Kebenaran

425 42 0
                                    

Adrienne berjuang mati-matian untuk menelan jeritannya. Ia hanya diam, tetapi melihat Max tidak memegang senjata apa pun membuat keberanian Adrienne mulai tumbuh. Gadis itu akan melawan. Ia tidak akan membiarkan orang lain menyakitinya lagi.

"Sebelum kepala cantikmu itu memikirkan hal-hal yang tidak sepantasnya kau pikirkan, lebih baik kau melihat ini," ucap Max seraya menghampiri Adrienne dan menunjukkan sebuah foto dari ponselnya.

Seluruh rencana Adrienne menguap ketika melihat foto itu. Foto sebuah kecelakaan mobil. Adrienne tidak tahu di mana tepatnya kecelakaan itu terjadi, satu hal yang Adrienne tahu adalah mobil itu milik Javier. Max terus menunjukkan foto-foto yang diambil dari sudut berbeda hingga akhirnya Adrienne melihat nomor polisinya dan benar-benar yakin bahwa mobil itu milik Javier.

Air mata Adrienne mengalir deras. Jantungnya terasa ditikam kuat-kuat. Rentetan pertanyaan mengisi benak Adrienne dan Max dengan senang hati memberikan jawabannya, seakan bisa membaca pikiran Adrienne.

"Kau tahu, aku selalu menyusun rencana di dalam rencana. Aku tidak mengotori tanganku secara langsung. Aku menggunakan wanita jalang itu sebagai langkah awal dan kau tentu tahu segala hal yang dilakukannya. Namun, kau harus tahu aku tidak memintanya untuk melukaimu. Kau lihat apa yang terjadi karena ia mencoba menyakitimu, bukan?" ujar Max tenang.

Ia menyentuh pipi Adrienne, lalu melanjutkan, "Lalu aku memutuskan untuk membereskan semuanya dalam satu langkah. Aku membayar orang untuk menabrak mobil kekasihmu itu dengan sebuah truk, lalu datang ke sini untuk menjemputmu. Setelah ini kita akan pergi ke tempat yang jauh. Di mana tidak akan ada satu orang pun yang mengenalimu. Aku sudah menyiapkan semuanya. Kau akan menjadi milikku dan tidak akan ada lagi yang mampu menghalangi, karena Javier Keane sudah mati."

Adrienne tak mampu menyembunyikan isakannya. Kini, ia bahkan tidak peduli jika Max membunuhnya. Untuk apa tetap hidup? Adrienne tidak menemukan alasan lain untuk tetap bertahan. Javier sudah pergi. Javier meninggalkannya.

"Aku tidak mau.... Lebih baik aku mati!" isak Adrienne.

"Aku tidak memberimu pilihan," sergah Max. "Kau akan melakukan segala hal yang kuinginkan. Dan kau tidak akan mati. Kematian terlalu mudah untukmu, Adrienne. Aku akan menyiksamu dengan perlahan selama sisa hidupmu."

Adrienne menjerit ketika Max menarik tangannya dengan paksa, lalu mengimpitnya ke dinding. Max mengurung tubuhnya dan berusaha menciumnya, membuat ketakutan Adrienne semakin tak tertanggung. Seluruh perasaan yang tak ingin Adrienne rasakan lagi menyeruak keluar, membutakan Adrienne hingga otaknya bahkan memaksa untuk berhenti bekerja.

Tepat pada saat itu, sebuah suara letusan yang memekakkan telinga terdengar. Disusul letusan lain dan meluruhnya tubuh Max. Teriak kesakitan Max terdengar memilukan sementara tangan juga kaki kanannya mengalirkan darah segar.

Adrienne berteriak. Kengerian menyiramnya begitu pekat hingga tidak menyadari kehadiran seseorang yang mencoba menenangkannya. Adrienne larut dalam isak tangis karena rasa syoknya. Lalu Adrienne merasakannya, sepasang lengan kokoh yang memeluknya erat. Disusul bisikan-bisikan bernada menenangkan.

Adrienne baik-baik saja. Dan, semua akan baik-baik saja.

***

Adrienne membuka mata dan langit-langit berwarna putih adalah yang pertama dilihatnya. Seseorang menggenggam tangannya yang tidak tertancap jarum infus, memberikan kehangatan yang Adrienne rindukan.

Adrienne menoleh, mengernyit ketika merasakan perban yang menutupi luka di pipinya bergeser. Namun, begitu melihat wajah yang tertidur di sisinya, rasa sakit itu langsung terlupakan.

Setelah beberapa saat terkurung dalam kejadian-kejadian yang terputar ulang dalam benaknya, akhirnya Adrienne tahu bahwa ia tidak berhalusinasi. Seseorang yang tertidur dengan menggenggam tangannya adalah Javier. Javier-nya. Ia tidak meninggalkan Adrienne dan yang paling penting, ia baik-baik saja.

"Javier...." bisik Adrienne lemah.

Adrienne mencoba menggerakkan tangannya yang berada dalam genggaman Javier. Air mata mengalir di wajahnya, sementara Adrienne merasa hatinya kembali hidup. Kelegaan membanjirinya hingga gadis itu merasa akan kembali pingsan.

Javier membuka mata. Mengerjap, lalu tersenyum dengan ekspresi penuh syukur.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Javier cemas.

Adrienne tetap terisak, lalu menjawab, "Aku mencintaimu."

Javier tertawa. Ia melupakan kecemasannya dan mencondongkan tubuh untuk mengecup puncak kepala Adrienne. Kini, ia yakin Adrienne baik-baik saja. Javier menekan tombol di sisi tempat tidur dan tak lama kemudian dokter masuk untuk memeriksa Adrienne.

"Kau bisa pulang besok. Hanya mengalami syok. Luka-lukamu juga akan segera sembuh. Sayatannya tidak dalam dan tidak akan meninggalkan bekas," ucap dokter wanita itu dengan ramah.

Javier mengucapkan terima kasih, lalu dokter pun keluar. Pria itu kembali menatap Adrienne—yang sejak membuka mata sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari Javier—kemudian tersenyum lembut.

"Aku ada di sini, Adrienne. Aku tidak akan meninggalkanmu. Bukankah aku sudah berjanji? Kau baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja," ucap Javier.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Adrienne.

Javier menghela napas sebelum menjelaskan. "Semua yang dikatakan Max kepadamu benar. Ia membayar seseorang untuk menabrakku dengan truk. Namun, yang Max tidak tahu, aku tidak pernah ada di dalam mobil itu. Sebelum meninggalkan kantor, Hester datang menjemputku. Lalu aku meminta sopir untuk membawa mobilku dan mengikuti kami dari belakang. Saat melewati persimpangan jalan, sebuah truk menabrak mobilku. Hester tetap mengemudikan mobilnya sementara aku menghubungi polisi. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi aku merasa harus secepatnya menemuimu. Lalu aku sampai di apartemenmu dan kau tahu kelanjutannya."

Tentu Adrienne tahu. Polisi menembak Max, sementara Javier memeluknya. Namun, karena terlalu syok, Adrienne tidak bisa menyadari hal itu tepat pada waktunya. Adrienne justru hilang kesadaran setelahnya.

"Lalu bagaimana kondisi sopirmu?" tanya Adrienne.

Javier menghela napas panjang. Rautnya menunjukkan penyesalan. "Terluka cukup parah, tetapi kondisinya sudah stabil sekarang."

"Katie?" sahut Adrienne.

"Ia baik-baik saja. Begitu juga pria berengsek itu. Polisi sudah mengurus kasusnya. Begitu keluar dari rumah sakit, mereka akan diadili dan dihukum sesuai hukum yang berlaku di negara ini," jawab Javier nyaris tanpa emosi.

Adrienne gemetar ketika kilasan kejadian itu melintasi benaknya. Terasa amat menakutkan. Masih begitu segar hingga mustahil untuk dilupakan.

"Kau bersamaku, Adrienne. Aku akan melindungimu. Kau sudah aman sekarang. Aku akan selalu berada di sisimu," bisik Javier seraya membelai sebelah pipi Adrienne yang tidak tertutup perban.

Adrienne mendesah, "Aku mencintaimu, Javier."

Javier menyentuhkan bibirnya ke bibir Adrienne dengan lembut, lalu membalas, "Aku selalu mencintaimu, Adrienne. Selalu."

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang