32 :: Informasi Kenneth

177 25 5
                                    

Beberapa bulan sebelumnya...

Iris mata Jenan menatap seorang wanita mungil yang sedang duduk di tepi kolam renang sambil melamun. Rasanya sangat wajar kalau Nadira butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikiran setelah mengetahu tentang orang tua kandungnya. Tapi, Jenan ingin sekali mengajak gadis itu bertukar pikiran.

"Kenapa ngelamun terus disini?"

Pertanyaan itu membuat Nadira membuyarkan lamunan lalu menoleh. "Eh, engga ngapa-ngapain kok. Cuma lagi cari angin aja." Jawabnya.

Jenan lantas duduk di sebelah Nadira. "Kalo ada yang masih di pikirin mending bilang biar lega. Seenggaknya kalo gamau cerita ke gua, cerita ke Jave. Dia pasti bakal bantu lu." katanya.

Nadira menggeleng pelan. "Jave bakal ngamuk kalo gua cerita tentang ini. Gua gabisa cerita ke sia—"

"Kalo gitu cerita ke gua. Gua mungkin bakal marah, tapi tempramen gua gak seburuk Jave." Potong Jenan cepat dengan sorot mata teduh.

Entah mengapa, kelopak mata Nadira memanas mendengar ucapan Jenan. "S-sebenernya, waktu itu gua hampir di lecehin sama kakak gua, kak Reza." Baru kalimat pertama, emosi Jenan sudah mulai tersulut. "Waktu itu kejadiannya pas tengah malem. Gua di hukum buat belajar sampe jam tiga pagi, dan tiba-tiba kak Reza masuk dengan keadaan kacau. Badannya bau alkohol, jalannya sempoyongan, dan kemeja kerjanya gak beraturan. Dia jalan masuk, sambil bilang kalo jalang yang dia bayar gabisa muasin dia. Alhasil, dia nyamperin gua dan---"

Nadira tak kuasa melanjutkan ceritanya, air mata dia mulai menggenang dan mengalir.

"Pelan-pelan.." Jenan mengusap kepala Nadira lembut.

"Dia coba buat ngebuka baju gua disitu, dia maksa dengan tenaga dia yang terbilang kuat. Dia hampir berhasil, tapi gua berusaha berontak dan tendang kemaluan dia. Gua kabur ke kamar tamu yang kosong dan langsung ngunci pintu. Sejak saat itu, setiap gua ketemu sama kak Reza gua udah lemes duluan. Gua gabisa ngelawan sama sekali." Lanjut Nadira di akhiri isak tangis ketakutan.

Tangan Jenan mengepal kuat, dia merasa Jave harus mengetahui hal ini. Tapi tidak sekarang, dia harus mencari waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya pada Jave.

.

.

.

Nadira fokus mengupas apel, sementara Jave fokus memperhatikan wajah Nadira. Masih terlihat sedikit sembam. "Lu nangis berapa hari sampe sembabnya gak ilang-ilang kayak gitu?" tanya Jave penasaran.

"Kepo banget lu kayak dora." Sahut Nadira ketus tanpa menatap lawan bicara.

Jave terkekeh pelan. "Setakut itu ya kehilangan gua? Padahal dulu lu nolak gua terus. Di ajak berangkat bareng aja susahnya minta ampun." Cibir Jave membuat pergerakan Nadira terhenti.

Iris mata Nadira melirik Jave horror. "Lu jangan macem-macem sama gua, gak liat ini apaan?" Nadira mengangkat pisaunya.

"Engga keliatan, itu mah barang haram." Sahut Jave konyol.

Di tengah obrolan mereka, Ratna datang membawa serantang makanan untuk Nadira. "Selamat pagi para keponakan tante." ucapnya dengan senyuman lebar.

"Tante, tumben banget pagi-pagi dateng kesini?" tanya Nadira terkejut.

Ratna meletakkan rantang tersebut di atas meja, dan membukanya satu persatu. "Tante bawain sarapan buat kamu. Sekalian tante bawain buat Jenan juga tadi." Ucap Ratna membuat Nadira kesenangan.

Jave cemberut. "Aku gak di bawain tante?"

"Kamu makan makanan yang di kasih dokter dulu ya, gaboleh makan sembarangan." Sahut Ratna tegas.

"Ayo sarapan dulu Nadira, biar tante yang lanjut potongin apelnya buat Jave." Titah Ratna langsung di turuti oleh Nadira.

.

.

.

Dave menghela nafas berat setelah mendengar cerita dari Jenan mengenai Reza yang datang ke rumah sakit, dan apa yang pernah Reza lakukan pada Nadira. Marah? Tentu, Dave sangat benci dengan pria yang bersikap sembarangan terhadap perempuan, apalagi sampai melecehkannya.

"Kenapa Nadira gapernah cerita?" Dave sedikit frustasi.

Jenan mengatupkan bibir sesaat. "Sebagian besar cewek yang dapet pelecehan gakan pernah berani buat cerita ke orang lain om. Pertama mereka takut di kucilkan, dan yang kedua mereka takut di bilang fitnah." Tuturnya.

Benar juga. Dave terdiam sesaat memikirkan cara agar pria itu mendapat hukuman setimpal. Bisa-bisanya dia ingin memuaskan birahi pada adiknya sendiri. "Jave udah tau soal ini?"

"Belum om, kalo Jave tau mungkin Reza udah jadi almarhum sekarang. Aku gamau kasih tau Jave sekarang karena aku takut rencana kita jadi berantakan." Sahut Jenan.

"Oke bagus, kita kasih tau setelah di penghujung aja."

Jenan mengangguk paham.

.

.

.

Nadira menyandarkan tubuhnya di sofa sambil menghela nafas begah. "Gila, mantap banget sarapan hari ini. Tante emang terbaik kalo soal makanan!" pujinya mengacungkan jempol.

Ratna terkekeh pelan. "Kalo mau, tante bisa anterin setiap hari kok."

"Jangan, nanti dia keenakan." Sahut Jave yang merasa iri.

Decihan Nadira keluarkan. "Kalo iri bilang, gaboleh gitu nanti cepet tua." Ledeknya.

"Yaudah sebentar lagi tante pulang ya, tante masih harus beres-beres sekalian pergi ke rumah omah. Tadi omah sempet telepon, dia mau ngebahas tentang pengelolaan perusahaan kamu, Nadira." ujar Ratna memberitahu.

Nadira mengangguk. "Yaudah tante gapapa, makasih banyak dan maaf sebelumnya karena selalu bikin repot."

"Gak sama sekali." Ratna tersenyum manis, lalu membereskan bawaannya. "Yaudah, kalo gitu tante pulang dulu ya. Kalo ada apa-apa telepon aja."

"Siap tante, hati-hati ya." Jave melambaikan tangan, di ikuti Nadira.

Ketika Ratna membuka pintu, ternyata ada seorang pria yang baru saja sampai di depan pintu. Keduanya nampak terkejut dan berkontak mata beberapa detik. Sebentar Ratna seperti pernah melihat wajah pria itu.

"Siapa tan—" Kalimat Nadira menggantung ketika melihat siapa yang berdiri di depan sana. "K-Kenneth..." lirihnya membuat kedua alis Jave menukik tajam.

Ratna sedikit tersentak mendengar nama tersebut. Kenneth? Jadi dia pria yang meninggalkan Nadira dengan alasan tidak mau memiliki kekasih dari keluarga broken home? Terlalu brengsek. Tanpa melontarkan sapaan, Ratna melanjutkan langkahnya.

Kenneth menatap Nadira. "Gua boleh masuk?"

"Masuk aja." Sahut Jave santai.

Kenneth pun langsung masuk dan menutup pintunya. "Jave gimana keadaan lu sekarang?" tanyanya.

Jave mengangguk. "Udah mendingan. Btw, sejak kapan lu jadi perhatian sama gua? Jangan-jangan lu naksir sama gua?"

Nadira memporoskan kedua bola mata. "Gausah konyol, Jave." Protesnya, kemudian melirik Kenneth. "Lu tau darimana kalo Jave di rawat disini? Terus juga mau ngapain dateng kesini?"

Helaan nafas berat Kenneth keluarkan. "Sebenernya gua udah gak ada di pihak Jennifer, gua udah putus sama dia. Gua mau sampein sesuatu kalo pelaku dari kecelakaan itu adalah om Doni." Tuturnya membuat kelopak mata Nadira melebar.

"Udah ketebak." Jave berdecih pelan. "Dasar tua bangka gak tau diri, bisa-bisanya dia ngincer Nadira terus." Ocehnya.

"Sekarang, mereka bakal berusaha buat pergi darisini, mereka bakal hilangin jejak buat ngubur berita dan rumor." Lanjut Kenneth. "Tangkep mereka, Jave. Mereka bakal lewat stasiun Kwangya, besok jam tiga subuh." 

(✓) Rumah untuk NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang