeda. Dengan ketampanan menyerupai patung dewa Yunani, keahlian untuk menjadi profesional di bidang yang baru digelutinya dalam waktu singkat, juga kekayaan yang hampir menyilaukan, mustahil Katerina melepaskan pandangan dari bosnya itu. Katerina harus mendapatkannya.

Langkah yang diambil Katerina hari ini bisa dikatakan yang paling berani. Karena selama ini ia sudah berusaha keras menggoda Javier melalui gerakan atau kalimat ambigu, tetapi tetap saja ia tidak mendapat respons. Parahnya lagi, Javier seperti tidak menyadarinya. Javier sungguh tidak memperhatikannya. Namun, hari ini akan berbeda. Javier tidak bisa lagi mengabaikannya.

Begitu Javier keluar dari lift, Katerina segera berdiri dan mempersiapkan senyum terbaiknya. Javier hanya melemparkan senyum tipis, tetap sibuk berbicara di ponselnya. Katerina mengikuti langkah Javier, lalu mulai membacakan agenda ketika Javier menurunkan ponselnya.

"Ada sedikit masalah untuk pertemuan di jam setelah makan siang dan selanjutnya," ucap Katerina seraya meletakkan tabletnya di meja kerja dan membungkuk dengan gerakan sensual. Bra hitam juga sesuatu yang tidak tertampung di dalamnya terlihat jelas.

Namun, Javier justru melarikan jarinya di atas tablet Katerina dan mengatur jadwal yang menurutnya baik-baik saja. Setelah itu, Javier kembali meraih ponselnya, masih tidak mendongak untuk menatap Katerina. Javier mengucapkan beberapa kalimat dengan senyum mengembang, lalu bangkit berdiri.

"Aku akan pergi sampai saat makan siang. Tolong atur ulang pertemuanku dengan Mr. Nakoshi. Terima kasih, Katerina," ucap Javier sebelum menutup pintu ruang kerjanya. Ia pergi dengan langkah tergesa, tetapi menyiratkan rasa gembira sekaligus semangat menggebu.

Katerina yang sadar dari rasa tercengang, mengeluarkan suara tawa sumbang seraya mengancingkan kembali kemejanya. Kali ini ia gagal, tetapi ia tidak akan menyerah.

Karena Katerina Vaughan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya.

***

Adrienne menyipitkan mata demi mendengar ucapan pria tampan bermata hijau di hadapannya. Ketika menyadari bahwa pria itu serius, Adrienne menghela napas.

"Jadi, kau mengusulkan untuk memasukkan proyek itu ke dalam kerja sama baru perusahaan kita? Kau meminta supaya proyek itu menjadi atas nama perusahaan kita?" tanya Adrienne memastikan.

Javier mengangguk tanpa ragu, lalu menjawab, "Pinjaman dana yang kau ajukan sangat besar, Adrienne. Menurutku solusi terbaik demi keuntungan kita bersama adalah dengan menggabungkan perusahaan kita untuk menyelesaikan proyeknya. Jika kau tidak menyetujui usulku ini, maka kau bisa mengajukan pinjaman dana itu ke bank setempat—yang aku yakin tidak akan pernah mengeluarkan pinjaman sebesar itu dalam waktu singkat."

Adrienne tidak bisa berkutik. Semua yang dikatakan Javier benar dan Adrienne hanya memiliki satu pilihan.

"Aku tidak percaya kau benar-benar mengaplikasikan ajaranku. Kau tahu, aku mulai menyesali keputusanku untuk mengajarimu taktik ini," ucap Adrienne akhirnya.

Javier tertawa, kemudian membalas, "Kau seharusnya bangga. Itu berarti kau telah sukses mengajariku."

Selama sesaat Adrienne terpana melihat tawa geli yang mewarnai wajah Javier. Sebelum otaknya kembali memikirkan hal-hal bodoh, Adrienne mengajak Javier untuk mendatangi lokasi proyek itu. Proyek yang akan menjadi tanggung jawab mereka.

Seperti biasa, ia kembali menjadi Adrienne dengan mode tanpa ekspresi. Namun, Javier yang mencuri pandang selama perjalanan merasa ada sesuatu yang aneh pada Adrienne. Gadis itu terlihat tidak tenang. Ada hal yang membebaninya hingga pandangan mata cokelat terang itu sering kali tidak terfokus.

Ketika mereka sampai di lokasi proyek, Adrienne memperkenalkan seorang pria bertubuh besar dengan senyum ramah bernama Doni kepada Javier. Mereka berjabat tangan, lalu mulai berjalan sambil memperhatikan bangunan yang saat itu terhenti pembangunannya pada tingkat empat.

Javier menatap Adrienne dalam diam sementara gadis itu tetap sibuk berbincang. Sekali lagi, Javier menemukan ketidakfokusan dalam mata Adrienne. Seolah benak gadis itu sedang berkelana sementara raganya tertinggal. Javier masih memikirkan keanehan Adrienne ketika tiba-tiba saja nada suara Adrienne meninggi. Javier yang hanya mengerti beberapa kata dari kalimat berbahasa Indonesia itu hanya bisa mengerutkan kening.

"Ayo, kita harus ke lantai empat," ajak Adrienne.

"Apa?" balas Javier.

Namun, Adrienne tidak mau menjelaskan lebih lanjut. Gadis itu justru melangkah menaiki alat pengangkut untuk barang. Javier tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti gadis itu, yang terlihat santai, tidak terpengaruh oleh fakta bahwa kini mereka berada sekitar sepuluh meter dari tanah dan alat yang membawa mereka naik menyerupai lift tanpa pengaman apa pun di sekitarnya.

"Tidakkah kau tahu bahwa angka empat berarti kematian dalam bahasa Jepang?" tanya Javier.

"Aku tidak percaya mitos semacam itu," jawab Adrienne tanpa ragu.

Javier pun tidak percaya, ia hanya ingin mengorek informasi sebab Adrienne tampak tidak bersedia menjelaskan. "Apa yang kau bicarakan dengan kepala proyek itu?"

"Ia bersikeras bahwa kita hanya membutuhkan dua orang petugas K3—Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Kau tahu setiap proyek besar seharusnya memiliki minimal sepuluh orang. Aku mengatakan itu dan ia tidak setuju. Ia justru menantangku untuk menaiki alat ini hingga lantai empat. Jika aku tidak menemukan bahaya, maka ia benar dan aku tidak bisa mengatur kebijakannya sebagai kepala proyek di sini," jawab Adrienne datar.

Mereka telah sampai di lantai empat. Javier yang terkejut mendengar jawaban Adrienne, tak memiliki waktu untuk memarahi reaksi spontan Adrienne yang menerima taruhan konyol itu. Gadis itu nyaris tidak pernah kehilangan ketenangan dan melakukan hal-hal berbahaya semacam ini terasa sangat bertolak belakang dengan sikapnya. Javier segera melangkah memasuki lantai gedung, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Adrienne. Belum sempat Adrienne melangkah, alat yang menjadi pijakannya bergetar. Satu tali penopang di sisi kanan putus, diikuti oleh tali lainnya.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang