Kakak

346 44 0
                                    

New York City, Februari 2018

"Aku tidak percaya kau benar-benar melakukan tiga puluh jam perjalanan udara hanya untuk sebuah makan malam bersama keluargaku," ucap Adrienne ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan rumahnya.

Javier hanya tersenyum, lalu berbicara pada sopirnya. "Kau bisa pulang. Aku akan menghubungimu besok."

Adrienne dan Javier melangkah keluar dari mobil, kemudian melangkah menuju pintu di mana orangtua Adrienne telah menunggu. Javier memperkenalkan dirinya dengan sopan dan Adrienne berani bersumpah kedua orangtuanya membelalakkan mata ketika mendengar nama belakang Javier. Tentu saja, siapa yang tidak mengetahui nama keluarga Keane? Lalu mereka dipersilakan untuk beristirahat dan akan dipanggil untuk makan malam pukul tujuh nanti.

Adrienne melangkah memasuki kamarnya. Tak ada yang berubah sejak kali terakhir ia tinggal di sana. Adrienne tidak percaya sudah lebih dari satu dekade waktu berlalu. Suara pintu yang terbuka lalu tertutup menyentak Adrienne. Ketika berbalik dan menemukan Javier yang berada di belakangnya, Adrienne tersenyum.

"Aku rasa ini saatnya untuk mengintip rahasia yang kau simpan di kamarmu," goda Javier seraya memeluk pinggang Adrienne.

"Aku tidak memiliki rahasia di kamar ini," sahut Adrienne. Karena aku menyimpannya di dalam diriku, lanjut gadis itu dalam hati.

Javier menunduk untuk mencium bibir Adrienne, lalu menarik diri ketika ciuman mereka dengan cepat berubah menjadi menuntut.

"Kita harus bersiap sekarang, Sayang. Aku harus tampil rapi untuk keluargamu," ucap Javier.

"Kau sudah sempurna. Lagi pula kita bisa melakukan beberapa selingan dalam kegiatan bersiap yang membosankan itu," balas Adrienne.

Javier mengangkat tubuh Adrienne ke dalam gendongannya, lalu beranjak memasuki kamar mandi. Adrienne membekap mulutnya yang mengeluarkan derai tawa.

"Baiklah, Mr. Keane. Kau memiliki pancuran dan bak mandi yang besar di sini. Aku memberimu satu kesempatan, kau harus memilih salah satunya," ucap Adrienne dengan ekspresi tegas di wajahnya.

Javier berpura-pura berpikir selama sesaat. Lalu ia menghampiri bak mandi dan menyalakan keran airnya. Setelah itu Javier menarik Adrienne ke bawah pancuran, menyalakan airnya masih dengan pakaian lengkap.

"Javier!" Protes Adrienne.

"Kau siap untuk babak selanjutnya?" balas Javier.

Adrienne tertawa, lalu menarik Javier masuk bersamanya ke dalam bak mandi.

Pukul tujuh Adrienne dan Javier turun ke lantai bawah menuju ruang makan. Orangtua Adrienne datang tak lama kemudian dan mereka mulai makan dengan keheningan. Setelah beberapa saat, ayah tiri Adrienne—Ryan Callandrie—menyuarakan pertanyaan tentang pekerjaan Javier. Obrolan itu terus mengalir dan perlahan rasa khawatir Adrienne sirna. Javier dapat menyesuaikan diri, membuat orangtua Adrienne merasa nyaman dengannya, hingga percakapan itu semakin lama terasa semakin akrab. Hampir seperti orang yang telah saling mengenal selama bertahun-tahun.

Setelah makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah. Adrienne duduk di sisi ayahnya, sementara Javier duduk di seberangnya. Mereka sedang mentertawakan wajah Adrienne yang mudah memerah ketika Via masuk dengan tangan membawa setumpuk album foto. Serta merta Adrienne menegakkan tubuhnya. Ia berpindah ke sisi Javier sementara Via duduk di tempat Adrienne sebelumnya.

"Ini adalah foto-foto Adrienne sejak kecil. Karena kau adalah pria pertama yang berhasil mencuri hati Adrienne, aku rasa kau berhak melihatnya," ucap Via.

Javier menerima album foto yang diulurkan Via. Sebesar keinginan Javier untuk melihatnya, sebesar itu pula Javier menyadari ketegangan yang berasal dari gadis di sisinya. Javier melayangkan pandangan bertanya pada Adrienne. Ketika akhirnya Adrienne mengangguk, barulah Javier membukanya.

Halaman demi halaman itu mampu membuat senyum Javier mengembang. Berbagai pose sederhana Adrienne terlihat manis dan semakin memancarkan kecantikannya. Satu hal yang menarik perhatian Javier adalah hadirnya sosok anak laki-laki yang menjelma menjadi pria dewasa beriringan dengan pertumbuhan Adrienne. Mereka berdua ada hampir di setiap foto. Menampilkan wajah penuh senyum, juga mata berbinar bahagia. Javier tahu tanpa ragu, pria itu adalah saudara Adrienne. Namun, mengapa Adrienne tidak pernah mengatakannya?

Via mendesah dengan tangan bertaut. "Adrienne pasti pernah memberitahu tentang kakaknya, bukan? Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak kepergiannya. Hal itu masih terasa berat untuk kami. Bahkan hingga hari ini."

Javier hanya mampu menampilkan senyum prihatin. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa Adrienne sama sekali tidak pernah menyebut soal kakak laki-laki.

Ketika malam semakin larut, akhirnya Adrienne dan Javier kembali naik ke lantai atas. Javier mengantar Adrienne hingga pintu kamar gadis itu, lalu mulai melangkah menuju kamar tamu. Adrienne menahan tangan Javier, membisikkan satu kata.

"Maaf."

Javier menyentuh kedua sisi wajah Adrienne, kemudian mengecup keningnya.

"Aku tidak akan memaksamu. Kau bisa menceritakannya nanti setelah kau siap. Sekarang pergilah tidur. Jangan lupa mimpikan aku," balas Javier lembut.

Adrienne mengangguk, lalu masuk ke dalam kamarnya. Begitu menutup pintu, Adrienne menekan tangannya tepat ke tempat di mana jantungnya berdetak cepat.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang