Siksa

350 43 0
                                    

Javier menghentikan mobilnya di depan rumah sakit. Sore ini Adrienne memiliki pertemuan dengan terapisnya, seorang dokter ahli kejiwaan. Sudah hampir dua minggu lamanya Adrienne menjalani rutinitas ini dan Javier selalu menemaninya, meski hanya dari ruang tunggu. Namun, hari ini Javier harus menghadiri rapat direksi.

"Kau yakin tidak apa-apa? Kau bisa mengatur ulang jadwal pertemuanmu sementara aku menyelesaikan rapatku. Setelah itu kita akan pergi bersama. Seperti biasa," ucap Javier.

"Tidak apa-apa. Aku yakin bisa menanganinya. Lagi pula Dokter Patricia sangat baik. Aku merasa nyaman dengannya. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku akan meminta Tasha menjemputku nanti setelah aku selesai," sahut Adrienne yakin.

Javier melangkah keluar dari mobilnya, lalu membukakan pintu untuk Adrienne. Ia memeluk Adrienne sesaat, lalu mengecup keningnya lembut.

"Aku akan ke apartemenmu setelah rapatnya selesai," bisik Javier.

Adrienne tersenyum. "Aku akan menunggumu."

Javier membalas senyum Adrienne, lalu mencubit ujung hidungnya dengan gemas. Adrienne tertawa seraya melangkah memasuki rumah sakit, melambai pada Javier.

Tanpa mereka berdua sadari, dua pasang mata dari tempat berbeda menyaksikan seluruh kejadian itu dengan bara amarah, juga kebencian terpeta jelas di mata mereka.

***

Adrienne turun dari mobil Tasha, lalu melangkah memasuki gedung apartemennya. Senja sudah berganti menjadi malam dan Adrienne tidak sabar menunggu Javier pulang. Tepat setelah Adrienne membuka pintu apartemennya, sesuatu yang dingin terasa di lehernya diikuti suara yang dikenalnya.

"Cepat masuk ke dalam dan jangan bersuara. Atau aku akan memotong lehermu."

Jantung Adrienne berdebar cepat, tetapi ia segera mengikuti perintah itu. Setelah masuk, orang di belakang Adrienne mendorongnya untuk duduk di sofa dan menutup pintunya. Adrienne meringis ketika menyadari bagian tajam pisau itu mengiris permukaan kulitnya hingga titik-titik darah mulai keluar di sana.

Adrienne mendongak, menemukan Katie masih menodongkan pisau ke arahnya. Adrienne mencoba menenangkan dirinya. Ia mengikuti instruksi Dokter Patricia untuk menghitung sampai sepuluh seraya menyamakan ritme napasnya.

Adrienne memperhatikan Katie yang tampak kacau. Rambut pirangnya berantakan, sementara tatapan matanya tidak terfokus. Ada bau alkohol samar yang tercium di udara. Membuat Adrienne semakin berhati-hati dengan wanita di hadapannya. Tahu bahwa wanita itu berada di ambang kewarasan. Dan, sesuatu yang tidak pasti, apalagi menyangkut akal sehat, selalu berbahaya.

"Apa yang kau lakukan, Katie?" tanya Adrienne dengan suara setenang mungkin.

"Aku akan membunuhmu!" seru Katie tanpa ragu.

Adrienne menahan napasnya sesaat. Ia harus tenang. Ia akan menemukan cara untuk menyelamatkan dirinya.

"Untuk apa? Apa yang telah kulakukan padamu?" tanya Adrienne lagi.

Katie meledak dalam tawa. "Kau merebut segalanya dariku! Dulu kau membunuh Antony dan sekarang kau memiliki Javier yang kucintai! Kau gadis kecil bodoh yang selalu menghalangiku! Apa sebenarnya yang kau miliki hingga Javier bertekuk lutut di hadapanmu? Kau bukan siapa-siapa, tetapi kau memiliki segalanya!"

Sementara Katie terus meneriakkan hal-hal semacam itu, Adrienne berusaha keras meraih ponsel di saku depan celana jeans-nya. Adrienne menekan angka lima—panggilan cepat untuk Javier—cukup lama, masih tetap dengan mata tertuju pada Katie. Adrienne merasakan panggilan itu menunggu jawaban Javier. Namun, hingga Katie selesai berteriak, Javier tak juga menjawab.

Adrienne mulai merasa takut. Bagaimana caranya pergi dari wanita gila di hadapannya ini?

Tawa Katie menggema dengan menyeramkan, sementara pisau itu kini bergerak di pipi Adrienne. Menggoreskan sayatan dangkal sepanjang kurang-lebih empat sentimeter.

"Aku akan membunuhmu, Adrienne Callandrie. Dengan begitu, aku akan memiliki Javier," desis Katie dengan senyum bengis di wajahnya.

Adrienne berusaha menelan kepanikannya, juga rasa perih yang menjalar di wajahnya. Katie baru saja menambahkan sayatan tipis di rahangnya.

"Katie, kau tidak harus melakukan ini. Kau masih memiliki banyak kesempatan dalam hidup. Kau bisa mencari pria yang lebih baik, lalu membangun keluarga dan menjadi seorang ibu. Tidakkah kau menginginkannya? Hidup tenang bersama orang-orang yang kau cintai ... juga mencintaimu?" ucap Adrienne pelan.

Tanpa disangka, Katie mulai menangis. Ia membalikkan tubuh dan terisak sambil meracau tentang betapa orang-orang di sekitarnya selalu mengabaikannya. Katie muak dengan hidupnya. Kecantikannya berubah menjadi malapetaka karena tidak ada satu pun pria sungguh-sungguh mencintainya, hanya menyukai tampilan fisiknya.

Adrienne menggunakan kesempatan itu untuk menjauhkan diri. Perlahan, dengan langkah yang amat ringan, Adrienne berjalan mundur menuju kamarnya. Namun, sial tak dapat meninggalkannya, karena bahu Adrienne menabrak lukisan di dindingnya. Katie berbalik menatapnya dan Adrienne segera berlari memasuki kamar. Adrienne menjerit ketika pintunya ditahan oleh Katie, lalu sekali lagi pisau itu menyayatnya. Kali ini dekat buku-buku jarinya hingga Adrienne tidak sanggup menahan pintu dan Katie berhasil masuk.

"Kau ingin kabur?! Dasar gadis bodoh! Kau berusaha menipuku, bukan? Aku tidak akan termakan kata-kata manismu!" Teriak Katie histeris.

Adrienne merangkak menjauhi Katie. Air mata mulai mengaliri wajahnya. Meski adrenalin masih terasa di dalam nadinya, Adrienne tahu ia sudah tidak memiliki kesempatan. Apalagi ketika Katie menarik rambutnya dan menempelkan pisau itu ke lehernya. Adrienne hanya bisa memejamkan mata.

"Aku akan menyayat nadimu, lalu meletakkan pisau ini di tanganmu. Sehingga orang-orang akan mengatakan bahwa kau bunuh diri. Lalu aku akan datang ke pemakamanmu. Berpura-pura sangat menyesal, menangis paling keras, sehingga Javier akan datang padaku setelahnya. Aku akan memilikinya dan ia akan melupakanmu selamanya," bisik Katie.

Adrienne dapat merasakan bagian tajam pisau itu semakin menekan lehernya. Napas Adrienne tertahan. Lalu entah mengapa, tiba-tiba tekanan itu menghilang. Terdengar suara gaduh disusul jeritan Katie, membuat Adrienne akhirnya memberanikan diri untuk membuka mata.

Max Tyron berdiri dengan tangan mencengkeram leher Katie, lalu ia melempar Katie ke dinding hingga wanita berambut pirang itu membentur dinding dan jatuh ke lantai dengan luka mengalir dari pelipisnya.

"Halo, Adrienne," sapa Max dengan nada ceria. Seolah pertemuan mereka sesuatu yang wajar. Seakan tubuh Katie yang terkulai tidak mengganggunya. "Akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi. Bagaimana dengan hadiah berpita hitam yang selama ini kukirimkan khusus untukmu? Tidakkah kau menyukainya?" 

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang