Manik mata Dave menatap lurus ke arah seorang pria muda yang masih tak sadarkan diri di dalam ruang ICU. Kata dokter; banyak luka terbuka hingga menyebabkan pendarahan di dalam. Untung saja operasinya berjalan lancar, hanya saja Kenneth masih di bawah pengaruh anestesi.
"Gimana keadaan Kenneth, Dave?" tanya Omah yang baru saja datang bersama satu asisten di sebelahnya.
Dave menoleh, sedikit membungkukkan tubuh lalu menjawab. "Operasinya berjalan lancar kok, ma. Aku gak ngerti kenapa Doni bisa bertindak sejauh ini." sahutnya di giring opini.
"Sekarang mama minta jangan melakukan apapun dulu sampai semuanya membaik, terutama Jave." Pinta Omah tegas. "Biarin Doni dan keluarga brengseknya itu bernafas sejenak, setelah itu kamu bisa menyerang dia lagi secara bertubi-tubi tanpa henti." Lanjutnya.
Mau tidak mau, Dave menurut ucapan sang ibu. "Baik ma."
"Nadira gak datang kesini?" Omah bertanya karena penasaran.
"Engga, Nadira bilang terlalu buang-buang waktu." Katanya.
Senyum miring Omah langsung terbentuk samar.
.
.
.
Nadira menyodorkan sesendok bubur ke arah Jave. "Makan yang banyak, harus di habisin. Kalo engga, gua tampol." Ancamnya lucu.
Jave terkekeh pelan. "Tampol pakai bibir gapapa deh." Godanya.
Mata Nadira membelalak lebar. "Gausah macem-macem ya lu, kalo nanti omah mendadak muncul lagi kayak waktu itu gimana?"
"Ya biarin lah, lagian omah udah tau kalo kita pacaran." Sahut Jave tak mau kalah. "Lulus kuliah kita langsung nikah aja, gimana?"
"Nikah palalu kotak! Cari duit dulu." Omel Nadira kesal.
Sementara Ratna yang sedang duduk di sofa hanya tertawa mendengar obrolan absurd tersebut. Namanya juga anak muda, apalagi Jave kan pria yang tengil melebihi ayahnya.
"Tante, kalo aku sama Nadira nikah di restuin kan?" tanya Jave tiba-tiba.
Nadira melotot. "Lu apaan sih?!"
"Sangat di restui." Jawab Ratna berhasil membuat Nadira sedikit tersipu.
"Tuh kan, mau mahar berapa?" Jave menantang Nadira.
"Duit seratus milyar, lima penthouse, sepuluh lamborgini, sama surat perusahaan lu buat gua."
Hening. Jave menatap kekasihnya itu datar. "Bunuh aja gua!"
Seketika, Nadira dan Ratna terbahak-bahak.
.
.
.
Suasana di kantor polisi terasa cukup kacau karena Doni terus-terusan menyangkal semua tuduhan yang di tunjukkan kepada dirinya. Dia bersikap seolah di intimidasi dan menjadi pihak yang paling tersakiti.
Fanny bersedekap menatap Doni tajam. Sesekali kepalanya menggeleng tak habis pikir melihat bagaimana kemampuan pria tak tahu diri itu. "Mau sampe kapan kamu bersikap kayak gini? Kamu gak malu sama istri dan anak kamu?"
"Kamu gausah ikut campur, kamu siapa??"
"Saya ibunya Jave, dan calon ibu mertuanya Nadira." sahut Fanny tegas.
Kedua mata Doni sedikit melebar. "Brengsek, jadi kamu orang yang ngebantu Nadira juga? Pak, liat, dia orang yang nipu dan ngambil semua harta dan perusahaan saya." Katanya memutar balikkan fakta.
Brak!
Fanny membanting sebuah amplop cokelat muda berukuran besar ke atas meja. "Di dalam amplop ini ada bukti bahwa terdakwa memanipulasi uang perusahaan, melakukan kekerasan pada anak di bawah umur selama bertahun-tahun, melakukan penipuan, melakukan pembunuhan berencana, dan mengambil warisannya tanpa izin resmi." Katanya.
Doni terbungkam selama beberapa detik. "Bohong! Itu semua bohong!!" bentaknya tak terima.
"Kamu bisa membantahnya di pengadilan, tuan." Ucap Fanny bersedekap, lalu menyodorkan kartu nama ke arah sang petugas. "Ini kartu nama saya, kalau ada apa-apa mengenai kasus ini bisa langsung hubungi saya." Katanya, kemudian melenggang pergi.
Petugas itu mematung di tempat dengan mata membelalak. Gila, kenapa pengacara terkenal dari London bisa datang? Apakah kasus ini benar-benar serius?
.
.
.
"Denger-denger mama lu nemuin om Doni di kantor polisi." Ucap Jenan yang siang ini mengganti kantung infusan Jave.
Jave mengangguk. "Iya, dia jadi pengacara Nadira. Paling sebentar lagi juga kelar."
"Hm, tadi papa lu telepon ke gua. Dia bilang omah minta buat kita diam dulu sampe semuanya membaik." Jelas Jenan memberitahu. "Omah mau tunggu lu sama Kenneth pulih, baru bergerak lagi. Kalo kayak gini takut gimana-gimana karena pergerakan kita terbatas."
Benar juga. Jave terdiam sesaat, begitupun dengan Nadira yang mendengarkan dari arah belakakng. "Tapi omah ada benernya juga sih." sahut Nadira setuju. "Soalnya kita gapernah tau sistem rumah sakit kayak gimana, bisa aja om Doni nyewa petugas medis buat celakain lu atau Kenneth sewaktu-waktu." Tuturnya.
"Iya bener, tapi kan udah terlanjur buka jalan, Ra." Jave sedikit membantah.
"Gak ada kata terlanjur, Jave. Ini demi kebaikan lu." raut wajah Nadira berubah jadi dingin.
Jenan mengatupkan bibir sesaat. "Sekarang kita lebih banyak istirahat aja sambil tunggu mama lu ngurusin pengadilan nanti. Kita punya waktu sampe saat itu buat istriahat dan pulihin kesehatan." Usulnya.
Benar juga.
"Oke." Jave mengangguk setuju.
.
.
.
Kenneth membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamar kemudian melirik seorang pria yang berdiri di samping kasurnya. Siapa dia? Kenapa wajahnya nampak tak asing? Dia seperti mirip seseorang.
"A-Anda siapa?" tanya Kenneth lengah.
Dave tersenyum tipis. "Saya Dave, papanya Jave. Saya yang bawa kamu kesini, gimana keadaan kamu sekarang? apa yang kerasa?" tanyanya.
Kenneth terdiam sejenak untuk menetralkan dirinya. "Saya cuma ngerasa sakit di sekujur tubuh, sama sedikit pusing." Jawabnya.
"Oke, kamu baru selesai di operasi. Banyak pendarahan di dalam tubuh kamu akibat pukulan benda tumpul. Kamu harus banyak istirahat dan pulih. Disini akan ada dua orang yang jagain kamar kamu, jadi gakan ada orang yang masuk sembarangan. Mereka juga punya data dokter di rumah sakit ini." ujar Dave.
Entah mengapa, kelopak mata Kenneth malah memanas. Kenapa Dave malah merawatnya sampai seperti ini?
"Saya ngelakuin ini sebagai bentuk terima kasih karena kamu mau kasih tau semua rencana Doni. Kamu bahkan ngungkap siapa orang di balik kecelakaan Jave." Lanjut Dave.
Kepala Kenneth mengangguk singkat. "Makasih banyak om. Mungkin saya udah mati kalo gak ada om."
"Saya menolong kamu seperti ini, bukan berarti saya bisa membiarkan kamu ikut ke dalam rencana saya. Nadira gapernah menginginkan itu. Bagi dia, kamu masih cowok brengsek yang meninggalkan dia pada saat di titik terendah hidupnya. Jadi kamu harus bisa menuai sesuatu yang telah kamu tanam." Ujarnya.
"Hm..sampaikan maaf saya ke Nadira, om." Ucap Kenneth sedikit bergetar.
Dave menggeleng. "Kamu bisa menyampaikannya sendiri nanti. Lelaki jantan harus berani menghadapi rasa bersalah dan menyelesaikannya."
Pantas saja Jave memiliki keberanian yang sangat luar biasa, ternyata karena dia tumbuh bersama seorang pria berpikiran dewasa seperti Dave. Ada rasa iri di dalam diri Kenneth karena sekalipun dia berasal dari keluarga hukum yang kaya raya, dia tidak pernah mendapatkan nasihat atau kasih sayang yang sebesar ini.
Dia hanya terus di tuntut menjadi sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
(✓) Rumah untuk Nadira
FanfictionKisah seorang gadis cantik bernama Nadira yang memiliki kehidupan sempurna di mata orang lain. Siapa sangka? Kesempurnaan itu hanyalah cangkang untuknya agar bisa bertahan hidup. Mempertahankan harga diri, mempertahankan martabat keluarga, dan memp...