Semua itu terjadi dalam waktu sepersekian detik. Adrienne bahkan tidak mampu memikirkan langkahnya. Ia hanya sempat menjerit, melihat tanah yang kini tertutup reruntuhan alat pengangkut itu.
Adrienne mendongak. Menemukan tangan mungilnya berada dalam genggaman Javier. Pria itu bernapas dengan cepat, tetapi pegangannya mantap.
"Jangan lepaskan," bisik Adrienne panik.
"Tidak akan pernah," balas Javier.
Adrienne berusaha menghentikan serangan paniknya. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia bahkan hanya mengernyit ketika Javier mengangkatnya, menimbulkan gesekan perih di sepanjang lengannya. Dengan sigap Javier menarik Adrienne menuju tempat yang lebih aman. Lalu mereka berdua terduduk lemas, diiringi napas yang berkejaran.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Javier.
Adrienne mencoba mengenyahkan air mata bodohnya, menolak menjawab Javier. Ia justru sibuk memeriksa pakaiannya. Kemeja lengan pendek berwarna putih dengan rok sebatas lutut berwarna cokelat. Tidak ada masalah dengan roknya, tetapi kemejanya memiliki lubang besar di bagian kanan, memungkinkan setiap mata memandang langsung pada kulitnya.
Ketika sibuk mencari cara untuk menutup tubuhnya, sebuah kemeja tersampir di bahunya. Adrienne menatap Javier dan menemukan seulas senyum terpatri di wajah tampan pria itu. Seolah menyiratkan bahwa semua baik-baik saja.
"Kau tetap cantik meskipun mengenakan pakaianku," ucap Javier meyakinkan.
Adrienne menunduk.
Itu sama sekali bukan penyebab keresahannya. Pemandangan Javier tanpa pakaian untuk menutupi dada bidangnya yang membuat Adrienne resah. Bagaimana mungkin Javier berharap Adrienne tidak akan terpengaruh akan hal itu? Demi Tuhan, meski ia hampir mati beberapa saat yang lalu, hormon konyolnya tidak lantas absen.
"Aku rasa mitos itu benar," ujar Adrienne kemudian.
Tanpa diduga, Javier tertawa. Pria itu berpindah ke hadapan Adrienne, lalu mengancingkan kemejanya yang terlalu besar di tubuh Adrienne. Saat mendengar Adrienne meringis, Javier segera menggulung lengan kanan kemejanya dan menemukan kulit terbuka yang mengeluarkan darah.
Javier segera merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan berbicara dengan suara tegas. Ia meminta bantuan untuk segera datang.
Javier menghela napas.
"Mereka berkata sedang mengusahakannya. Kita hanya bisa menunggu hingga bantuan datang. Kau bisa menahannya sedikit lebih lama?"
Adrienne mengangguk.
Menit berlalu sementara mereka duduk berdampingan. Suara riuh yang terdengar dari bawah membuat mereka tahu bahwa orang-orang tengah sibuk menyusun rencana untuk menolong mereka. Ironisnya, gedung itu hanya memiliki tangga hingga lantai tiga dan satu-satunya alat yang bisa membawa mereka ke lantai empat baru saja meluncur jatuh tanpa hambatan. Kurang responsifnya tim penyelamat di Indonesia pun menjadi alasan tambahan bagi Adrienne dan Javier untuk menunggu lebih lama.
"Apa yang mengganggu pikiranmu hari ini?" tanya Javier.
Adrienne mengerjap. Ekspresinya seakan mengatakan, bagaimana kau tahu?
"Aku tahu." Javier mengedikkan bahu. "Kau terlihat tidak fokus dan sebagainya. Kau bahkan menerima tantangan kepala proyek itu. Apakah ini berhubungan dengan wanita yang kau temui kemarin?"
Adrienne menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Hanya kelelahan," jawabnya.
Hening sesaat. Javier memperhatikan gadis cantik di sisinya, tahu bahwa jawaban itu adalah sebuah kebohongan. Javier tidak pernah menyukai kebohongan. Namun, ada sesuatu tentang Adrienne yang membuat Javier merasa ia harus memakluminya dan tidak memaksanya lebih jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)
RomansaAdrienne Callandrie memiliki segalanya: cantik, kaya, dan dipuja semua orang. Ia terbiasa menekuk lutut para pria, sampai akhirnya pria bermata hijau itu datang. Sejak awal, Adrienne berusaha menghindar, karena pria itu adalah cerminan sempurna atas...