03 :: Bolos

341 59 35
                                    

Setelah pulang sekolah, Nadira pasti langsung mengurung diri di dalam kamar. Dia menghabiskan waktu untuk belajar atau sesekali menonton drama kesukaan. Rasanya terlalu buang-buang tenaga untuk berinteraksi dengan orang lain, apalagi tidak ada satupun anggota keluarganya yang bisa di ajak ngobrol.

Selagi merangkum materi untuk esok hari, Nadira di kagetkan dengan suara bantingan barang dari arah lantai dasar. Dengan rasa tak karuan, dia lantas berlari menuju pintu dan menguncinya rapat.

Walaupun tangannya mulai bergetar, Nadira tetap berusaha memasang earphone dengan musik ber- volume tinggi. Demi apapun dia tidak mau mendengar kedua orang tuanya yang sedang adu argumen setiap pulang kerja.

"Udah saya bilang, jangan makan siang bareng karyawan laki-laki!"

"Saya gak makan berdua, pa. Saya makan bareng sama karyawan yang lain juga!"

Prang!

Tubuh Nadira tersentak kaget dengan air mata mengembang. Dia bahkan nyaris tidak bisa melanjutkan kegiatannya lagi.

Krek!

Nadira menoleh terkejut ke arah gagang pintu yang sedang berusaha di buka. Tidak, jangan. Nadira tidak mau menjadi pelampiasan emosi ayahnya lagi.

"Buka, Nadira! Papa mau ngomong sama kamu!"

Dor! Dor! Dor!

Doni menggedor pintu kamar Nadira sangat kencang.

Kedua tangan Nadira membekap mulutnya sendiri, berusaha tidak mengeluarkan suara apapun karena takut.

"Buka atau papa dobrak sekarang?!"

Mendapat ancaman tersebut, Nadira tentu panik. Tidak ada pilihan yang baik sekarang; kalau dia membiarkan Doni mendobrak pintu itu, pasti hukumannya akan lebih parah. Terlebih lagi Nadira sudah berpura-pura tidak dengar.

Merasa pasrah, Nadira pun mulai melangkah ke arah pintu dan membukanya perlahan.

Sret!
Plakh!

Tubuh Nadira jatuh tersungkur akibat tamparan keras dari Doni. Sudut bibirnya mengeluarkan darah, dan meninggalkan bekas kemerahan di pipi.

"Ngapain kamu di dalem kamar ngunci pintu? Kamu gak belajar, kan?! Kamu mau jadi apa, Nadira??? Lihat mama kamu, hari ini dia makan siang sama laki-laki lain di kantor!!" bentaknya.

Tania datang dari arah depan. "Udah saya bilang, saya gak makan berdua, saya makan siang sama yang lain juga!!" jawabnya tanpa mempedulikan keadaan Nadira.

Karena sudah berada di ambang kemarahan, Doni melepas ikat pinggangnya dan...
.
.
.
.

Lagi dan Lagi, pagi ini Kenneth tidak bisa menjemput dengan alasan sama. Nadira melangkah gontai menuju depan rumah, sambil mencoba memesan ojek online. Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit, matanya sayup, dan sesekali menggigil akibat tiupan angin.

TIN!

Nadira menoleh ke arah pria berjaket jeans yang sudah menghentikan motornya. "Butuh tumpangan?" tawar Jave.

"Engga." Nadira menggeleng pelan, lalu kembali fokus pada ponsel.

Kedua alis Jave tertaut bingung melihat keadaan Nadira yang tidak seperti biasanya. Kenapa mata Nadira terlihat sembab? Bahkan ada luka di sudut bibirnya. Sudahlah, jangan terlalu penasaran dengan hidup orang lain.

"Gua tebak, hari ini pasti si Kenneth gak bisa ngejemput lu lagi, kan?"

Nadira dongak menatap Jave tanpa menjawab apapun.

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang