Jatuh Cinta

350 50 1
                                    

Samar-samar Adrienne merasakan kecupan di sepanjang bahu kanannya. Perlahan kesadarannya datang, tetapi Adrienne memutuskan untuk tetap diam. Ketenangan itu membuainya, membuat Adrienne semakin larut dalam kecupan lembut di bahunya.

"Kau berarti segalanya untukku, Adrienne. Aku akan menjagamu," bisik Javier. Lalu ia mencium pipi Adrienne.

Adrienne membuka mata. Masih dengan posisi membelakangi Javier. Jantungnya berdebar keras. Bisikan itu menggema dalam benaknya, membawa Adrienne ke dalam perasaan yang belum pernah ia rasakan.

Adrienne menghela napas perlahan, ia tidak bisa mengontrol dirinya di sekitar Javier. Namun, kali ini, Adrienne tidak akan pergi. Ia akan memberikan dirinya sendiri kesempatan untuk merasa bahagia.

Adrienne memutar tubuhnya tanpa kata, lalu bersandar tepat di atas jantung Javier. Detaknya seiringan dengan detak jantung Adrienne sendiri. Bagaikan musik paling merdu di dunia ini. Adrienne tidak ingin saat ini berakhir. Adrienne rela memberikan segalanya asalkan ia bisa terus berada dalam dekap hangat Javier.

Saat itulah, Adrienne menyadarinya.

Adrienne Callandrie telah jatuh cinta pada Javier Keane.

***

"Aku akan segera kembali," ucap Javier untuk kali kedua dalam sepuluh menit terakhir.

Adrienne tertawa. Mereka berdiri berhadapan di bingkai pintu rumah. Javier harus menemui adiknya. Hari ini adalah hari Sabtu, sehingga meskipun tidak ingin Javier pergi, Adrienne tahu ia masih memiliki hari esok untuk melakukan segala fantasi dalam benaknya bersama Javier.

"Aku akan menunggumu," sahut Adrienne. Lalu ia berjinjit dan menanamkan ciuman manis di bibir Javier.

Javier mendesah. Gadis di hadapannya sungguh membuatnya tak ingin beranjak. Bahkan hanya dengan mengenakan kaus Javier, gadis itu terlihat cantik. Javier masih tidak bisa percaya mereka sampai di titik ini. Titik di mana mereka bisa saling memiliki.

Setelah Javier pergi, Adrienne beranjak menuju dapur untuk membuat kopi. Lalu gadis itu kembali ke kamar Javier dan berdiri di balkonnya. Senja hampir menutupi langit dengan warna jingga yang sempurna. Adrienne menyesap kopi perlahan, sementara pikirannya dipenuhi berbagai hal yang sebelumnya tidak pernah dipikirkannya.

Adrienne tahu cepat atau lambat ia harus memberitahu Javier. Tentang rahasia kelamnya. Namun, untuk saat ini, Adrienne hanya ingin merasa bahagia. Ia akan memberitahu Javier ketika siap. Adrienne tidak tahu bagaimana reaksi Javier nantinya. Apa pun itu, Adrienne berharap Javier tidak akan pergi darinya.

Adrienne mengaktifkan ponsel. Ada tiga pesan dari Tasha dan yang mengejutkan Adrienne adalah satu pesan dari Dareson. Tanpa berpikir dua kali, Adrienne menekan tombol panggil. Dareson menjawabnya pada dering keempat. Suara Dareson yang biasanya tegas dan kaku kini sedikit berbeda. Terdengar lebih bersahabat dan terselip secercah keceriaan.

"Adrienne. Ada hal penting yang harus kukatakan padamu," ucap Dareson.

"Aku mendengarkan," sahut Adrienne tenang.

"Aku tidak bisa melakukan hal yang biasa kita lakukan lagi. Sesuatu berubah. Aku tahu seharusnya aku mengatakan ini secara langsung, tetapi aku tidak bisa menunggu. Maafkan aku atas sikapku, kuharap kau mengerti," balas Dareson.

Adrienne tersenyum. Tentu saja ia mengerti. Ia pun ingin mengatakan hal serupa pada Dareson.

"Aku mengerti, Dareson. Sebenarnya aku ingin mengatakan hal yang sama. Dan tidak perlu minta maaf, aku tahu kau sangat sibuk bahkan hanya untuk sekadar berbicara di telepon. Katakan padaku, apakah hal ini berhubungan dengan seorang gadis? Kau terdengar berbeda."

"Aku tidak tahu kau memiliki bakat meramal."

Adrienne tertawa, tetap memaksa Dareson hingga akhirnya pria itu menghela napas menyerah.

"Kau benar. Aku bertemu seorang gadis dan ... entahlah, ia melakukan hal yang membuatku merasakan sesuatu yang berbeda," aku Dareson.

"Gadis yang beruntung. Aku yakin kau akan bahagia bersamanya," sahut Adrienne tulus.

"Aku harap begitu. Dan Adrienne, ini perasaanku atau kau juga terdengar berbeda? Aku berani bersumpah aku mendengarmu tertawa tadi. Selama bertahun-tahun mengenalmu, belum pernah sekali pun aku mendengarmu begitu bahagia. Apakah terjadi sesuatu?" balas Dareson.

Senyum simpul menghiasi bibir Adrienne.

"Aku rasa kita kembali menjadi teman senasib. Aku juga bertemu dengan seorang pria dan ia menjungkirbalikkan duniaku. Entahlah, mungkin ini kesempatan kita untuk berbahagia? Jika semua yang dikatakan orang-orang benar, maka kita berhak mendapatkannya."

"Kau berhak, Adrienne. Dan aku harap kau akan terus berbahagia. Sangat bagus bisa mendengarmu tertawa."

Adrienne kembali tertawa. Mendengar Dareson mengemukakan opininya adalah hal yang langka. Selama saling mengenal, mereka begitu kaku. Nyaris tak bisa dikatakan berteman, hanya menjalin hubungan yang saling menguntungkan. Namun, kini, karena kehadiran seseorang di hidup mereka, segalanya berbeda. Mereka memutuskan untuk berteman, dalam artian sesungguhnya.

"Kau adalah teman yang baik. Aku senang menyirammu dengan bir malam itu. Terima kasih untuk segalanya, Dareson Logane," ujar Adrienne.

"Dan kau akan menjadi satu dari sedikit orang yang beruntung untuk kusebut sebagai teman. Aku tidak menyesal mengurungmu di kamar mandi bersamaku malam itu. Terima kasih, Adrienne Callandrie," sahut Dareson.

Adrienne memutuskan sambungan, lalu beralih untuk menghubungi Tasha. Seperti biasa, sahabatnya itu berbicara dengan nada menggebu-gebu. Apalagi ketika Adrienne mengatakan sedang berada di rumah Javier, reaksinya sungguh luar biasa. Mereka terus berbincang hingga langit menggelap seutuhnya. Adrienne belum pernah merasa sebebas itu.

"Baiklah, sampai jumpa hari Senin. Sampaikan salamku untuk Javier. Aku menyayangimu, Adrienne," ucap Tasha.

"Tentu. Aku juga menyayangimu," balas Adrienne.

Adrienne kembali ke dapur untuk mencuci gelasnya. Ketika mengeringkan tangan, sebuah lengan kokoh menenggelamkan Adrienne dalam pelukan. Adrienne bersandar, tersenyum ketika mendengar bisikan Javier.

"Aku merindukanmu."

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang