Demi mendengar dua kata itu, Adrienne berdebar. Gadis itu berbalik menghadap Javier, memasang wajah tanpa ekspresi terbaiknya. Meski tetap saja, senyum di kedua mata cokelat terangnya tidak bisa disembunyikan.
"Aku tidak merindukanmu. Hanya merindukan jemarimu yang sangat hebat itu."
Javier tersenyum nakal, membuat Adrienne memukul bahunya dengan sebal.
"Untuk bermain piano. Jemarimu hebat ketika memainkan piano. Berhenti berpikir mesum, Javier Keane," omel Adrienne.
Tawa Javier terlepas.
"Aku tahu hal lain yang bisa dilakukan jemari hebatku," balas Javier.
Adrienne menaikkan alisnya dengan pandangan bertanya dan mendapat jawaban berupa gelitikan di pinggang. Sontak pekik kaget terlepas dari bibir Adrienne, lalu ia berusaha keras menjauh dari Javier. Adrienne berlari menuju ruang tengah dan tawa berderainya mewarnai rumah itu. Akhirnya Javier berhasil menangkap Adrienne, membawa gadis itu ke sofa dan ikut tertawa bersama.
Setelah satu ciuman panjang yang lembut, Adrienne membenarkan posisi duduknya dan bertanya, "Bagaimana adikmu?"
"Banyak bertanya, seperti biasa. Namun, aku berhasil meyakinkannya bahwa semua yang terjadi hanya bagian dari masa lalu. Aku tidak ingin ia membencimu. Aku yakin kalian bisa menjadi teman yang hebat," jawab Javier ringan.
Adrienne hanya mengangguk. Tak yakin bagaimana harus menanggapi, karena Adrienne merasa Hester tetap berhak untuk membencinya. Tiba-tiba suatu pertanyaan terbersit di kepala Adrienne. Namun, Adrienne tidak tahu bagaimana menanyakannya tanpa membuat keadaan menjadi canggung.
"Katakan saja, Adrienne," ucap Javier.
Adrienne menatap Javier, kemudian menarik napas.
"Aku tidak tahu mengapa aku menanyakan ini. Hanya tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Berapa banyak gadis yang sudah bersamamu?"
Javier terdiam sesaat sebelum menjawab, "Empat."
"Apakah itu gadis yang secara resmi bersamamu? Bagaimana dengan ... kau tahu, mereka yang tak bisa kau ingat namanya?" tanya Adrienne hati-hati.
"Aku tidak melakukan hal semacam itu, Adrienne. Aku menganut prinsip untuk bersama gadis yang secara resmi berhubungan denganku. Dan aku tipe pria monogami, karena aku tidak suka berbagi ataupun dibagi," jawab Javier tegas. Perlahan senyumnya mengembang dan tangannya membelai pipi Adrienne lembut. "Itu artinya, kau adalah milikku. Janji yang kau buat semalam juga berlaku untukku: aku tidak akan pergi darimu."
Adrienne kehilangan kata. Matanya mengerjap, berusaha memutuskan sihir dari mata berwarna hijau di hadapannya.
"Bagaimana denganmu?" tanya Javier dengan ekspresi wajah ingin tahu.
Adrienne mengangkat bahu. "Kau jauh lebih berpengalaman daripada diriku. Aku belum pernah terlibat dalam suatu hubungan seperti ini sebelumnya. Namun, aku pernah bersama dengan seseorang. Ia temanku semasa kuliah dan kami memiliki hubungan saling menguntungkan, kau bisa menyebutnya begitu," jawab Adrienne.
Ketika melihat Javier hanya memandangnya tanpa merespons, Adrienne menambahkan, "Tenang saja. Kami sudah menemukan jalan masing-masing. Kau mengerti maksudku? Ia bertemu dengan seorang gadis dan aku bertemu denganmu."
Javier tetap terdiam. Membuat Adrienne menggigit bibirnya dan bertanya, "Apa kau marah padaku?"
Javier menggeleng. "Marah? Tidak. Aku hanya sulit memercayainya. Bagaimana mungkin gadis seluar biasa dirimu belum pernah memiliki kekasih? Kau sangat cantik, Adrienne. Apa yang dilakukan para pria itu ketika bertemu denganmu?"
"Kebanyakan dari mereka hanya ingin masuk ke dalam celanaku," jawab Adrienne ringan.
Javier tertawa, lalu mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya dan mengirimkan sebuah tautan ke ponsel Adrienne.
"Karena aku lebih berpengalaman, ini adalah pelajaran pertama. Kau harus mendengarkan lagu-lagu itu. Mereka adalah temanku yang mewakili perasaanku padamu," ucap Javier.
Adrienne mengubah posisinya menghadap Javier. Kedua kakinya berada di sisi kaki Javier. Ia menyusuri rambut Javier, mendaratkan bibirnya di atas bibir Javier dan membisikkan terima kasih.
***
Senin pagi. Langit masih gelap dan Adrienne terbangun dengan Javier yang memeluknya dari belakang. Perubahan kecil dalam hidupnya ini membuat Adrienne tersenyum.
"Selamat pagi, Sayang," sapa Javier parau.
Masih dengan senyumnya, Adrienne menjawab, "Selamat pagi."
"Aku tidak ingin beranjak. Aku suka tempat di mana aku berada saat ini," bisik Javier menggoda.
"Aku yakin begitu. Namun, ini saatnya bekerja. Tunjukkan hal yang telah kau pelajari dan buatlah aku bangga," sahut Adrienne ringan.
Javier tertawa, lalu mengecup bahu Adrienne dan turun dari tempat tidur. Mereka mandi, membeli kopi dan donat dalam perjalanan menuju kantor, lalu bekerja sepanjang hari dengan kesibukan seperti biasa. Hanya saja kini mereka memiliki satu senyum yang tidak bisa mereka sembunyikan.
Menjelang pukul empat, akhirnya Adrienne dapat sedikit bersantai. Jadwal rapatnya sudah selesai dan Adrienne hanya harus memeriksa beberapa proposal sebelum pulang. Javier akan menjemputnya pukul enam nanti, karena Adrienne tidak membawa mobil dan pria itu bersikeras mereka harus makan malam bersama.
Adrienne meraih ponselnya, lalu menekan tautan berisi daftar putar berjudul Song for Unbroken Soul. Adrienne tersenyum. Ia membiarkan lagu terus terputar silih berganti. Beberapa pilihan lagu Javier membuatnya larut dalam tawa. Proposal yang harus ia periksa terabaikan sepenuhnya. Hingga jam menunjukkan pukul enam, Adrienne masih sibuk dengan ponselnya.
Ketika Javier muncul di ruang kantornya, Adrienne tidak bisa menahan diri dan menyambut pria itu dengan satu dekap hangat. Tanpa kata, hanya berbagi pelukan sederhana, mereka merasa segalanya sempurna.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)
RomanceAdrienne Callandrie memiliki segalanya: cantik, kaya, dan dipuja semua orang. Ia terbiasa menekuk lutut para pria, sampai akhirnya pria bermata hijau itu datang. Sejak awal, Adrienne berusaha menghindar, karena pria itu adalah cerminan sempurna atas...