Terpaksa Berlari

465 57 3
                                    

Sambil merapikan kemeja berwarna mint yang dikenakannya, Adrienne memasuki restoran seraya mengedarkan pandangan. Ia menemukan ibunya duduk di sudut kanan restoran dengan pandangan tertuju pada buku menu. Setelah satu tarikan napas, ia lanjutkan langkah untuk menghampiri ibunya.

"Selamat siang, Ibu."

Via menengadahkan wajah, senyum merekah pun menghiasi bibirnya.

"Adrienne, putriku! Aku sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja, bukan? Perusahaanmu tidak memiliki masalah?" balas Via dengan pertanyaan beruntun, seraya memeluk putri semata wayangnya. Ia bahkan menangkup pipi Adrienne, berusaha menatap mata anaknya yang entah sejak kapan berubah sendu.

Adrienne mengangguk, lalu bergegas melepaskan diri dari ibunya. Tidak nyaman dengan tatapan menyelidik sang ibu. Mungkin, jauh dalam hati Adrienne takut ibunya akan mengetahui rahasianya.

Rahasia yang harus Adrienne bawa hingga mati.

"Aku akan menginap di Ritz-Carlton selama satu minggu," ujar Via bersemangat. "Kau bisa mengunjungiku kapan pun kau mau. Dan, kita bisa pergi kapan saja kau mau. Kau dengar itu, Adrienne? Aku memberimu waktu satu minggu untuk bisa melakukan banyak hal bersamaku."

Lagi-lagi Adrienne hanya mengangguk. Via tidak suka apartemen Adrienne—yang menurutnya terlalu sederhana—dan selalu menginap di hotel jika datang berkunjung ke Jakarta. Bukan berarti Adrienne peduli. Adrienne justru sangat bersyukur ibunya tidak mau tinggal di apartemennya. Ia membutuhkan ruang. Amat banyak hingga sang ibu tidak bisa mencium kejanggalan yang selama sepuluh tahun terakhir mati-matian dia sembunyikan.

"Bagaimana kabar Ayah?" tanya Adrienne pelan.

"Baik-baik saja. Sibuk seperti biasa," jawab Via. "Seharusnya kau pulang dan menjenguk orangtuamu, Adrienne. Apa yang sebenarnya kau kerjakan hingga begitu sibuk dan tidak pernah sempat mengunjungi kami?"

Hubungan Adrienne dengan orangtuanya merenggang beberapa tahun terakhir. Tepatnya setelah kejadian itu. Adrienne merasa tidak sanggup menatap ibunya tanpa mengingat bahwa dirinyalah yang telah membuat ibunya sedih,juga kecewa. Akhirnya Adrienne mulai melakukan hal-hal yang dulu ia pikir tak akan pernah dilakukannya; pindah untuk hidup sendiri dan menghabiskan waktunya untuk belajar atau bekerja. Apa pun itu, asal ia bisa menghindari ibunya.

Kegiatan mengunjungi Adrienne ke Indonesia ini pun dilakukan ibunya dengan unsur paksaan. Adrienne selalu menolakpada awalnya, tetapi setelah banyak percobaan, ia pun mengalah dan mau menghabiskan sedikit waktu bersama Via. Apalagi mengingat perusahaannya bisa berdiri berkat bantuan ibunya, Adrienne tidak benar-benar memiliki pilihan.

Meski tentu, Adrienne tetap mendirikan dinding pertahanan, hingga tak ada satu pun orang yang bisa melihat diri Adrienne yang sesungguhnya.

Pada kenyataannya, Adrienne menghindari nyaris segala hal dalam hidupnya. Demi menjaga hatinya tetap aman, Adrienne bersedia mengorbankan banyak hal terutama kebahagiaan agar tak merasakan rasa sakit semacam itu lagi. Adrienne mengunci rapat dirinya dalam ruang rahasia di palung jiwanya, lalu mematahkan kunci itu hingga ia sendiri pun tak bisa keluar dari penjara yang diciptakannya.

Maka ketika ibunya kembali bertanya apakah ia baik-baik saja, Adrienne hanya menjawabnya dengan seulas senyum tipis tanpa makna.

***

Adrienne melangkah memasuki gedung apartemen dengan benak sibuk membayangkan es krim yang berada di lemari esnya. Setelah hari panjang yang baru saja dilaluinya, ia pantas memberikan sedikit penghiburan untuk dirinya.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pantas Adrienne merasa tubuhnya begitu lelah. Entah pemimpin perusahaan macam apa yang harus bekerja hingga selarut ini, tetapi itulah yang selalu dilakukan Adrienne. Lagi pula, lebih baik tubuhnya yang lelah daripada otaknya bekerja liar dan membuat sesak itu kembali datang.

Gadis itu baru saja melewati lobi ketika matanya menangkap sesosok wanita yang dikenalnya. Sontak, langkah Adrienne terhenti dan matanya terbelalak. Wanita itu menghampirinya, lalu menyapa dengan seulas senyum.

Katie.

"Apa kabar, Adrienne?" sapa Katie.

"Apa yang kau lakukan di sini?" balas Adrienne dingin.

"Aku baru saja dipindahtugaskan ke negara ini. Karena aku ingat kau juga berada di sini, aku datang untuk menyapamu. Apartemenku tak jauh dari sini, kau bisa mengunjungiku dan mungkin kita bisa berteman seperti dulu," sahut Katie tenang.

Adrienne berdiri tanpa merespons.

"Atau mungkin kau bisa mengatakan alasan sesungguhnya Antony bunuh diri. Alasannya bukan karena aku, bukan? Alasannya ... kau? Apa yang telah kau lakukan?" lanjut Katie tajam.

Adrienne berusaha keras tetap menjaga ekspresi datarnya. Wanita di hadapannya ini terlihat seperti iblis di mata Adrienne. Iblis yang membangkitkan seluruh sisi gelap dalam hidup Adrienne. Ia tidak bisa membiarkan wanita ini tiba-tiba saja datang dan menghancurkan segala ketenangan yang telah susah payah dibangunnya.

"Aku tidak tertarik berteman dengan seseorang sepertimu. Kuharap kita tidak pernah bertemu lagi. Selamat tinggal," sahut Adrienne.

Alih-alih meneruskan perjalanan ke unitnya, Adrienne justru melangkah keluar dari gedung dan menyetop taksi pertama yang dilihatnya. Tuhan benar-benar sedang mengujinya, karena tidak saja harus menghadapi ibunya, Adrienne juga harus bertemu kembali dengan Katie. Adrienne membenci wanita itu lebih dari apa pun, karena secara tidak langsung Katie-lah yang menjadi awal dari seluruh kehancuran hidupnya.

Seandainya Antony tidak mengenal Katie, lalu jatuh cinta kepadanya.

Seandainya Adrienne tidak mirip dengan Katie.

Seandainya Katie tidak berkhianat dan mematahkan hati Antony.

Seandainya, seandainya, dan seandainya.

Satu kata itu terasa amat menyakitkan bagi Adrienne. Karena kata itu adalah sebuah pengingat betapa tidak berdaya Adrienne, betapa hancur hidupnya, juga betapa banyak luka yang tertoreh di jiwanya.

Adrienne menghentikan taksi yang ditumpanginya di depan sebuah klub malam. Ia tidak berencana untuk minum, hanya ingin menenggelamkan dirinya sesaat di antara keramaian. Segera setelah Adrienne masuk, musik yang berdentam-dentam menyambutnya.

Adrienne membawa dirinya ke lantai dansa. Tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya, ia mulai membiarkan tubuhnya bergerak. Namun, ada begitu banyak orang yang mengganggunya. Seperti seorang pria yang saat ini berada di hadapannya dan mencoba untuk menyentuhnya.

Serta merta tubuh Adrienne berhenti bergerak. Ia melangkah keluar dari lantai dansa dan kembali mencari taksi. Adrienne masih tidak sanggup menolerir sentuhan dari pria asing. Ada rasa enggan begitu besar yang bermetamorfosa menjadi rasa jijik tak tertanggung.

Adrienne menghela napas dalam-dalam. Saat ini ia butuh pengalih perhatian dan hanya satu orang yang bisa membantunya.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang