Javier dan Restu

533 77 2
                                    

Javier menyandarkan bahu di kursi sementara ayahnya—Faxson Keane—berjalan tak menentu di hadapannya. Hester yang duduk di sampingnya melayangkan tatapan kesal, tetap tetap diam. Keheningan di ruang kerja ayahnya itu dipecahkan dengan sebuah pertanyaan.

"Bagaimana kabarmu, Ayah?" tanya Javier santai.

Faxson Keane menggebrak meja kerjanya, lalu berseru, "Beraninya kau menanyakan keadaanku?! Setelah parade pesta konyolmu?! Bagaimana kau akan menjelaskan semua itu kepada kakekmu ketika kau dipanggil menghadapnya?!"

"Aku akan menjelaskan bahwa pesta ini tidak melanggar aturan," sahut Javier masih dalam ketenangan yang membuat ayahnya geram. "Tertulis dengan jelas dalam peraturan nomor 41 tentang hak menyelenggarakan pesta; selama tidak terjadi tindak kejahatan atau kericuhan yang dapat mencemarkan nama baik keluarga Keane, maka semua dianggap sah dan penyelenggaranya bebas dari hukuman."

"Kau tidak bisa melakukan itu di rumah ini! Adikmu bahkan belum genap berusia lima belas tahun! Di mana akal sehatmu, Javier? Setidaknya jangan bawa adikmu ke dalam masalah!" balas Faxson keras.

Kali ini Javier terdiam. Ia mengunci mulut, karena tahu yang dikatakan ayahnya benar. Jika ada satu hal dalam hidup yang dapat membuat Javier mengorbankan segalanya, maka itu adalah adiknya, Hester. Gadis itu pusat dunianya. Meski bersikeras untuk bersikap egois dan kekanakan demi cita-citanya, kini Javier menyadari bahwa mustahil ia benar-benar sanggup melakukannya. Selama masih ada Hester yang harus ia lindungi, maka segala rencana Javier untuk membangkang harus dilepaskan. Tak ada lagi pesta bodoh yang berpotensi menyakiti adiknya.

Javier menatap Hester, lalu mengucapkan kata maaf yang disambut senyum tulus oleh gadis itu.

Sementara Faxson Keane berusaha mengontrol emosi. Pria separuh baya itu tidak mengerti mengapa putra sulungnya yang luar biasa bertanggung jawab bisa melakukan hal-hal tidak bertanggung jawab semacam ini. Faxson didera kepanikan ketika mendengar berita bahwa putranya itu melangsungkan pesta di rumah, hingga tanpa pikir panjang Faxson segera membatalkan pertemuan pentingnya di Kanada dan terbang menuju New York. Kali ini, Faxson harus mengambil risiko. Sebelum segalanya semakin tidak terselamatkan.

"Apa yang kau inginkan, Javier?" tanya Faxson tegas.

Javier langsung mengubah sikap duduknya dan menatap ayahnya tanpa ragu.

"Izinkan aku untuk bersekolah di Julliard dan menjadi pianis. Aku akan sukses. Aku tidak akan mengecewakanmu, Ayah," jawab Javier penuh keyakinan.

Faxson menghela napas, lalu mengalihkan tatapan kepada putrinya. Ini sungguh pilihan sulit, karena dengan mengizinkan Javier, secara tidak langsung Faxson mengalihkan tanggung jawab kepada Hester. Setelah ini, hari-hari Hester akan dipenuhi dengan pelatihan untuk menjadi pewaris selanjutnya.

"Hester, apa kau siap mengambil alih tanggung jawab Javier?" tanya Faxson.

Hester ragu. Sama seperti kakaknya, darah seni mengalir deras dalam nadinya. Namun, demi melihat harapan yang meletup bagai bara di kedua mata hijau milik kakaknya, akhirnya Hester mengangguk. Berbeda dengan dirinya yang belum tahu ke mana masa depan akan membawanya, Javier sudah memegang tiket menuju gerbang cita-citanya. Hester tidak akan menahan langkah kakak tersayangnya untuk sebuah kemungkinan yang bahkan belum tentu bisa diraih olehnya.

"Aku akan berusaha, Ayah. Aku akan memulai pelajaran dasarnya besok siang sepulang sekolah," jawab Hester pelan.

Faxson menatap Hester lekat, tahu bahwa semua ini akan sia-sia pada akhirnya. Kedua anaknya tidak akan bisa lari. Mereka akan tetap menjadi pewaris, suka atau tidak. Faxson hanya berharap Tuhan tidak mencabut nyawanya sebelum kedua anaknya meraih impian mereka. Ia akan memastikan anak-anaknya bahagia.

"Aku mengizinkanmu, Javier," ujar Faxson.

Javier tersenyum dan Hester bertepuk tangan senang. Mereka berdiri, lalu menghampiri Faxson dan mengucapkan terima kasih yang sarat akan kebahagiaan.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang