Adrienne menghapus air matanya yang masih saja mengalir setelah dua jam berlalu. Tubuhnya meringkuk bagai janin di atas tempat tidur, sementara Tasha yang menemaninya hanya bisa mendesah.
"Setidaknya kau harus mendengarkan penjelasannya, Adrienne. Aku yakin Javier tidak bersalah. Yang kau lihat itu tidak seperti yang kau bayangkan. Kau tahu seperti apa Katie; murahan. Kau juga tahu Javier terlalu memujamu hingga mustahil mampu melirik wanita lain," ucap Tasha entah untuk yang keberapa kali.
Namun, Adrienne tetap tidak menggubris.
Suara bel yang berbunyi kembali membuat Tasha mendesah. Pasalnya, ia sudah hampir lelah melihat wajah tersiksa Javier yang pastinya berdiri di balik pintu untuk meminta maaf pada Adrienne. Namun, begitu membuka pintu, Tasha tidak melihat siapa pun. Hanya ada sebuah amplop. Tasha mengambil amplop itu, lalu menutup pintu dan kembali ke kamar Adrienne.
"Seseorang memberimu surat. Namun, tidak tertulis apa pun di bagian depannya," ucap Tasha.
Adrienne segera bangkit untuk duduk dan mengambil surat itu dari Tasha. Surat ini pasti datang dari orang yang menerornya. Melihat tipisnya amplop itu, Adrienne yakin isinya tidak akan berhubungan dengan darah. Maka Adrienne membukanya.
Dan, teror ini adalah puncaknya. Karena isi amplop itu merupakan salinan dari jurnal Antony. Jurnal terakhir yang ditulisnya sebelum membunuh dirinya sendiri. Jurnal berisikan penyesalan Antony atas segala hal yang terjadi. Jurnal yang menjadi saksi bisu seluruh rahasia kelam Adrienne.
Tasha mengulurkan tangan. "Adrienne, ada sesuatu di bagian belakangnya."
Adrienne membalik kertas di genggamannya, menemukan sebuah tulisan tangan yang menuliskan: Kekasihmu mendapatkan salinan yang sama. Semoga beruntung.
"Javier mendapatkan salinannya, Tasha. Javier sudah mengetahuinya. Apa yang harus kulakukan?" bisik Adrienne dengan suara bergetar.
"Adrienne, kau harus menenangkan dirimu," sahut Tasha lembut.
Namun, Adrienne tidak sempat melakukannya karena bel apartemennya kembali berbunyi. Kali ini Adrienne ikut melangkah menuju pintu bersama Tasha. Ketika melihat bahwa orang yang berada di baliknya adalah Javier, bersamasebuah kertas serupa dengan yang ada di tangan Adrienne, gadis itu berdiri mematung seutuhnya.
***
Javier menatap Adrienne yang duduk di hadapannya. Membeku bak patung sungguhan. Tak ada ekspresi apa pun di wajahnya.
Suara terakhir yang terdengar di apartemen itu adalah permintaan Adrienne pada Tasha untuk meninggalkannya. Meski berat, akhirnya Tasha pun pergi. Menyisakan Adrienne dan Javier yang terbalut dalam keheningan selama kurang-lebih 30 menit.
Javier tidak akan memaksa. Ia akan menunggu hingga Adrienne bersuara. Berapa lama pun waktu yang dibutuhkan.
Sepuluh menit kemudian, akhirnya Adrienne membuka suara.
"Aku tidak akan pernah siap, Javier. Namun, aku akan mengatakannya sekarang. Karena aku tahu kau berhak mengetahuinya. Kau berhak mengetahui rahasiaku."
Adrienne menghela napas. Ini dia. Inilah saatnya. Adrienne harus mengakuinya, juga menghadapi risikonya. Adrienne harus melakukannya.
"Namanya Antony," ucap Adrienne lirih. Rasa sakit menyebar cepat dari dadanya menuju setiap bagian dalamdirinya.
Namun, Adrienne tetap melanjutkan, "Ia adalah kakak tiriku. Aku bertemu dengannya sejak awal ayahnyaberkencan dengan Ibu. Saat itu umurku tiga tahun. Dengan cepat ia menjadi bagian penting dalam hidupku. Aku selalu ingin memiliki seorang kakak laki-laki, sehingga ketika akhirnya Ibu menikah dengan Ayah, kami menjadi tak terpisahkan. Ia menjadi apa pun yang kubutuhkan. Ia menyayangiku lebih dari hidupnya."
Javier menatap wajah Adrienne lekat, memutuskan untuk tetap diam.
"Kala itu hidupku begitu sempurna. Aku memiliki Ayah yang sangat menyayangiku, Ibu yang sangat memanjakanku, juga seorang kakak yang bisa menjadi apa pun untukku. Aku tidak pernah takut pada apa pun, karena hidupku begitu utuh. Begitu bahagia. Aku tidak bisa membayangkan hidup lain yang mampu menandingi hidupku. Setiap hari, aku bernapas dengan keyakinan penuh bahwa semua itu abadi. Aku bahkan tidak pernah memiliki cita-cita pasti, karena segala yang kuinginkan telah kumiliki," ujar Adrienne dengan senyum sendu.
"Kejadian itu terjadi tepat setelah aku lulus, sepuluh tahun lalu. Ayah dan Ibu sedang berlibur. Aku sibuk mengurus segala keperluanku untuk kuliah. Sementara Antony seperti biasa, sibuk mengurus proyek filmnya. Aku tahu kondisinya sedang tidak baik karena wanita yang dicintainya berselingkuh. Kau mengenal wanita itu sebagai Katerina, sementara aku memanggilnya dengan sebutan Katie. Suatu malam Antony pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Ia salah mengenaliku sebagai Katie karena secara fisik, aku mirip dengannya," lanjut Adrienne dengan nada bergetar.
Selama sesaat Adrienne memejamkan mata. Kedua tangannya di pangkuan saling meremas kuat. Kenangan itu berkelebat cepat dalam benaknya, menggoreskan kembali sayatan demi sayatan yang tetap terasa menyakitkan. Ini adalah bagian terburuk.
"Antony ... menodaiku. Aku tidak bisa memandang dunia dengan cara yang sama. Segalanya berubah. Setelah itu aku mengalami stres berat hingga depresi. Seakan semua itu belum cukup buruk, aku hamil."
Adrienne membiarkan setetes air mata menuruni wajahnya, lalu berkata, "Aku tahu ia melakukan itu di luar kesadarannya, tetapi aku tetap tidak bisa memaafkannya. Suatu siang kami bertengkar hebat dan aku mengatakan hal-hal buruk. Aku berkata bahwa aku ingin ia pergi dari hidupku. Aku melupakan kenyataan bahwa Antony selalu mengabulkan keinginanku. Karena tak lama setelahnya, Antony meninggal. Ia membunuh dirinya sendiri.
Di atas semua itu, yang paling menyakitiku adalah pilihannya untuk mengakhiri hidup. Karena ia, orang yang paling kupercayai, orang yang selalu melindungiku, orang yang mengajarkanku segalanya tentang hidup, memilih untuk meninggalkanku setelah menyakitiku dengan cara paling kejam yang mungkin bisa dilakukannya."
Hening terasa mencekik. Adrienne memejamkan mata, memaksa dirinya untuk kembali melanjutkan penjelasan.
"Dan aku memutuskan untuk menggugurkan kandunganku. Aku tidak bisa membiarkan diriku melahirkan bayi itu. Bayi yang menjadi pengingat segala hal buruk. Namun, aku menyesal. Akulah yang menjadi begitu buruk. Aku membunuh darah dagingku sendiri.
Sejak awal, aku yang menghancurkan hidupku, bukan Antony. Kenyataan itu datang begitu terlambat. Amat terlambat karena semuanya sudah terjadi dan waktu tidak bisa terulang kembali. Karena itu aku memutuskan untuk menjauh dari segala hal yang membuatku bahagia; aku tidak berhak merasakannya lagi." Adrienne melanjutkan dengan bisikan yang sarat akan luka.
Tanpa berpikir dua kali, Javier melangkah mendekat dan memeluk Adrienne erat-erat. Membiarkan gadis itu tersedu-sedu begitu hebat dalam pelukannya. Berharap isak tangis Adrienne dapat menjadi perekat untuk luka yang menganga.
Seandainya saja Javier bisa mengambil alih rasa sakit itu, biarlah ia yang menanggungnya. Javier tidak sanggup bahkan untuk sekadar membayangkan bahwa selama ini Adrienne telah hidup dalam bayang gelap yang selalu menghantui
Lama mereka terdiam sementara tangis Adrienne mulai mereda. Setelah menghapus jejak-jejak air mata dari wajah cantik Adrienne, Javier berkata, "Apa yang kau lihat di kantorku tadi adalah sebuah kesalahan. Aku baru saja sampai di sana ketika melihat wanita itu ... melakukan apa yang ia lakukan. Aku baru akan mengusirnya ketika kau datang dan melihat semuanya. Maafkan aku karena terlambat untuk melakukannya. Maafkan aku."
Javier menarik napas, menatap Adrienne tepat di kedua mata cokelat terangnya. Bersiap untuk pengakuannya.
"Aku mencintaimu," ucap Javier sungguh-sungguh.
Adrienne kembali larut dalam tangisnya. Tak menyangka pengakuan manis itu justru datang setelah pengakuan kelamnya.
"Kau berhak untuk bahagia, Adrienne Callandrie. Dan aku akan memastikannya. Kau akan kembali bahagia," janji Javier.
Adrienne memeluk Javier dengan sepenuh hatinya. Membiarkan rasa lega menggantikan beban yang selama ini memberati dirinya.
Perlahan, dengan bisikan selirih angin, Adrienne membalas, "Aku juga mencintaimu, Javier. Aku mencintaimu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Song for Unbroken Soul (Unbroken #1)
Storie d'amoreAdrienne Callandrie memiliki segalanya: cantik, kaya, dan dipuja semua orang. Ia terbiasa menekuk lutut para pria, sampai akhirnya pria bermata hijau itu datang. Sejak awal, Adrienne berusaha menghindar, karena pria itu adalah cerminan sempurna atas...