Jave dan Kenneth duduk bersebelahan di hadapan wanita gemuk berkacamata tebal, yang di kenal sebagai guru etika. Perkelahian mereka bisa di ketahui karena laporan dari beberapa murid, terutama para anggota OSIS yang memihak Kenneth.
"Saya bener-bener gak suka kalo ada murid yang berantem di area sekolah." Ucap bu Yayu penuh penekanan. "Kalian berdua. Kasih saya alasan kenapa kalian berantem?" lanjutnya menatap dua remaja itu lekat.
Hening. Tidak ada jawaban sama sekali. Kenneth hanya diam, sementara Jave sesekali bergerak gusar.
"Jawab atau ibu panggil orang tua kalian ke sekolah?" Ancam bu Yayu yang mulai kesal.
Daripada harus melibatkan orang lain, akhirnya Kenneth buka suara. "Cuma karena salah paham, bu. Gak lebih."
Jave berdecih tengil. "Salah paham palalu kotak." Kemudian beranjak. "Kalo ibu manggil saya kesini cuma buat sesi wawancara, mending saya balik ke kelas. Lagian permasalahan ini gak pantes buat di ceritain ke orang lain." Ujarnya berani.
"Jave, jangan kurang hajar kamu!"
"Saya gak kurang hajar. Saya cuma bersikap realistis." Sahut Jave, lalu melenggang pergi.
.
.
.
Kaki jenjang Jave terus melangkah menelusuri lorong sekolah dengan perasaan santai. Dia tidak peduli dengan reputasinya di mata guru, maupun di mata semua orang. Yang terpenting, Nadira dalam keadaan aman.
"Jave."
Panggilan itu membuat langkah Jave terhenti. Kedua alisnya tertaut bingung menatap seorang wanita yang sudah berlari kecil ke arahnya. "Loh? Nadira?"
"Lu di apain aja disana? Apa kata bu Yayu? Lu gak kena skorsing kan?" tanya Nadira bertubi-tubi setelah sampai di depan Jave.
Mendengar kekhawatiran tersebut, Jave tentu merasa sangat senang. Dia mengusap pucuk kepala Nadira sambil tersenyum lebar. "Gua gapapa kok. Gua cuma di ajak makan seblak di dalem ruang guru."
"Ish, gua serius Jave!" protes Nadira sebal.
"Iya-iya, beneran gapapa. Gak ada yang kena skorsing juga." Jave membenarkan jawabannya.
Nadira menghela nafas lega. "Syukurlah. Gua pikir lu bakal kena skorsing atau surat peringatan." Katanya kemudian menatap Jave sendu. "Jave, maaf. Karena gua, lu jadi terlibat masalah kayak gini."
Suasana mendadak berubah jadi kelabu. Jave berdecak hebat dengan kedua alis yang menukik samar. "Ngapain minta maaf? Gua ngelakuin ini karena kemauan gua sendiri. Lagian gua juga sering bilang kalo gua bakal ngelindungin lu terus, Ra. Jadi, gak usah minta maaf atau ngerasa gak enak." Tuturnya.
"Tetep aja, lu bahkan sampe di panggil ke ruang guru." Nadira masih menunduk sendu.
Jave menarik dagu Nadira agar mendongak. Manik mata mereka saling bertemu dan beradu tatap, membuat Jave terkekeh pelan. "Lucu."
"Apanya?"
"Lu nya."
Bibir Nadira sedikit mencibik. "Gua lagi serius, Jave."
"Iya, gua jauh lebih serius, Ra."
Tiba-tiba wajah Nadira memanas. "Udah ah, gua masuk ke kelas duluan." Pamitnya salah tingkah, lalu berbalik badan.
Ketika kaki Nadira hendak melangkah, tangan kekar Jave menarik pergelangan tangan gadis itu lembut hingga mendarat di dada bidangnya.
Kehangatan langsung menjalar ke seluruh tubuh Nadira. Matanya membelalak di sertai jantung yang berdegup dua kali lebih cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
(✓) Rumah untuk Nadira
FanfictionKisah seorang gadis cantik bernama Nadira yang memiliki kehidupan sempurna di mata orang lain. Siapa sangka? Kesempurnaan itu hanyalah cangkang untuknya agar bisa bertahan hidup. Mempertahankan harga diri, mempertahankan martabat keluarga, dan memp...