Kotak Hadiah

344 47 0
                                    

Singapura, 2017

Adrienne baru saja selesai mengeringkan rambut ketika bel kamar hotelnya berbunyi. Bahkan sebelum membuka pintunya, Adrienne tahu orang yang berada di baliknya adalah Javier Keane.

"Aku bisa pergi sendiri," ucap Adrienne setelah membuka pintu. Gadis itu berencana untuk menemui Rita Indira pagi ini dan Javier bersikeras untuk menemaninya.

"Selamat pagi juga," balas Javier ceria.

Adrienne menutup pintu kamar hotel, lalu memasukkan kartunya ke dalam tas yang dibawanya. Tanpa kata,Adrienne melangkah menuju lift dan menekan angka 19. Begitu sampai, Adrienne melangkah menuju kamar di lorong sebelah kanan dan berhenti di depan pintu bernomor 1029. Ia sudah membaca laporan dalam map putih itu dengan saksama. Meski sudah bisa menebak, Adrienne tetap harus memastikannya.

Setelah menunggu beberapa saat, pintu akhirnya terbuka dan menampilkan sesosok wanita paruh baya yang sangat dipercayai Adrienne. Mereka berpandangan selama beberapa saat, lalu wanita itu—Rita Indira—tersenyum sendu.

"Kau sudah mengetahuinya," ucapnya pelan.

Adrienne diam.

"Aku akan ikut pulang bersamamu, lalu menyerahkan diriku kepada pihak berwajib. Namun, sebelum itu, biarkan aku mengucapkan selamat tinggal. Kau ingin menemaniku?" lanjut Rita.

Walaupun tidak mengerti dan bingung, Adrienne tetap mengangguk.

Javier mengikuti langkah Adrienne, masih dalam mode diam. Sejauh ini semua baik-baik saja. Javier tidak melihat alasan Tasha begitu mengkhawatirkan Adrienne. Wanita yang menjadi pelaku korupsi itu pun tidak terlihat berbahaya. Javier justru menemukan kepedulian nyata antara Adrienne dan wanita itu.

Sepuluh menit kemudian, taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah sakit. Rita Indira membawa mereka menuju sebuah kamar rawat. Adrienne mendekat pada kaca kecil yang ada di pintu, melihat ke dalam, di mana seorang gadis kecil—dengan berbagai alat bantu terhubung ke tubuhnya—terbaring di tempat tidur.

"Putriku didiagnosis mengidap kanker otak satu tahun yang lalu. Saat itu dokter berkata putriku bisa diselamatkan. Aku sudah melakukan segala cara. Aku sudah mengorbankan segala hal. Namun, tiba-tiba kondisinya memburuk. Kanker itu begitu cepat menggerogotinya. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Hanya dia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini. Aku tidak bisa kehilangan putriku," ujar Rita dengan isakan tertahan.

Adrienne menarik napas dalam-dalam. Matanya mulai berkabut. Semua ini berada di luar perkiraannya. Ia tidak mengira Rita Indira, wanita yang sangat ia kagumi karena kekuatannya untuk menjadi orangtua tunggal tanpa sanak saudara tersisa, ternyata harus mengalami hal berat lagi. Adrienne tahu persis seperti apa hidup yang dijalani Rita. Hanya putrinya—yang kini terbaring tak berdaya di tempat tidur—yang Rita miliki.

Bagaimana mungkin Adrienne tega merenggut sisa waktu yang mereka miliki hanya karena setumpuk uang? Adrienne tidak akan mampu memisahkan mereka. Tidak akan pernah.

Sebelum air matanya mengalir, Adrienne memeluk Rita, lalu berkata, "Kau dipecat, Rita Indira. Jangan pernah datang lagi ke kantor. Dan, semoga putrimu mendapat keajaiban. Aku mengharapkan segala hal terbaik untukmu. Selamat tinggal."

Setelah itu, Adrienne menarik tangan Javier yang membeku di sisinya dan melangkah secepat kaki membawanya menjauhi suara isak tangis Rita. Setetes air mata jatuh tanpa sempat dicegah, membuat Adrienne membekap mulut dengan tangannya yang lain.

Javier yang lepas dari rasa terpana segera menarik Adrienne ke lorong sepi. Pria itu membawa Adrienne ke pelukannya, membiarkan gadis itu menangis di bahunya. Kini Javier mengerti sepenuhnya alasan dari kekhawatiran Tasha. Javier tahu tanpa ragu, bahwa kekhawatiran itu benar adanya.

Karena Adrienne Callandrie adalah gadis yang rapuh. Dengan hati baik dan murni, tetapi berbalut luka.

***

Jakarta, 2017

"Terima kasih sudah mengantarku pulang," ucap Adrienne.

Javier yang menenggelamkan kedua tangannya di saku jaket hanya tersenyum. Mereka berdiri berhadapan di depan pintu apartemen Adrienne dengan canggung selama sesaat. Perlahan, Javier mengulurkan sebelah tangannya. Begitu tidak mendapat tanda-tanda penolakan, ia sentuh pipi Adrienne lembut. Hanya sekilas, seringan bulu. Namun, Javier merasa puas karena gadis di hadapannya tidak mengambil langkah seribu.

"Selamat beristirahat," balas Javier ringan.

Adrienne tersenyum tipis, kemudian melangkah masuk ke apartemennya. Setelah menangis entah berapa lama, akhirnya Adrienne dapat mengendalikan diri dan meminta maaf kepada Javier. Gadis itu memutuskan untuk mengejar penerbangan yang tersisa di hari itu dan Javier menyetujuinya. Adrienne benar-benar bersyukur Javier bersedia menemaninya. Setidaknya semua menjadi lebih mudah untuk dihadapi. Atas alasan yang tidak dimengerti, Adrienne merasa kehadiran Javier semacam penyembuh baginya.

Adrienne segera menggelengkan kepala. Pikiran macam apa itu? Baru saja kurang-lebih 24 jam yang lalu, Adrienne berusaha keras menghindari Javier. Namun, kini ia justru mengharapkan sebaliknya. Apa sebenarnya yang salah dengan dirinya?

Sementara tangannya meraba dinding untuk menekan tombol lampu, Adrienne melepaskan sepatu. Begitu lampu menyala, hal pertama yang menarik perhatian Adrienne adalah sebuah kotak kado cantik dengan pita hitam yang bertengger manis di meja kaca ruang tamunya.

Adrienne meraih kotak itu dan membaca sebuah catatan di atasnya yang ditulis oleh Tasha.

Seseorang mengirimkan ini ke kantor. Sepertinya sesuatu yang bagus, melihat bungkusnya yang cantik. Segera hubungi aku begitu kau membukanya! Aku juga penasaran. – T

Adrienne tertawa pelan membaca catatan yang sangat khas Tasha itu, lalu perlahan menarik pita yang melilit kotak dan membuka penutupnya. Seketika tawa Adrienne berganti menjadi jerit ketakutan. Refleks, tangannya menjatuhkan kotak itu hingga isinya terlempar keluar. Dengan tangan bergetar hebat, Adrienne mengambil ponselnya dan menekan nomor 2, panggilan cepat untuk Tasha.

Ketika suara mengantuk Tasha menyapa, Adrienne langsung berkata, "Isinya sama sekali bukan sesuatu yang bagus, Tasha."

"Apa? Adrienne, apa maksudmu? Aku tidak mengerti perkataanmu. Apa yang tidak bagus?"

Namun, Adrienne tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena matanya terus terpaku pada sebilah pisau berlumuran darah yang kini tergeletak di lantai apartemennya.

***

Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang