25 :: Kapan?

201 36 8
                                    

Kedua alis Jenan tertaut bingung ketika melihat ke luar balkon kamar, karena baru saja ada seorang pria yang menghentikan motor sportnya tepat di seberang rumah. Siapa dia? wajahnya nampak tak asing, seperti pernah Jenan lihat sebelumnya.

"Lu ngeliatin apa?" Jave datang dari arah belakang sambil meneguk sekaleng sodanya. Ketika melihat ke arah yang sama, rahang Jave langsung mengeras. Apa yang sedang Kenneth lakukan di depan rumahnya?

Prakh!

Jave meletakkan sodanya di atas meja dengan kasar, lalu melangkah pergi menghampiri pria itu.

Kenneth menoleh ke arah pintu gerbang yang terbuka. Tidak seperti yang dia harapkan, ternyata bukan Nadira yang keluar, melainkan Jave. "Ngapain lu disini?" tanyanya.

"Gua mau ketemu sama Nadira, bisa panggil dia sebentar?"

"Engga." jawab Jave tegas. Sorot matanya seolah mengisyaratkan kalau dia tidak suka dengan kehadiran seorang Kenneth. "Pergi selagi gua minta baik-baik."

Dengusan pelan Kenneth keluarkan. "Kenapa gaboleh ketemu? Takut Nadira nyantol lagi ke gua?" tuturnya tengil.

Mendengar hal tersebut tentu membuat Jave berdecih. Kakinya melangkah mendekati Kenneth. "Setebel apa muka lu bisa ngomong kayak gitu setelah nyakitin perasaan Nadira?"

Kenneth terdiam, rahangnya ikut mengeras menatap Jave tajam.

"Jangan pernah sentuh Nadira lagi. Kejadian hari ini gua maafin, karena gua gamau perpanjang masalah. Ngerti?" pinta Jave penuh penekanan.

Tak ada jawaban selama beberapa detik, sebelum pada akhirnya Kenneth menjawab. "Engga. Sekalipun gua udah gak ada hubungan apapun lagi sama Nadira, gua tetep peduli sama dia. Gua adalah cinta pertama Nadira."

Sret!

Jave menarik kerah baju Kenneth kasar. "Anjing. Lu nyebut diri lu sendiri sebagai cinta pertama Nadira, sedangkan lu gabisa bantu nopang semua beban hidupnya!" ucapnya sedikit membentak. "Denger ya anjing, gua bakal bikin hidup lu hancur kalo sekali lagi lu nyentuh Nadira, apapun alasannya."

"Jave!"

Teriakan itu membuat keduanya menoleh menatap Nadira yang baru saja kembali dari minimarket bersama belanjaannya. Nadira berlari sekencang mungkin menghampiri mereka untuk melerai.

"Jave, jangan, udah." Pintanya.

Jave melepas cengkramannya.

"Ra, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Sebentar, bisa?" Kenneth masih berusaha bertanya walaupun Jave sudah melarangnya.

Nadira menggeleng. "Engga. Kita udah gak ada urusan apa-apa. Gak ada yang perlu di omongin juga." Sahutnya ketus.

Kenneth hanya bisa menghela nafas berat.

Ketika Jave hendak membawa Nadira kembali masuk kedalam rumah, ada satu kalimat yang membuat keduanya terhenti.

"Mereka mau celakain lu, Ra." ucap Kenneth tak tahan. "Om Doni, tante Tania, Kak Tasya, dan kak Reza udah nyusun rencana buat celakain lu."

.

.

.

"Kalo begitu, ya di celakain balik."

Ucap sang omah yang malam ini sudah duduk di ruang tengah bersama para cucunya. Jave sudah menceritakan apa yang telah Kenneth sampaikan tadi sore.

Ratna berdecak. "Atuh bu, jangan kayak gitu." Tegurnya.

Omah mendengus sebal. "Terus kita harus diem aja? Kalo mereka main kotor, ya kita juga harus lebih kotor. Cuma iblis yang bisa ngalahin setan." Tuturnya.

Benar juga. Ratna terdiam.

"Kalo kayak gini udah gak bener, soalnya nyangkut sama nyawa." Jenan sedikit frustasi memikirkan keadaan yang semakin keruh.

Jave terkekeh. "Lu takut?"

"Engga sih, kalo mereka macem-macem tinggal gua suntikin asam sulfat aja." Jawab Jenan sekenanya membuat seisi ruangan tertawa.

Nadira menarik nafas dalam bermaksud menenangkan perasaan dan juga pikiran. "Maaf, karena aku kalian jadi terlibat di dalam situasi bahaya kayak gini." Ucapnya.

Jave menaikkan sebelah alis. "Lu boleh minta maaf kalo kita keluarga biasa. Lu lupa omah sama papa gua siapa?" tanyanya merangkul sang omah.

"Nadira, kalo kamu minta ke kita buat hancurin hidup mereka malam ini juga. Itu semua bakal terwujud besok pagi setelah kamu bangun tidur." Omah menambahkan.

Senyum manis Nadira terbentuk. "Makasih omah."

"Sama-sama calon mantu anakku." Omah tersenyum lebar menatap Nadira.

Jave salah tingkah. "Haduh."

.

.

.

Dua perusahaan besar, tiga hotel berbintang lima, dua salon kecantikan bergengsi, dan restoran mewah bersertifikat michellin. Itu semua adalah warisan peninggalan orang tua kandung Nadira yang kini masih belum menjadi hak milik siapa-siapa. Itu semua masih ada di atas kendali Doni, Tania, dan Reza.

Nadira menatap semua surat-surat yang berserakan di hadapannya. Ya, itu adalah surat yang bisa memutarbalikkan keadaan. Ketika Nadira menandatangani semuanya, warisan itu akan resmi menjadi milik Nadira.

"Lu ngapain?" Jenan datang sambil membawa kopi hangat di tangannya.

Nadira menoleh. "Oh engga, lagi baca surat ini aja."

"Oh surat warisan, udah di tandatanganin?"

"Belum." Nadira terkekeh getir. "Jave masih ngobrol sama omah??" lanjutnya bertanya.

Jenan mengangguk singkat. "Masih." Lalu duduk di sebelah Nadira. "Tandanganin aja sekarang, tapi minta buat jangan kasih tau siapapun kalo semua warisan itu udah jadi punya lu. Biarin mereka nikmatin harta lu dulu, sebelum lu hancurin."

Boleh juga ide Jenan. "Tumben pinter?"

"Kalo gua bego, gua gamungkin jadi dokter." Sahut Jenan.

Nadira terkekeh, kemudian mulai menandatangani satu persatu suratnya.

Baiklah, hidup dia akan berubah seratus delapan puluh derajat setelah ini. Kesibukkan pasti akan terus menghantuinya.

.

.

.

"Gimana perusahaan hari ini, pa? Aman?" tanya Tania di tengah makan malam.

Doni tersenyum manis kepada sang istri. "Aman kok sayang. Terus gimana sama salon dan restoran yang kamu pegang? Aman juga?"

"Semuanya aman, pengeluaran dan pemasukkan pun seimbang. Rencana bulan depan bakal ada beberapa pejabat yang mau dateng buat ngicip makanan di restoran." jawab Tania merasa senang.

Tasya berseru kagum. "Wih beneran, ma? Keren banget. Kalo ada waktu luang aku boleh dateng buat bantu mama disana?"

"Boleh banget dong sayang." Tania bersemangat.

Reza mengusap pucuk kepala Tasya. "Jangan bikin malu mama ya? Kamu harus tunjukkin kalo kamu itu mantu mama yang paling the best." Katanya.

"Omong-omong, tadi papa ketemu sama Nadira di cafe seberang kampusnya." Doni membuka topik obrolan baru, hingga membuat suasana mendadak hening. "Benar kata Kenneth, Nadira sudah berubah jauh dari yang dulu. Dia keliatan lebih berani dan kurang hajar." lanjutnya.

Reza berdecih. "Aku jadi penasaran, apa aku ketemuin dia sendiri aja?"

"Dia ngancem bakal hancurin kita. Dasar bodoh, dia gak tau apa semua hartanya ada di tangan kita?" tutur Doni seolah sudah menang.

Tania mendengus pelan. "Sudahlah gausah di bahas, biarin Nadira ngelakuin apapun yang dia mau sampe puas. Kita tetap di tempat kita masing-masing, jangan bergerak sama sekali apapun yang terjadi, oke?"

Reza dan Tasya mengangguk kompak.

"Jadi, kapan kamu mau laksanain rencana itu?" Doni bertanya pada Reza.

Senyum manis Reza terbentuk. "Mungkin secepatnya. Biar anak itu juga cepet mati." jawabnya seperti psikopat.

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang