Ingar-bingar musik yang terdengar di klub malam itu tidak mampu menulikan Adrienne. Tidak sanggup meredam kegaduhan benaknya.
Gelas ketiga diet coke di tangannya pun sama sekali tidak memengaruhi otaknya yang terus berpacu—tentu saja, Adrienne tahu satu-satunya minuman yang bisa mematikan otaknya dari proses berpikir saat ini adalah minuman yang sampai kapan pun akan tetap dibencinya. Pasalnya, otak Adrienne masih terus memutar ulang pertemuannya dengan Javier, juga perkataan pria itu yang terasa menamparnya. Adrienne sama sekali tidak mengerti, mengapa segala hal yang berkaitan dengan Javier harus rumit? Untuk apa segala perasaan aneh yang kini membelit?
Seorang pria berusia pertengahan tiga puluh tahun menghampiri Adrienne. Pria itu terlihat jelas tidak berasal dari Asia dan sudah memperhatikan Adrienne sejak gadis itu memasuki bar. Bahkan meski ada beberapa wanita yang mengerubunginya—dengan pakaian lebih berani pula—pria itu tetap hanya menumpukan pandangannya ke arah Adrienne.
"Halo, Cantik. Boleh aku bergabung denganmu?" tanya pria itu dengan senyum percaya diri. Seakan-akan Adrienne mustahil menolaknya.
Jika dalam keadaan seperti biasa, Adrienne akan segera menolaknya mentah-mentah. Bahkan saat ini pun, Adrienne merasakan keengganan yang begitu besar. Adrienne memperhatikan pria di hadapannya dengan pandangan penuh spekulasi. Mungkin kedatangan pria ini bisa membantunya untuk menghapus bayang-bayang Javier Keane. Bayangan Javier dengan mata sesegar daun di pagi buta yang tanpa diduga berhasil mengusiknya. Membuat hari-hari tenangnya goyah.
Lagi pula, cepat atau lambat Adrienne harus bisa menghilangkan rasa enggannya itu. Adrienne harus bisa mengusir hantu yang menakutinya ketika bersentuhan dengan pria asing. Tidak mungkin ia bergantung kepada Dareson selamanya. Maka dari itu, Adrienne harus membiasakan diri dari sekarang. Berlatih semampunya.
"Silakan," jawab Adrienne kemudian.
Pria itu duduk di samping Adrienne, agak terlalu dekat hingga Adrienne dapat mencium aroma tembakau dari napasnya. Setidaknya bukan alkohol dan Adrienne bisa menolerirnya. Mereka berada di salah satu meja sudut bagian belakang, sehingga mata-mata penasaran hanya akan melihat kegelapan karena sumber cahaya hanya berasal dari lampu yang berputar di atas lantai dansa.
"Max Tyron," ucap pria itu seraya mengulurkan tangan.
Adrienne membalas singkat, "Adrienne."
"Kau sendirian di sini?"
Mengangguk ke arah teman-temannya yang sedang berdansa, Adrienne menjawab, "Bersama mereka."
Max memuji kecantikan Adrienne dan satu percakapan mengalir pada satu sesi ciuman panas. Setidaknya bagi Max, karena Adrienne tidak merasakan apa pun. Bibir Max menjepit bibir Adrienne dengan rakus. Gerakannya begitu kasar dan lapar, diiringi geraman penuh hasrat.
Adrienne memejamkan mata demi menenangkan jantungnya yang berdetak dalam mode tidak beraturan. Bukan karena gairah, melainkan kepanikan. Adrienne berusaha menelan rasa jijiknya, tetap membiarkan Max menciumnya.
Max mengerang lebih keras. Otaknya tak lagi bisa diandalkan dan satu-satunya hal yang ia mengerti adalah kebutuhannya. Yang terpenting ia bisa menemukan pelepasan dengan Adrienne. Ini bukan sesuatu yang pernah dirasakannya. Ia adalah pria yang amat berpengalaman, tetapi gadis mungil di pangkuannya ini berbeda. Gadis itu mampu membuatnya tak berdaya.
"Oh, sial. Kau benar-benar seksi," geram Max.
Mata cokelat terang Adrienne menggelap melihat reaksi Max. Alarm tanda bahaya menggema jelas dalam benaknya. Ia segera melepaskan pelukan Max dari tubuhnya, lalu meloncat turun dari pangkuan Max dengan anggun. Ekspresi wajahnya sedatar permukaan es.
Max membuka mulut untuk protes, sayang belum sempat ia mengatakan apa pun, seorang gadis bergaun ungu menyiramnya dari belakang dengan segelas penuh bir. Kericuhan segera terjadi karena gadis itu berteriak histeris. Ia bahkan mencoba memukul Adrienne, meski Max menahannya tepat sebelum pukulan itu mendarat di pipi.
"Hentikan. Kau membuat kita menjadi pusat perhatian," desis Max pelan.
"Bajingan! Kau mengkhianatiku tepat setelah melamarku! Keparat! Kau pria kotor!" Jerit gadis bergaun ungu itu dengan air mata mengalir deras.
"Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Kau salah paham," bujuk Max dengan nada menenangkan.
Gadis itu kian kalut. "Pembohong! Aku melihatmu sejak kau menghampiri pelacur ini! Kalian menjijikkan! Jika aku tidak datang, kalian pasti sudah bersetubuh di sini! Berengsek!"
Max mencoba menjelaskan, tetapi gadis itu tak mau mendengarnya dan terus memaki dengan segala kosakata kasar yang dimilikinya.
Adrienne tetap tidak menunjukkan reaksi apa pun. Ketika Tasha dan dua temannya yang lain menghampiri dengan mata terbelalak maksimal, barulah Adrienne tersenyum. Senyum yang tidak mengandung rasa apa pun. Hampa. Dingin.
"Terima kasih untuk malam ini, Max Tyron. Ciumanmu buruk dan kau jauh dari harapanku. Semoga kau bisa mendapat pelepasan yang hampir kau dapatkan tadi. Mungkin setelah kau menjinakkan calon istrimu itu. Selamat tinggal," ujar Adrienne tenang.
Adrienne melangkah menjauhi jeritan gadis bergaun ungu masih dengan satu senyum itu. Senyum yang menjadi lambang kekosongan hatinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)
RomanceAdrienne Callandrie memiliki segalanya: cantik, kaya, dan dipuja semua orang. Ia terbiasa menekuk lutut para pria, sampai akhirnya pria bermata hijau itu datang. Sejak awal, Adrienne berusaha menghindar, karena pria itu adalah cerminan sempurna atas...