"Mengapa kita ada di sini?" tanya Adrienne beberapa saat kemudian.
Mobil Javier memasuki gerbang perumahan mewah tak jauh dari pintu keluar tol. Desain rumah-rumah di dalamnya begitu mengagumkan dan tidak ada yang serupa, hingga tanpa sadar Adrienne terpesona dan hampir tidak mendengar jawaban Javier.
"Aku tinggal di sini. Kau harus mengganti pakaianmu. Aku tidak mau kau duduk dalam balutan pakaian basah selama dua jam," jawab Javier.
Adrienne menggeleng keras. "Aku ingin pulang."
"Dan aku akan mengantarmu," balas Javier tegas. "Setelah kau berganti pakaian. Ayo turun."
Adrienne tidak sempat mendebat Javier karena pria itu sudah turun dan harus pasrah mengikutinya. Mereka melewati sebuah halaman depan sederhana berumput hijau. Begitu Javier membuka pintu rumahnya, Adrienne mendapat suguhan berupa bagian ruang tamu yang terlihat maskulin.
"Kamar mandinya di sebelah sana. Aku akan mengambil pakaian ganti untukmu," ucap Javier.
Adrienne mengangguk. Tubuhnya mulai menggigil dan ia melangkah cepat memasuki kamar mandi. Begitu menyalakan air hangat dari shower, Adrienne mendesah lega. Ia melepas seluruh pakaiannya dan mulai meneliti kamar mandi itu. Hanya ada barang-barang kebutuhan dasar, yang terlihat belum pernah tersentuh. Tentu saja, karena Javier pasti menggunakan kamar mandi yang ada di kamarnya.
Ketukan di pintu menghentikan lamunan Adrienne. Dengan cepat ia mematikan shower dan mengenakan handuk yang terlipat rapi di samping wastafel. Adrienne membuka pintu kamar mandi sedikit, lalu mengintip dari celahnya.
"Maaf, hanya ini yang kumiliki. Berikan pakaianmu, aku akan mengeringkannya," kata Javier seraya mengulurkan sebuah sweter.
Adrienne menerima sweter itu, lalu menutup pintu. "Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku akan mengeringkannya sendiri nanti," sahut Adrienne.
Hening sejenak.
"Aku tunggu di dapur," balas Javier akhirnya.
Adrienne menatap bayangannya di cermin dan tersenyum. Ia tampak konyol dengan sweter kebesaran yang hanya mencapai pertengahan pahanya. Namun, Adrienne merasa hangat. Aroma yang menguar dari sweter itu juga menenangkan Adrienne.
Gadis itu keluar dari kamar mandi dan mengeringkan pakaiannya di mesin cuci. Setelah itu, ia menghampiri Javier yang sibuk membuat kopi di dapur. Pria itu sudah berganti pakaian dengan kaus dan jeans. Tampak sangat santai, meskianehnya tetap membuatnya menawan.
"Terima kasih untuk pinjaman pakaiannya," ucap Adrienne seraya duduk di kursi pantry.
Javier meletakkan secangkir kopi hitam di hadapan Adrienne, lalu mengangguk.
"Kau baru pulang dari kantor?" tanya Adrienne membuka percakapan. Tiba-tiba ia merasa tidak nyaman dengan keheningan.
Itu bohong. Adrienne hanya ingin mendengar suara Javier, untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pria di hadapannya sungguh nyata.
Javier menjawab, "Tidak. Aku pergi untuk menemui adikku. Ia datang ke sini satu minggu yang lalu, tetapimenolak untuk tinggal bersamaku. Jadi setiap kali ingin bertemu dengannya, aku akan datang ke apartemen temannya, tempat ia menginap."
Melihat Adrienne dalam balutan sweternya membuat Javier merasa geli. Gadis itu seakan tenggelam di dalamnya, tampak begitu menggemaskan. Bahkan meski wajahnya tetap tak terisi ekspresi, Javier dapat menemukan ketenangan di sana.
Adrienne merasa nyaman dengannya.
Segala pikiran Javier hancur berantakan ketika Adrienne turun dari kursi dan melangkah mendekatinya. Kaki jenjang Adrienne terekspos dalam cara yang seharusnya ilegal dan jemari mungilnya dicat biru muda. Javier lupa bernapas selama beberapa detik, lalu menyadari bahwa Adrienne menanyakan sesuatu.
"Di mana krim dan gula?" ulang gadis itu.
"Di lemari itu." Javier berdeham sebelum menambahkan, "Biar aku ambilkan."
"Aku bisa mengambilnya sendiri," protes Adrienne. Ia bersikeras menjangkau lemari yang berada di atas kepalanya. Namun, Adrienne terlalu pendek untuk bisa meraih stoples berisi gula, bahkan setelah ujung-ujung jemari kakinya berjinjit.
Javier memeluk tubuh Adrienne dari belakang dengan sigap, lalu meraih stoples itu dengan tangan kanannya. Javier tidak menyadari gerakan yang telah dibuatnya, hingga ia mendengar napas tersekat Adrienne dan merasakan lekuk lembut tubuh gadis itu menempel kepadanya. Telapak tangan kirinya berada tepat di bawah payudara Adrienne, membuat Javier dapat merasakan dengan jelas bentuknya yang hanya tertutup sweter.
Secepat kilat Javier menarik tangannya, tetapi ia justru menyentuh puncak payudara Adrienne. Erangan lembut bergetar di tenggorokan Adrienne dan Javier mengatupkan rahangnya kuat-kuat.
Setelah beberapa detik, Adrienne berbalik dengan pipi bersemu merah. Tangannya terkepal di sisi tubuh dan ia tidak sanggup menatap Javier. Adrienne tahu dengan pasti Javier mendengar erangannya. Namun, Javier tetap melepasnya, bahkan mengambil satu langkah mundur. Ketika akhirnya memberanikan diri untuk menatap Javier, Adrienne merasa mulutnya kering.
Javier sedang menatapnya lekat. Bukan dengan tatapan sopan seperti biasanya, tetapi murni tatapan seorang pria yang menginginkan gadisnya. Selama ini Javier bahkan tidak pernah melirik bibirnya, selalu menatap matanya tanpa ragu ketika berbicara. Dan, kini, jantung Adrienne berdebar keras. Ia tidak tahu seorang pria bisa membuatnya merasa seperti ini hanya dengan sebuag tatapan.
Sekali lagi Javier berdeham, lalu mengalihkan pandangannya dari Adrienne.
"Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya dengan nada tenang yang dipaksakan.
Adrienne mengangguk dan lagi-lagi mengikuti Javier tanpa kata.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)
RomanceAdrienne Callandrie memiliki segalanya: cantik, kaya, dan dipuja semua orang. Ia terbiasa menekuk lutut para pria, sampai akhirnya pria bermata hijau itu datang. Sejak awal, Adrienne berusaha menghindar, karena pria itu adalah cerminan sempurna atas...